Misteri di Balik Kasus BOWO SIDIK




BOWO Sidik Pangarso tertangkap. Dia adalah seorang anggota DPR RI yang sedang mempersiapkan diri untuk kembali berlaga di Pemilu 2019.  Tim KPK menemukan 84 kardus yang isinya uang senilai 8 miliar rupiah. 

Uang itu rencananya akan dipakai untuk “serangan fajar.” Demi kembali masuk DPR RI, Bowo akan membeli suara. Sayang, kenyataan tidak seindah yang direncanakannya. KPK mengendus tindakannya. Dia tertangkap dalam satu operasi tangkap tangan (OTT).

Kasus Bowo Sidik terasa janggal. Di dalam 84 kardus itu, terdapat 400.000 amplop yang disebut KPK untuk serangan fajar. Jika diasumsikan 1 amplop untuk 1 suara, maka mengapa harus menyiapkan sampai 400.000? Bukankah cukup 100.000 amplop, maka potensi terpilih sebagai anggota DPR RI sudah cukup?

Berbagai media menuding, amplop itu terkait serangan fajar di pilpres. Sampai kini, asumsi ini masih belum bisa dibuktikan. Jika benar, maka kasus ini adalah pintu masuk untuk membuka banyak hal. Tapi, lagi-lagi ini bisa jadi spekulasi yang hanya digoreng oleh semua tim pemenangan. Yang pasti, penegak hukum sudah memberikan warning kalau mereka sedang memantau.

Ada pula tudingan kalau serangan fajar itu disiapkan oleh perusahaan terkait proyek distribusi pupuk. Ini sudah menjadi modus yang umum di kalangan pebisnis. Perusahaan membutuhkan satu penghubung di parlemen untuk memuluskan berbagai proyek. Korupsi terjadi secara berjamaah sebab melibatkan banyak pihak.

Bowo Sidik sedang harap-harap cemas. Di dunia politik, semua orang akan mengaku sebagai malaikat. Saat satu orang dituding bersalah, maka satu orang itu akan disingkirkan dari label malaikat dan dicap sebagai iblis. Bowo menerima takdir dikeluarkan dari partai, dan tidak akan diakui sebagai salah satu kader.

Kini, semua orang mulai memakinya. Padahal, jika ditanya dengan jujur, apa yang dilakukannya adalah bertujuan untuk meningkatkan suaranya, juga suara partai.

BACA: Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di PILPRES

Kepada yang memakinya, saya ingin mengajukan pertanyaan, jika kita dalam posisi Bowo, apa yang akan kita lakukan untuk memenangkan pemilihan elektoral di satu arena di mana semua orang saling suap untuk menang? Pernahkah kita bertanya, mengapa di saat semakin banyak yang ditahan, korupsi tetap ada?

“Ah, itu hanya sial,” kata seorang caleg di satu media sosial. Praktik yang dilakukan Bowo itu lazim saat pemilihan. Jangankan di level DPR RI, untuk level kabupaten saja, semua orang memasang tarif. Para caleg akan menyusun daftar calon pemilihnya, kemudian mulai menghitung berapa biaya yang harus dikeluarkannya.

Di atas kertas, pemilu adalah ajang untuk memilih wakil ralyat yang bisa dipercaya. Tapi di lapangan, semua orang beda pahaman mengenai pemilu. Umumnya melihat itu sebagai pesta meriah di mana banyak uang beredar di pasaran. 

Para caleg siap-siap merogoh kantung dalam-dalam hingga ludes. Sementara rakyat akan siap-siap didatangi, disenyumi, kemudian diberi segepok rupiah demi memilih nama tertentu. 

Sekali dalam lima tahun, suara rakyat dianggap penting. Elite politik bersilaturahmi demi apa yang disebut menyerap aspirasi rakyat, padahal itu dilakukan sembari menyebut nama, nomor urut, dan menitip kartu nama.

Saya tidak menafikan sejumlah caleg yang membangun kedekatan dalam waktu lama. Saya mendengar anggota dewan yang tetap menjaga hubungan dnegan konstituennya dan secara rutin menggelar program bersama. 

Tapi, kisah-kisah seperti itu tak selalu kita dengar. Lebih banyak kita mendengar orang seperti Bowo yang melakukan money politic. Data calon pemilih dikumpulkan, setelah itu mulai eksekusi. 

Uang menjadi perekat agar untuk menjaga agar suara tidak lari ke mana-mana. Uang menjadi strategi untuk mengikat seseorang dalam perjanjian, “Kamu memilih saya, maka saya siapkan bagianmu.”

***

SAYA teringat tulisan Aspinall & Sukmajati (2015) yang mengidentifikasi beberapa pola kerja politisi untuk mengikat publik agar memilihnya di ajang pilkada. Pola ini menjadi arus utama yang dilakukan politisi di berbagai wilayah.

