Saat BARONANG Melintas di WAKATOBI


nelayan di Wakatobi

Di banyak tempat, alam menjadi obyek eksploitasi manusia demi keserakahan. Tapi di Liya, Wakatobi, para nelayan dan masyarakat lokal masih memelihara satu kearifan budaya yang mengagumkan.

Saat ikan baronang (rabbitfish) melintas dan melepas telur di wilayah itu, para nelayan bersukacita. Mereka mengadopsi ikan, menghormati ikan yang belum melepaskan telur, lalu berbagi dengan warga sekampung.

Mereka menggelar festival.

***

BAPAK nelayan itu menyiapkan perahu. Saat saya temui di pesisir Pulau Wanci di Wakatobi, dia sedang menata jaring atau perangkap ikan yang disebut ompo. Dia tersenyum sembari memandang lautan yang tengah ramai dengan para nelayan.

Hari itu, para nelayan Wakatobi sedang diliputi suasana penuh gembira. Mengacu pada kalender dan tradisi yang sudah berlangsung sekian tahun, ikan-ikan baronang akan bermigrasi dan melintas di perairan itu.

Di kalangan penyuka seafood, ikan baronang yang dalam bahasa setempat disebut borona, adalah ikan yang teramat lezat. Ikan ini selalu menjadi menu favorit di semua rumah makan. Namun, ikan ini tak selalu tersedia.

Di Wakatobi, ikan baronang malah rutin melintas dalam jumlah banyak. Ikan-ikan itu tak sekadar melintas. Mereka juga melepaskan telurnya di perairan itu, kemudian berpindah. Para nelayan telah lama memiliki kalender tentang kedatangan ikan itu.

Mereka sudah menyiapkan ompo untuk menangkap banyak ikan. Namun, mereka semua terikat pada aturan adat yakni hanya boleh menangkap ikan yang telah melepaskan telurnya. Ikan yang belum masih memiliki telur dibiarkan tetap bebas berkeliaran.

Musim migrasi besar-besaran ikan baronang berlangsung setiap tahun pada bulan September dan November tanggal 11-13 bulan hijriah. Semua nelayan telah lama menyiapkan perangkap ikan. Setiap tahun, mereka akan merayakan momen migrasi itu dengan riang gembira.

“Ikan baronang kayak berebut masuk ompo,” kata bapak nelayan itu dengan tersenyum.

Saya menyimak tuturannya. Alam semesta amat pemurah pada masyarakat Wakatobi. Setiap tahun alam semesta mengirimkan ribuan ikan untuk sekadar melintas agar bisa ditangkap para nelayan. Para nelayan pun membalas kemurahan alam semesta itu dengan cara hanya menangkap yang bisa ditangkap.

Faetival Migrasi Ikan Baronang


Para nelayan menjaga keseimbangan ekologi dengan cara menjaga kontinuitas dan regenerasi ikan baronang sehingga setiap tahun ikan-ikan akan tetap melintas dan panen berlimpah.

Demi menggenapi rasa gembira itu, masyarakat Liya bersama pemerintah Kabupaten Wakatobi dan sejumlah komunitas kreatif menggelar Festival Lalo’a Ikan Baronang. Dalam bahasa setempat, Lalo’a bermakna melintas. Tentu saja, yang melintas adalah ikan baronang, demi melepaskan telurnya di perairan itu.

Ketika mendengar festival ini, saya langsung tertarik. Ini festival yang unik. Biasanya festival selalu mengenai tradisi istana atau kerajaan, yang semuanya borjuis. Tapi ini adalah festival yang bernuansa ekologi.

Saya bisa merasakan ada penghormatan pada tradisi, ekologi, dan maritim. Saya membayangkan betapa arifnya para nelayan di Wakatobi sebab mencatat rapi migrasi ikan-ikan baronang, serta menghargai ikan yang melintas.

Acara festival Lalo’a akan dibuka dengan berbagai rangkaian kegiatan adat setempat, Mulai dari petuah dari ketua adat atau Meantu’u Liya, penampilan tari perang Honari Mosega, permainan Sepa Buloli mirip Sepak Raga, aksi Potamba atau saling lempar menggunakan gumpalan pasir dan lumpur.

bersama gadis Wakatobi berbaju adat


Pengunjung juga bisa ikut tradisi Hekomba atau menikmati malam terang bulan. Saya membayangkan acara ini pasti sangat romantis sebab memandang bulan purnama sembari menyaksikan pementasan drama Sampe’a.

Puncak acara adalah adopsi telur ikan baronang yang dilakukan dengan cara lelang ikan hasil lalo’a. Ikan yang ditangkap dan tidak memiliki telur lagi dalam perutnya, akan dilelang dengan harga tinggi. Sedangkan ikan yang masih memiliki telur tidak bisa dibeli.

Keunikan tradisi ini, ada pada proses lelang yang dilakukan melalui tradisi sampe’a atau pertunjukan drama kolosal. Sampe’a adalah semacam persaingan hasil panen antar kampung. Akan tetapi kampung yang paling banyak dibawakan hasil panen justru dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Artinya, kampung itu paling sedikit panen di musim itu.

*** 

“Ini ikan baronangnya. Silakan dinikmati” 

Suara itu mengejutkan saya yang sedang melamun di satu ruas jalan Pulau Wangi-Wangi atau Wanci. Sebagai orang yang besar di lingkungan pesisir, saya sejak dulu menjadi fans berat ikan baronang.

Setiap kali ada tugas di kawasan timur, saya selalu mencari ikan baronang di kedai kuliner milik warga. Saya punya banyak memori terkait ikan ini. Saya ingat nelayan di kampung-kampung yang tersenyum bahagia saat ikan itu dibeli dengan mahal.

Di atas meja di hadapan saya, ikan ini tampak nikmat seusai dibakar. Asapnya mengepul dengan aroma bercampur rempah-rempah dan bumbu-bumbu. Di sebelah ikan, ada sepiring lalapan dengan tomat serta cabe merah yang akan segera berpadu dengan nikmatnya baronang.

Nyam... Nyam...

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Kalau tidak salah..
Ikan baronang di Sabang tidak di tangkap... Bahkan mereka tidak makan..

Ajun Alam mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ajun Alam mengatakan...

Mantap bang...
Paragraf kedua dan pertama dari bawah menguncang lidah dan kampung tengah, heheh.

Posting Komentar