Sering kali kita menghadapi sejarah sebagai sekadar rangkaian peristiwa dan tanggal-tanggal kejadian penting. Bahkan sering kali kita melihat tokoh sejarah hanya sebaris nama yang dihafalkan dan sesekali disebut dalam kaitan peristiwa.
Sering pula kita melihat sejarah yang serba hitam putih. Sejarah serupa menyaksikan panggung yang memperhadapkan jagoan versus penjahat. Sering pula kita menempatkan diri kita dan bangsa kita sebagai jagoan, sementara pihak lain adalah penjahat.
Namun bagaimanakah halnya jika kita berada pada posisi yang dituduh sebagai penjahat? Apakah kita akan punya kejujuran untuk menelaah, kemudian berdamai dengan masa lalu kita yang merupakan bagian dari penjahat? Ataukah kenyataan tak selalu hitam putih sebab setiap sisi baik, selalu ada sisi jahat?
Saya sedang membaca buku bagus yang ditulis Maarten Hidskes berjudul Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya. Buku terbitan Obor ini menarik sebab ada bagian yang mengisahkan bagaimana kekejaman Kapten Raymond Westerling di Sulawesi Selatan pada tahun 1946-1947.
Di Sulawesi Selatan, nama Raymond Westerling sering dilafalkan dengan penuh kebencian. Perwira pasukan khusus Belanda ini dianggap telah menghilangkan 40.000 nyawa rakyat Sulawesi Selatan. Dia dikenal bengis, kejam, dan lihai menembak. Pribadinya menjadi momok atas peperangan yang sedemikian kejam.
Buku ini tak melulu sejarah. Penulisnya, Maarten Hidskes, menulis buku ini serupa perjalanan untuk mengungkap teka-teki. Bapaknya adalah seorang anggota pasukan Kapten Westerling. Sepanjang hidup bapaknya, tak pernah ada dialog mendalam mengenai pengalamannya di Sulawesi Selatan.
Semasa kecil, Hidskes sering menemukan ekspresi bapaknya yang berubah saat ditanya tentang Sulawesi. Dia tahu kalau bapaknya pernah bertugas sebagai pasukan khusus. Tapi bapaknya selalu menolak untuk membahasnya. Bapaknya selalu mengalihkan topik saat disinggung tentang perjalanannya ke Sulawesi sebagai prajurit.
Saat dia di sekolah, sempat muncul petikan sejarah tentang apa yang terjadi di Sulawesi. Di Belanda, tindakan dianggap sebagai upaya untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Setahun setelah proklamasi Indonesia, daerah-daerah bergolak. Banyak orang menebar teror. Belanda datang dengan misi untuk mencaplok beberapa wilayah.
BACA: Prediksi Akurat Siapa Kalah Menang di Pilpres
Di Sulawesi Selatan sendiri, masih tersimpan memori kolektif atas kebengisan Westerling. Dia dan pasukannya menyusun daftar pelaku teror. Masyarakat dipanggil satu per satu, kemudian ditembak di tempat. Pada masa itu, mayat dengan mudahnya ditemukan di jalan-jalan, kemudian dikumpulkan dan dikubur di satu lapangan. Kini di lapangan itu berdiri monumen yang dinamakan Monumen 40.000 Jiwa.
Saya tertarik dengan cara Hidskes menyusun buku ini yang serupa dialog. Dia memang tak banyak berdialog dengan bapaknya. Saat sang bapak meninggal, banyak rekan bapaknya dulu, sesama prajurit Westerling yang berdatangan demi memberikan penghormatan terakhir. Hidskes lalu perlahan menyusun patahan demi patahan informasi.
Dia menelusuri pengalaman bapaknya melalui memoar, arsip, dokumentasi, dan semua jejak yang ada. Dia butuh waktu 25 tahun untuk mengumpulkan bahan mengenai perjalanan ayahnya selama 12 minggu saat menjadi pasukan khusus di bawah pimpinan Kapten Raymond Westerling.
Sebagai jurnalis senior, dia bisa menyajikan satu catatan sejarah yang menarik. Kita seakan terlempar melalui portal waktu dan masuk dalam pengalaman seorang serdadu Belanda yang datang ke Sulawesi dan menjadi bagian dari teror. Kita ikut merasakan degup jantung, ketakutan, juga kengerian yang dihadapi seorang prajurit.
