Lelaki di Balik Sosok TAN MALAKA

Harry A Poeze

SEMALAM, Tan Malaka dibahas di satu televisi swasta. Semua orang melihat dedikasi dan perjuangan tak lelah Tan Malaka untuk Indonesia merdeka. Semua orang menyematkan gelar Bapak Republik pada sosok misterius yang serupa intelijen telah berpindah-pindah negara demi menggalang gerakan bawah tanah untuk negerinya. Semua sepakat bahwa Tan Malaka adalah figur unik, jauh dari kilatan cahaya, dan perannya nyaris dilupakan selama puluhan tahun rezim.

Di acara bincang-bincang itu, mata saya fokus pada Harry A Poeze. Saya melihat kerut-kerut di wajah Harry. Ia sudah tidak muda lagi. Kalimatnya dalam bahasa Indonesia nampak terbata-bata. Jika tak ada dirinya, barangkali Tan Malaka akan benar-benar tenggelam di lipatan sejarah. Harry Poeze adalah sejarawan Belanda yang telah menghabiskan waktu selama 40 tahun untuk meneliti sosok Tan Malaka. Peneliti ini menelusuri banyak negara, tenggelam dalam lautan teks untuk menyajikan satu potret utuh tentang siapa dan apa kontribusi Tan Malaka.

Hubungan antara peneliti dan sosok yang ditelitinya adalah hubungan yang lebih dari sekadar cinta. Peneliti menelusuri segala hal tentang sosok itu, menempatkan dirinya dalam satu setting sejarah, juga berusaha memahami kegembiraan, keinginan, hasrat, obsesi, hingga segala kesedihan dan kemarahan. Dia juga harus bisa melihat setting sejarah mengapa sosok yang hendak ditulisnya memberikan respon tertentu.

Dengan cara yang sama kita bisa memahami hubungan antara Peter Carey dengan sosok Pangeran Diponegoro, Rudolf Mrazek dengan Sjahrir, Cindy Adams dengan Soekarno, ataupun Greg Barton dengan Gus Dur. Para peneliti dan sosok yang ditelitinya boleh saja terpaut jarak sejarah, tapi mereka dipertemukan oleh rasa sejarah yang sama. Peneliti mencebutkan dirinya dalam gelora kehidupan seorang sosok demi memahami segala situasi pada masa itu, serta hal-hal yang mempengaruhi perjalanan hidup seorang sosok tertentu.

Harry Poeze mengakui dirinya telah 40 tahun mengalami perasaan “jatuh cinta” pada sosok Tan Malaka. Ia mulai menulis tentang Tan Malaka sejak masih menjadi mahasiswa ilmu politik di Universitas Amsterdam. Ia mengikuti kelas yang diasuh Profesor Wim Wertheim, salah satu sosiolog dan pengkaji Indonesia. Ia juga tertarik saat membaca buku tebal yang dibuat Ruth McVey berjudul The Rise of Indonesian Communist Party. Ia tertarik karena nama Tan Malaka terkesan misterius, penuh teka-teki, namun selalu ditemukan dalam berbagai narasi perjuangan merebut kemerdekaan.

Harry lalu menulis skripsi tentang Tan Malaka semasa hidup di Belanda, pada 1913-1919, dan saat diasingkan kembali dari Indonesia ke Belanda pada tahun 1922. Skripsinya telah diterjemahkan dan diterbitkan dengan judul Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Harry tak berhenti di sini. Dia melakukan riset untuk tesis dan disertasi mengenai Tan Malaka. Disertasinya mengenai Tan Malaka belum pernah saya baca. Tapi melihat disertasi yang diterbitkan dalam beberapa buku tebal itu, serta melihat buku-bukunya yang lain, membuat saya yakin kalau isinya diolah dari kerja intelektual yang sangat serius.

Demi Tan Malaka, Harry bertualang ke banyak negeri dan mengumpulkan arsip. Negeri-negeri itu pernah dijelajahi Tan Malaka. Harry juga ke Jerman, Perancis, Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Filipina, hingga Indonesia. Harry menelusuri jejak Tan Malaka sebagai aktivis politik lintas negara, yang punya banyak nama alias di berbagai negara.

Selain menyajikan biografi Tan Malaka sebanyak 3.000 lembar, Harry punya ribuan koleksi arsip mengenai sosok itu. Di antaranya adalah arsip dari Rusia, yang berisikan surat-menyurat Tan Malaka. Harry berhasil memecahkan kode-kode khusus yang digunakan Tan Malaka saat berkomunikasi dengan banyak rekan aktivis. Melalui Harry, kita jadi tahu bahwa selama ini Tan Malaka berkomunikasi dalam berbagai bahasa.

