Nasib Koalisi PRABOWO Seusai Pilpres




AKHIRNYA, Prabowo Subianto sujud syukur merayakan “kemenangan”-nya. Survei internal yang diadakan partai pendukung menyatakan dia menang pilpres. Dia sudah memberi pidato kemenangan dan menyatakan dirinya sebagai presiden semua rakyat.

Semua orang bersorak-sorai. Suara takbir bergema dengan kuat. Semua merasa menang. Semua merasa sedikit lagi akan menggenggam kekuasaan. Penantian Prabowo selama hampir 10 tahun akhirnya terwujud. 

Nama Prabowo telah lama masuk bursa kontestasi pilpres, telah lama membangun kekuatan dan basis pendukung. Tidak mengejutkan jika pendukungnya banyak dan militan.

Tapi perayaan kemenangan itu terasa hambar. Tidak ada Sandiaga Uno yang telah mengeluarkan uang hingga 1 triliun rupiah. Dia tidak didampingi ketua-ketua partai politik. Sorak-sorai itu terasa hambar.

Sebelum pilpres, beberapa lembaga survei telah menyampaikan prediksi. Hasil quick count tidak begitu jauh. Beberapa lembaga survei kredibel telah mengeluarkan hasil quick count yang menyebutkan Jokowi-Ma’ruf menang telak. 

Yang saya anggap paling mendekati adalah Cyrus dan Kompas. Tapi, kubu Prabowo meragukan kredibilitas banyak lembaga survei. Jika saja lembaga seperti LSI Denny JA dan SMRC kurang dipercayai, bagaimana halnya dengan Litbang Kompas dan RRI yang selama ini selalu dianggap netral?

Rasanya baru kemarin semua pendukung Prabowo memuji-muji Kompas yang dianggap netral sebab mengabarkan jarak elektabilitas yang tersisa 11 persen. Kini, Kompas pun sudah dianggap sebagai musuh hanya karena hasil quick count yang dirilis menyatakan Jokowi menang.

BACA: Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di Pilpres

Andaikan quick count itu menyatakan Prabowo menang, pasti akan dipuja-puji. Dulu, ketika quick count menyatakan Anies menang, semuanya gembira. Ahok menunjukkan dirinya sebagai seorang ksatria ketika langsung mengadakan jumpa pers. Dia tetap menunggu real count, tetapi baginya hasil quick count sudah menjadi gambaran awal. 

Rupanya, Prabowo tidak setangguh Ahok dalam menghadapi kekalahan. Dia tetap delusi dan merasa yakin menang. Dia juga tidak sekuat Grace Natalie yang langsung mengumumkan kekalahan PSI, meskipun masih menunggu real count.

Bagaimana posisi para elite yang selama ini mendampingi Prabowo? Bagaimana lanskap politik setelah hasil pilpres perlahan mulai terkuak?

Percayalah, tidak semua elite politik kita akan baper dengan hasil pilpres ini. Para elite kita malah lebih sibuk memantau hasil pemilu legislatif. Di situ, ada pertaruhan nasib ribuan orang yang mengajukan diri sebagai anggota dewan. 

Saya punya beberapa dugaan sementara mengenai konfigurasi politik setelah quick count diumumkan. Kita akan cek bersama dengan hati riang gembira.

Pertama, elite Partai Demokrat akan lebih awal mengarah ke tengah. Belum tentu mereka akan mendekat ke Jokowi, tapi bisa diduga mereka akan meninggalkan Prabowo. Tanda-tanda itu sudah terlihat sejak masa kampanye saat SBY dan juga AHY tidak pernah menyebut Prabowo dalam pidato-pidatonya.
Demokrat memang sejak awal “setengah hati” gabung dengan koalisi Prabowo. Target besar Demokrat adalah bagaimana menyiapkan AHY sebagai presiden. Jika Prabowo jadi presiden, jalan AHY akan semakin terjal sebab harus menunggu periode kedua Prabowo, kemudian Sandiaga yang akan maju pilpres.

SBY juga sejak awal bermain di tengah. Di koalisi Prabowo, dia sudah menitip orang-orangnya yakni Ferdinand Hutahaean, Andi Arief, Hinca Panjaitan, dan Rocky Gerung. Sementara di koalisi Jokowi, dia juga sudah lama mengirim orang yakni Hayono Isman, Ruhut Sitompul, dan TGB.

Kedua, PAN juga pelan-pelan meninggalkan Prabowo. Apa pun hasil Pemilu, pergolakan di tubuh PAN semakin kuat sehingga bisa jadi akan mendorong lahirnya Muktamar Luar Biasa untuk mengganti ketua umum. 

Bukan rahasia lagi jika kelompok Hatta Rajasa masih eksis dan kuat. Beberapa anggota kelompok ini malah sengaja mendukung Jokowi di pilpres ini, di antaranya adalah Waketum PAN Bima Arya Sugiarto. 