Bagi saya, catatan ini menarik sebab menyajikan satu rasa sejarah. Selama ini kita hanya menangkap sejarah sebagai rangkaian peristiwa yang dihafalkan. Kita kehilangan daging, kulit, dan tulang dari sejarah itu sebagai sesuatu yang dihadapi manusia pada satu kurun peristiwa.
Melalui catatan itu, kita tak berhadapan dengan kenyataan sebagai hitam dan putih. Ada proses mengalami dan merasakan sehingga kita bisa lebih arif dalam melihat masa silam, tanpa harus terjebak pada penilaian benar salah.
Butuh satu kearifan untuk memahami masa silam. Penulis buku ini, Maarten Hidskes, telah sampai pada titik untuk tidak larut dalam sikap untuk membela habis-habisan versi sejarah negerinya. Dia justru bersikap terbuka dan mengakui beberapa hal penting yang menjadi akar kekerasan pada masa itu. Melalui judul "Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya", dia menegaskan posisinya untuk melihat sejarah secara apa adanya.
Dari sisi subyektif seorang prajurit, kita bisa memahami dinamika satu masa, sekaligus bagaimana seharusnya menilai seorang tokoh yang dibenci sejarah yakni Kapten Raymond Westerling. Apakah dia sebengis kisah yang selama ini kita dengar?
***
Ini bukan pertama kalinya saya membaca catatan tentang sosok Westerling. Saya juga pernah menemukan catatan Westerling dalam buku Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950 yang ditulis Gert Oostindie. Buku ini menjadi catatan paling humanis tentang para serdadu yang dikirim berperang ke tanah air. Peperangan bisa membelah manusia dalam dua kubu. Manusia tak punya banyak pilihan. Namun melihat perang secara hitam putih, tak tepat benar.
Dalam memoarnya, Westerling menyebut tindakan itu memang harus dilakukannya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban. Sebagai pasukan khusus, ia bergerak cepat dalam situasi yang disebutnya runyam. Ia mengatakan:
“Saya juga bersikeras bahwa saya dengan mengorbankan sejumlah nyawa telah menyelamatkan puluhan ribu nyawa lainnya. Nyawa-nyawa yang saya lenyapkan adalah nyawa para penjahat, puluhan ribu yang saya selamatkan adalah nyawa-nyawa dari para orang yang tak berdosa,”
Bagi Belanda, situasi saat itu sangat runyam. Banyak terjadi kerusuhan. Kriminalitas meninggi. Banyak penjahat yang mengaku seolah-olah mereka adalah pendukung tentara republik. Kehadiran pasukan khusus yang dipimpin Westerling adalah jalan keluar untuk mengamankan situasi. Benarkah korbannya hingga 40.000 nyawa?
Buku Geerst Oostindie tak spesifik membahas itu. Tapi saya pernah menemukan catatan Salim Said saat dirinya mewawancarai Westerling di Belanda pada tahun 1970-an. Ia penasaran dengan klaim pemerintah tentang jumlah korban 40.000 nyawa.
Masih dalam catatan Salim Said, beberapa upaya pelacakan korban Westerling, hasilnya jauh dari angka itu. Makmur Makka melacak korbannya sekitar 3.000 jiwa. Anhar Gonggong menunjuk angka ribuan, yang tidak semuanya dilakukan Westerling.
Kepada Salim, Westerling hanya menyebut angka 463 jiwa. Itu pun tidak semuanya tewas karena pistolnya yang menyalak. Sebagian besar justru dibunuh oleh anak buahnya. Harus diingat, anak buahnya di masa itu kebanyakan orang Indonesia. Tak tepat juga menimpakan kesalahan hanya pada dirinya seorang, meskipun ia mengakui sebagai pihak yang memerintahkan pembunuhan itu.
Pada masa itu, Belanda hendak membentuk negara boneka Indonesia Timur ciptaan Van Mook. Belanda ingin menunjukkan bahwa tidak semua wilayah republik tunduk pada Sukarno. Saat itu, banyak gerombolan yang memanfaatkan situasi itu untuk meneror masyarakat. Demi mengatasi keadaan menjadi tenang dan damai, Jenderal Spoor mengirim sahabatnya Westerling yang membawa 900 prajurit
Yang menarik, dalam buku ini, Westerling menyebut tindakannya secara terbuka. Mungkin ia memang berniat agar sejarah versi dirinya bisa sampai ke publik. Ia resah dengan catatan sejarah yang menyebut dirinya sebagai orang jahat.