Pada Harry Poeze, kita bisa belajar tentang konsistensi dan kuriositas. Bahwa kerja-kerja intelektual adalah kerja yang terus berkesinambungan. Sekali seseorang menulis satu topik, maka sebaiknya ia harus memperdalam dan mengasah pengetahuannya tentang topik itu di sepanjang karier intelektualnya. Sungguh beda dengan banyak intelektual kita yang suka mengamati segala hal, tapi lupa memperdalam pengetahuannya tentang satu hal. Pada Harry, kita menemukan teladan bahwa pengetahuan harus terus diperdalam dan dikembangkan. Harry Poeze melakukannya sejak menulis skripsi, tesis, hingga disertasi.

Publikasi Harry Poeze tentang Tan Malaka terbilang banyak dan tebal-tebal. Saat ini, akan susah membahas nama Tan Malaka, tanpa menyebut riset dan publikasi Harry Poeze. Berkat Harry, Tan Malaka “ditemukan” kembali dan diangkat kiprahnya dalam pentas sejarah kita. Berkat Harry, jejak-jejak Tan Malaka bisa diabadikan, sehingga ditampilkan kembali dalam lembaran sejarah, yang nyaris hilang selama puluhan tahun. Berkat Harry, ingatan atas sosok Tan Malaka bisa dilestarikan dan diwariskan untuk anak cucu mendatang.

Berkat Harry pula, gelombang penerbitan karya-karya Tan Malaka mulai marak. Saya asih ingat persis bagaimana menemukan buku Madilog atau Materialisme, Dialektika, dan Logika semasa mahasiswa. Buku ini disebut sosiolog Ignas Kleden, sebagai salah satu buku terbaik yang pernah dibuat orang Indonesia. Melalui banyak buku Tan Malaka, kita mendapat gambaran bahwa sosok ini tak sekadar aktivis, dia juga intelektual yang menuliskan semua jejak pemikirannya secara utuh.

Generasi mendatang boleh tidak sepakat dengan strategi perjuangan Tan Malaka, sebagaimana keyakinan yang dipilih sejumlah orang di masa kini. Namun mereka harus terlebih dahulu mendapatkan informasi lengkap tentang siapa sosok ini dan apa saja yang dilakukannya. Jika tak punya informasi, telusurilah dengan intensitas seperti yang dimiliki Harry.  Apa yang kita sebut sejarah, selalu terkait rezim dan dinamika masyarakat. Rezim bisa saja menghapus peran seseorang, sebab pemikirannya berbeda dengan ideologi dominan. Berkat para peneliti dan sejarawan, seseorang bisa diabadikan sehingga generasi mendatang bisa menemui gambaran yang utuh tentang masa silam.

Selain dinamika intelektual, ikhtiar Harry juga menghadirkan wajah kemanusiaan. Sebagai orang Belanda, yang nenek moyangnya adalah kompeni, Harry justru keluar dari bayang-bayang masa silam. Dia tidak hendak menyajikan fakta yang berisi sanjungan pada kompeni, tapi bisa melihat masa silam secara utuh sebagai dinamika manusia. Ia memilih Tan Malaka sebab bisa memahami bagaimana ide-ide dan hasrat besar sosok ini untuk kemerdekaan bangsanya. Dia menyajikan sejarah apa adanya, bukan sesuatu yang hitam-putih, melainkan pergulatan manusia untuk menggapai cita-cita dan idealismenya.

Di puncak perjalanan intelektualnya, Harry berhasil menemukan lokasi kuburan Tan Malaka di Selopanggung, Kediri. Ia mewawancarai banyak orang tentang eksekusi Tan Malaka. Ia juga bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk melakukan tes DNA demi membuktikan itu kuburan Tan Malaka. Dalam usia sepuh, Harry masih memiliki obsesi agar Tan Malaka dimakamkan kembali secara layak sebagai pahlawan di taman makam pahlawan. “Saya masih menunggu keputusan pemakaman kembali Tan Malaka di Kalibata, sebagai puncak dari riset saya selama lebih dari 40 tahun,” katanya kepada Tirto.

Kerja intelektual dan kerja kemanusiaan laksana sisi koin yang saling melengkapi. Kerja Harry mencari Tan Malaka berujung pada kerja kemanusiaan yang hendak mengembalikan harkat dan martabat seseorang yang hendak dihapus dalam sejarah. Saya membayangkan, jika Tan Malaka bangkit kembali dari kuburnya, mungkin ia akan mencari Harry dan mengucapkan terimakasih karena telah merawat legacy atau warisannya.

Berkat Harry Poeze, suara Bapak Republik itu melintasi zaman dan terus nyaring. Persis seperti kalimat Tan Malaka: “Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih nyaring daripada di atas bumi!”



Bogor, 13 Juli 2017

BACA JUGA:





0 komentar:

Posting Komentar