Mengapa Penjilat Bisa Lebih Cemerlang dari Pekerja Keras?
Keluhan ini terdengar familiar di banyak ruang kantor. Seorang karyawan yang menyelesaikan tugas-tugas rumit, rela lembur, dan mencetak banyak pencapaian, justru harus menonton rekan kerjanya yang “pandai membawa diri”—dan kerap dianggap penjilat—melaju lebih cepat dalam karier.
Fenomena ini bukan sekadar cerita dengki. Dalam dunia profesional yang kompleks, promosi dan pengakuan tidak selalu linear. Ada dinamika relasi kuasa, persepsi, dan permainan simbol yang membuat seseorang bisa naik, meski bukan yang paling kompeten.
Menurut Dr. Jeffrey Pfeffer, profesor perilaku organisasi di Stanford Graduate School of Business, “Banyak orang mengira bahwa dunia kerja adalah meritokrasi. Padahal, kenyataannya, yang punya pengaruhlah yang menang.”
Dalam bukunya Power: Why Some People Have It and Others Don’t, Pfeffer menjelaskan bahwa politik kantor dan kemampuan mengelola persepsi jauh lebih menentukan daripada sekadar performa kerja.
Dalam praktiknya, mereka yang piawai menjalin hubungan, terutama dengan pihak yang punya kekuasaan, memiliki peluang lebih besar untuk tampil dan mendapatkan kepercayaan.
Penjilat, meskipun seringkali dipandang negatif, sering kali justru dianggap sebagai orang yang loyal, bisa diandalkan, dan tidak banyak menimbulkan konflik.
Pekerja Keras Vs Penjilat
Pekerja keras yang fokus pada hasil, tapi abai membangun komunikasi, bisa tidak terlihat dalam sistem birokratis. Padahal, dalam ekosistem korporat, visibility adalah mata uang penting.
“Kalau kamu tidak membuat atasan tahu apa yang kamu lakukan, kamu akan tetap tak terlihat, tak peduli seberapa besar kontribusimu,” ujar Herminia Ibarra, guru besar di London Business School. Ia menekankan bahwa banyak profesional muda yang gagal karena mengira kerja keras saja cukup.
Sementara itu, para penjilat yang lihai memainkan simbol loyalitas dan tahu kapan harus tampil—sering menjadi pusat perhatian. Mereka mungkin bukan kontributor terbesar, tapi mereka membuat orang-orang penting merasa diperhatikan.
Penjilat sering kali memosisikan dirinya sebagai “pendukung tanpa syarat” bagi atasan. Dalam lingkungan yang kompetitif dan penuh ketidakpastian, atasan cenderung memilih orang yang bisa membuat mereka merasa aman.
"Di banyak organisasi, yang paling cepat naik bukan yang paling brilian, tapi yang paling bisa menenangkan bosnya," kata Robert Greene, penulis The 48 Laws of Power. Dalam hukum kekuasaan versi Greene, membuat atasan merasa superior dan tak terganggu adalah strategi bertahan hidup.
Sebaliknya, pekerja keras yang bersikap kritis atau terlalu mandiri bisa dianggap ancaman. Apalagi jika mereka terlalu terang-benderang dalam menunjukkan kecerdasannya.
Ini bukan seruan untuk menjadi penjilat. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kerja keras saja tidak cukup. Diperlukan strategi komunikasi, kecerdasan emosional, dan keterampilan membangun relasi.
“Mereka yang naik lebih cepat bukan hanya bekerja lebih baik, tapi juga tahu kepada siapa harus bekerja,” ungkap Adam Grant, psikolog organisasi dari Wharton School. Dalam artikelnya di Harvard Business Review, Grant menekankan pentingnya menjadi givers yang strategis—orang baik yang juga tahu cara memimpin dan mengelola persepsi.
Penjilat mungkin menang dalam jangka pendek, tapi tidak semua bertahan dalam jangka panjang. Mereka yang benar-benar sukses adalah yang mampu menggabungkan etos kerja kuat dengan kecerdasan sosial—menjadi pekerja keras yang juga mampu menavigasi politik kantor.
Bagi para pekerja keras, ini bukan soal menyerah pada sistem. Tapi memahami bahwa dunia kerja tak hanya tentang hitung-hitungan logis. Ia juga tentang rasa, simbol, dan persepsi. Dan di sinilah medan bermain yang sebenarnya.