Jejak HMI dalam Diplomasi Nurani Anwar Ibrahim


Pekik perang antara Thailand dan Kamboja tiba-tiba meredup di udara. Ketegangan itu perlahan mencair. Bukan oleh tekanan diplomatik, bukan pula oleh manuver militer. 

Tapi oleh kehadiran Anwar Ibrahim yang menimba semangat kemanusiaan dan pembebasan dari sebuah organisasi hijau hitam: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).

***

Di sebuah ruangan tertutup di Kuala Lumpur, dua pemimpin Asia Tenggara duduk berhadapan. Tatapan mereka dingin. Kata-kata nyaris tak mengalir. Perselisihan wilayah yang berkepanjangan telah meninggalkan jejak pahit dan dendam diplomatik di antara Thailand dan Kamboja. 

Namun di antara mereka, hadir seorang pria yang tidak mengancam, tidak menggertak, tidak bicara tentang perjanjian atau kekuatan militer. Dia justru memulai dengan kisah. Dengan kenangan. Dengan nilai-nilai.

Dia adalah Anwar Ibrahim, Perdana Menteri Malaysia.

Dalam lanskap Asia Tenggara yang dipenuhi riuh persaingan, momen itu terasa janggal sekaligus menggugah. Seorang perdana menteri yang pernah dijebloskan ke penjara, difitnah, dihina di layar televisi, justru tampil sebagai juru damai. 

Bukan dari trah kerajaan. Bukan anak kandung dinasti politik. Ia tumbuh dari semangat mahasiswa, dari ruang-ruang kecil pengkaderan, dari dialog panjang dengan para pemikir kebebasan.

Tahun 1967, Anwar muda merasa haus pengetahuan dan ide-ide baru. Dia memutuskan untuk menyeberang ke Indonesia, tepatnya di Pekalongan. Dia tidak datang sebagai turis, melainkan sebagai peserta pelatihan HMI. 

Di sanalah, benih pertama itu tumbuh. Di tengah diskusi filsafat dan strategi gerakan, ia menyadari: Islam bukan sekadar hukum atau simbol. Islam adalah jalan pembebasan. Sebuah kompas untuk menegakkan martabat manusia, melawan penindasan, baik oleh negara maupun struktur sosial yang timpang.

Nama Nurcholish Madjid (Cak Nur) menjadi pusat orbit intelektual dan spiritualnya. Dari Cak Nur, ia belajar bahwa Islam bukan instrumen kekuasaan, tapi cahaya nurani. Bahwa kekuatan sejati bukan di kursi pemerintahan, tapi dalam keberanian menjaga etika. 

Anwar menyebut Cak Nur sebagai abang. Mereka mendirikan Persatuan Pelajar Islam Asia Tenggara, di mana Anwar menjadi sekretaris jenderal dan Cak Nur sebagai ketua. Hubungan itu melampaui organisasi. Ia adalah relasi batin, guru dan murid dalam jalan sunyi.

Dari Cak Nur, dia mengenal humanisme Islam, sebuah cara pandang yang menempatkan manusia sebagai inti dari keberagamaan, bukan sekadar objek hukum atau alat politik. Islam, dalam pandangan itu, adalah cahaya yang membebaskan, bukan kekuasaan yang menaklukkan. 

Di HMI, dia belajar bahwa iman sejati tidak tumbuh dari fanatisme, melainkan dari kesediaan berdialog, menghormati perbedaan, dan membela martabat semua manusia, apapun agamanya. Islam yang diyakini Cak Nur adalah Islam yang ramah, rasional, dan terbuka terhadap zaman.

Dan Anwar pun menjadikannya kompas dalam tiap langkah politiknya. Bahwa etika lebih penting dari retorika, bahwa agama tidak boleh menjelma menjadi palu kekuasaan.



Anwar juga mengidolakan pemikir, sekaligus sastrawan Buya Hamka. Dari pria asal Maninjau ini, dia menyerap keteguhan hati yang lembut tapi tak tergoyahkan. Buya adalah gambaran keulamaan yang bersahaja, tetapi tajam dalam prinsip. 

Dalam karya-karyanya, Anwar menemukan ajaran tentang akhlak yang tidak hanya bicara baik dan buruk, tetapi tentang keberanian memikul kebenaran dalam sepi. Ia belajar bahwa kehormatan tidak dibangun di atas popularitas, tapi pada keikhlasan dalam menanggung risiko.

Bahwa menjadi benar sering kali berarti menjadi sendiri. Dari Buya Hamka, Anwar belajar bahwa politik tanpa akhlak hanyalah permainan kekuasaan, dan agama tanpa kasih sayang hanyalah suara kosong di ruang sunyi.

Maka tak heran, ketika ia hadir di tengah konflik Thailand dan Kamboja, yang ia bawa bukan strategi geopolitik, melainkan ketulusan dan empati. Ia tahu, damai bukan sekadar garis batas, melainkan kesediaan untuk saling mendengar dan memahami.

Dan itu hanya bisa dicapai oleh mereka yang pernah memahami luka, pernah berjalan dalam gelap, dan tetap memilih cahaya.

Anwar pernah dipenjara karena membela kaum miskin. Dia pernah menjadi tangan kanan Mahathir, lalu dijatuhkan oleh rezim yang sama. Dia disiksa, wajahnya lebam di hadapan jutaan pemirsa televisi. Tapi dia tidak patah.

Dia tidak larut dalam dendam. Dia tetap menulis, berdiskusi, dan menjalin pertemanan lintas benua. Dalam keterasingannya, Indonesia menjadi tempat bernaung. Ia sering datang ke Jakarta, menyambangi Habibie, Jusuf Kalla, para intelektual, dan sahabat-sahabat HMI.

Di tanah ini, ia merasa pulang. Karena di sinilah, mimpi tentang Islam pembebas mulai tumbuh.

Apa yang ia lakukan untuk Thailand dan Kamboja bukan sekadar diplomasi. Itu adalah puncak dari sebuah ziarah panjang: dari Pekalongan ke Putrajaya, dari ruang kaderisasi ke ruang kekuasaan.

Itu adalah perwujudan dari Islam yang dia kenal sejak muda. Islam yang menjadi jembatan, bukan tembok. Islam yang tidak takut pada perbedaan, karena percaya pada keagungan kemanusiaan.

Anwar Ibrahim tak datang membawa mukjizat. Tapi dia membawa harapan bahwa politik bisa dijalankan dengan nurani. Bahwa idealisme tidak selalu gugur di pelataran istana. Bahwa luka bisa menjadi cahaya. Bahwa jalan sunyi bisa mengantar pada damai.

Dari Bangkok hingga Phnom Penh, dari Jakarta hingga Kuala Lumpur, nama Anwar bukan menggema karena kekuasaan. Tapi karena keteladanan. Ia bukan hanya pemimpin yang mendamaikan dua negara. Dia adalah gema dari Nusantara.

Dia membawa nur HMI ke panggung dunia.