Dalam pidatonya di satu acara relawan Jokowi, Bima sudah menyebut misi PAN justru sama dengan misi Jokowi. Dia menyesalkan kemudi partai yang dibawa ke Prabowo. Bima membuka ke publik bahwa ada friksi dan perbedaan di dalam PAN yang bisa berujung ke Muktamar.

Sebagaimana halnya Golkar yang kemudian terpecah jadi dua seusai kemenangan Jokowi tahun 2014, maka PAN juga bisa berada pada kondisi serupa sehingga pemenangnya adalah siapa yang dekat pemerintah. Sebab pemerintah melalui Kemenkuham punya palu godam untuk mengendalikan partai politik.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligent, hingga Kediktatoran Digital

Ketiga, bagaimana halnya dengan PKS? Di pemilu ini, PKS menunjukkan bahwa mereka masih memiliki mesin politik yang hebat sebab bisa stabil dan diperkirakan akan mendapat 8 persen suara. 

Padahal PKS tengah di ambang perpecahan karena banyak figurnya yang berpaling ke GARBI, bentukan Anis Matta. PKS pun sukses mendapatkan coat tail effect dengan kehadiran Prabowo. Perolehan PKS dan Gerindra sama-sama meningkat. Gerindra bisa dapat 12 persen, sedangkan PKS dapat 8 persen.

Tapi, elite PKS sering menyampaikan kekecewaan karena posisi Wagub DKI yang sudah dijanjikan Gerindra tak kunjung diterima. Kesannya, beberapa elite PKS merasa di-PHP oleh Prabowo. Ini juga menjelaskan mengapa mesin siber mereka tidak banyak bergerak di udara. 

Keempat, jika Demokrat membentuk poros baru, maka PAN dan PKS berpotensi merapat ke situ. Mereka punya sejarah dan DNA untuk menyatu. Mereka bersatu karena didasari pertimbangan pragmatis: jika bersama Gerindra, nasib mereka tidak jelas, mending mendekat ke Demokrat yang lebih punya harapan. 

Selain itu, partai-partai ini lega karena sudah melewati ambang batas untuk amsuk parlemen. Selanjutnya, mereka bisa menata kekuatan untuk menghadapi lima tahun mendatang.

Kelima, kubu paling setia yang mendampingi Prabowo dan Gerindra adalah persaudaraan 212 dan FPI. Kelompok ini akan tetap bersama Prabowo dan melihat pilpres ini sebagai medan jihad. 

Indikasinya adalah perayaan kemenangan Prabowo yang akan segera diadakan hanya diikuti oleh kelompok ini, sementara partai politik perlahan menjaga jarak. 

Bahkan di kalangan Gerindra pun banyak yang mulai main mata ke kbu sebelah, utamanya paa pengusaha yang masih berharap pork barrel project (proyek gentong babi), istilah dari peneliti Edward Aspinall untuk menyebut proyek-proyek rekanan dari pemerintah kepada sejumlah pendukungnya.

*** 

Kemenangan ibarat gula yang akan didatangi banyak semut, diundang maupun tidak diundang. Sementara kekalahan identik dengan kesepian ketika semua orang menjauh. Kata Mahfud MD, semua pihak yang kalah pasti akan menuduh KPU curang. Ini sudah berlangsung dari pilkda ke pilkada, dari pilpres ke pilpres.

Prabowo pun sudah merasakan kesepian itu di tahun 2014 saat Golkar, PPP, dan PAN merapat ke pemerintah. Situasi yang sama akan terulang kembali. Semua peserta Pemilu akan sibuk mencari formasi baru untuk bersiap menghadapi Pemilu berikutnya.

BACA: Andai Steven Pinker Membahas Bung Karno

Saya melihat kemenangan Jokowi disambut gembira oleh partai-partai koalisi sebab lima tahun mendatang, politik ibarat tanah lapang yang tidak bertuan. Semua bisa memasuki padang luas itu dan kembali bertarung demi mencari keseimbangan. 

Sebab elite politik kita memang pragmatis. Benar kata ilmuwan Harold Lasswel: "Politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana."

Di atas kertas, elite memaknai politik sebagai perjuangan dan pembumian gagasan ideologi. Tapi pada praktiknya, elite politik mengejar kepentingan sesaat demi keuntungan sebesar-besarnya di masa kini dan masa depan. 

Mereka sibuk mencari posisi demi kuda-kuda yang lebih kuat sebagai bargaining politik kekinian dan masa depan. 

Kita lihat nanti.




1 komentar:

Bang Dzul mengatakan...

Legislatif sepertinya dikuasai oleh partai koalisi, hampir lebih dari 50% okupasi kursi dimiliki oleh partai koalisi. Bagaimana ya nasibnya jika porsinya seperti ini? Malah berharap legislatif lebih banyak oposisi spy ada check and balance hehehe

Posting Komentar