“Kadang saya dianggap aneh. Apa yang saya lakukan? Saya telah membunuh empat laki-laki. Kesemuanya pembunuh. Dengan cara ini saya mengakhiri pembunuhan dan kejahatan mereka, yang telah menewaskan ratusan korban tak bersalah,” kata Westerling.
Dalam catatan Belanda, penanganan Westerling itu telah merebut hati masyarakat. Setelah pembunuhan secara terbuka yang dilakukannya, banyak masyarakat yang mendukung dan mau bekerja sama dengannya. Westerling mendapatkan penghargaan tinggi karena mendamaikan situasi. Mungkin saja ini terkait dengan shock therapy yang membuat orang-orang ketakutan.
“Saya membunuh dengan tangan saya sendiri karena saya ingin mempertanggungjawabkannya sendiri. Saya membunuh para pembunuh yang telah melakukan kekejaman yang tak terhitung besarnya. Saya tidak membunuh orang yang tidak bersalah. Saya membawa kedamaian di wilayah-wilayah yang dipercayakan kepada saya.“
Catatan Westerling ini memang harus dibaca dengan kritis. Bisa jadi, ia sedang membangun justifikasi atas tindakannya. Poin penting yang bisa dipetik adalah dalam situasi peperangan, semua pihak menjalankan apa yang dianggapnya baik. Pada masa itu, Westerling menganggap dirinya sedang menjalankan misi untuk menciptakan keamanan dan ketertiban.
Kata Salim Said, Sulawesi Selatan punya sejarah perlawanan yang cukup heroik. Mereka menolak untuk berada di bawah Belanda, sehingga melakukan perlawanan. Potensi perlawanan itu yang ditakuti Belanda, lalu dipadamkan dengan penanganan ala Westerling. Belanda berpikir, sebelum api perlawanan itu membesar, mereka harus segera diberi efek kejut.
Berkat beberapa referensi itu, saya baru tahu kalau dalam masa perang, serdadu Belanda yang asli Eropa, malah tak begitu banyak. Yang banyak adalah orang Indonesia yang berada dalam kubu Belanda. Mereka tentara yang dibayar secara profesional. Dalam catatan Salim Said, banyak orang yang benci Sukarno sebab pernah menderita di zaman Jepang, seperti Romusha, Heiho, dan sebagainya, yang merupakan hasil kerja sama politik Sukarno dengan Jepang.
Kisah Westerling menarik di mata saya. Dia pensiun sebagai tentara pada tahun 1948. Ia menjalani masa pensiun dengan menjadi pengusaha bidang perkebunan di Jawa Barat.
Dia kawin dengan janda keturunan Perancis dan menetap di Puncak. Tapi ia tak lama menjalani pensiun, sebab terlibat dalam gerakan Ratu Adil. Ia menerima posisi pemimpin Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dikendalikan imam tertinggi Darul Islam, Kartosuwiryo. Hingga akhirnya, Westerling kembali ke Belanda dan melalui masa tuanya di sana.
Kehidupannya di Belanda tak begitu membahagiakan. Ia mencoba jadi penyanyi opera, namun gagal. Pernah ingin jadi penulis, tapi juga tidak berhasil. Dia masih tetap bergaul dengan eks tentara Belanda yang bertugas di Indonesia. Peperangan itu tak menyisakan trauma baginya. Ia mengaku bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya.
Saat ditemui Salim Said, kerut-kerut tampak di wajah Westerling. Ia telah berusia tua, namun tetap tegap. Ia masih bisa menembak dengan tepat lima tutup botol yang dilepas, pada satu lomba yang diadakan di satu bar.
Dari sisi kemanusiaan, tindakannya jelas bar-bar. Tak akan dibenarkan dalam kitab mana pun membunuh begitu banyak, bahkan terhadap musuh sendiri. Namun saat ditanya tentang korban 40.000 nyawa yang dibantainya, ia tertawa ngakak.
“Tanyakan pada Sarwo Edhie, Komandan Pasukan Khusus Indonesia, berapa banyak yang bisa dibunuh oleh pasukan khusus itu dalam waktu singkat,” katanya.
Membaca pernyataan terakhir ini, saya terhenyak.
0 komentar:
Posting Komentar