Pertama, pembelian suara (vote buying). Biasanya, praktik pembelian suara ini dilakukan seorang politisi kepada konstituen. Tim sukses sebelumnya melakukan pendataan terhadap para pemilih, lalu menentukan siapa saja yang akan diberikan uang demi suara. 

Di tanah air, istilah untuk menyebutnya bisa bermacam-macam, namun yang kerap terdengar adalah istilah “serangan fajar” untuk menamakan pemberian uang saat pagi hari, jelang pemilih ke lokasi pencoblosan.

Kedua, pemberian pribadi (individual gifts). Biasanya, pemberian pribadi ini meliputi pemberian beberapa barang seperti arloji, kalender, sembako, rokok, gula, kopi, mie instan, peralatan pertanian. Bisa pula beberapa benda yang memiliki makna religius, misalnya jilbab, mukena, peci, sajadah, tasbih, ataupun air zam-zam.

Politisi memberikan benda-benda ini saat hendak berkunjung ke rumah konstituennya. Label yang seirng dikemukakan adalah sebagai kenang-kenangan, serta bisa digunakan di saat genting. Pemberian ini digunakan sebagai perekat hubungan sosial.

Ketiga, pelayanan dan aktivitas (services and activities). Selain pemberian tunai, seorang kandidat juga bisa menggelar beragam kegiatan yang mempertemukan politisi dan konstituen. Pertemuan itu biasanya diiringi iming-iming pemberian hadiah tertentu, misalnya pertandingan domino, lomba balap karung, turnamen sepakbola, ataupun lomba menyanyi bersama.

Biasanya, acara-acara sejenis akan melibatkan banyak orang serta adanya sejumlah kuis-kuis yang isinya adalah bagaimana mengenalkan seorang politisi kepada masyarakat awam.

Keempat, barang-barang kelompok (club goods). Biasanya barang-barang ini diberikan untuk mengikat persaudaraan kelompok. Misalnya pemberian bantuan untuk masjid, pemberian atribut untuk barisan pendukung, hingga penyediaan sarana kesehatan untuk kelompok pendukung.

Seorang caleg bisa membentuk kelompok-kelompok kecil yang nantinya menjadi kekuatan untuk mempromosikan dirinya. Kelompok ini lalu difasilitasi dan diberikan atribut, serta adanya imbalan berupa gaji tertentu. Biasanya, pemberian pada kelompok ini dimediasi oleh seorang  tokoh masyarakat, yang kerap berperan sebagai broker politik.

Kelima, proyek-proyek pembangunan (pork barrel projects). Seorang politisi sering kali menjanjikan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah tertentu. Proyek ini biasanya melibatkan lobi-lobi, jaringan, serta kongkalikong antara seorang kandidat dengan sejumlah instansi terkait. 

Pemberian proyek ini biasanya diikuti dengan penyerapan tenaga kerja di lokasi tersebut, yang diharapkan agar semakin memperkuat branding atau nama baik dari seorang caleg.

***

BOWO sedang menanti nasib. Sebagai wakil rakyat, tentunya Bowo salah sebab memberi “serangan fajar.” Di kepalanya, pemilu ibarat bisnis yang harus dimenangkan dengan suap. Dia ingin lolos dan terpilih sebab dia mempertaruhkan banyak hal untuk kemenangan.

Tapi dia tak pantas harus menjadi sebab tunggal yang menerima tudingan dari berbagai arah. Dia hanya melaksanakan pola kerja yang juga dilakukan banyak politisi. Jika dia terjerat, maka ada mekanisme yang gagal diamankannya sehingga dirinya tergelincir.

BACA: Westerling yang Bertulang, Berdagung, dan Berdarah

Di sisi lain, kita pun juga harus berani menyalahkan masyarakat kita. Sebab masyarakat kita terlanjur memandang tinggi mereka yang kaya dan menduduki jabatan publik. Masyarakat kita mudah tunduk patuh dan berbicara sopan kepada pemegang jabatan publik. Semua mendadak baik.

Sayang, demi label kaya dan terhormat itu, orang memilih jalan pintas. Kita tak punya kultur kerja keras dan banting tulang. Kultur kita menerabas demi menyelamatkan diri sendiri.

Di sisi lain, lembaga-lembaga hukum seperti KPK dan Kejaksaan hanya fokus pada bagaimana menangkap koruptor, tanpa melakukan upaya pencegahan agar orang tidak korupsi. Jika tak ada pembenahan serius pada sistem, aturan, dan norma, maka berita tertangkapnya para koruptor akan terus menjadi sajian di media-media kita.

Pada Bowo Sidik, kita menemukan cermin sosial kita yang menunjukkan betapa banyak pekerjaan rumah untuk segera kita tuntaskan demi anak cucu kita di kemudian hari, demi republik yang dahulu dibebaskan dengan penuh darah dan air mata.(*)




0 komentar:

Posting Komentar