Jusuf Kalla, Quraish Shihab, dan Kisah-Kisah Keluarga

Quraish Shihab di tengah anak, menantu, dan cucu

DI media sosial, banyak orang yang mempertanyakan keimanan keluarga Prof Dr Quraish Shihab. Banyak yang menuduh Quraish bukanlah seorang ayah yang baik dan beriman sebab tidak mewajibkan putrinya berjilbab. 

Banyak yang hanya melihat permukaan serta lebih percaya desas-desus, ketimbang menyerap hikmah yang ada di sekitarnya. Banyak yang lebih sibuk membuktikan ulama besar itu sesat dan akan masuk neraka, ketimbang menyiapkan diri sendiri untuk memasuki gerbang surga.

Bagaimanakah Prof Quraish Shihab membimbing anak-anaknya? Apakah Quraish mewajibkan anaknya untuk ibadah, termasuk membawa doa dan wirid setiap hari? Bagaimanakah jejak-jejak dan kesan keluarganya sejak berdomisili di Rappang, Makassar hingga Jakarta?

Dalam buku Cahaya, Cinta, dan Canda M Quraish Shihab, terdapat banyak hikmah yang pantas untuk dipetik dan dibagikan.

***

ACEH, 26 Desember 2004. Tsunami telah menerjang wilayah itu hingga porak-poranda. Di mana-mana mayat bergelimpangan. Aceh laksana kapal pecah yang berserakan di mana-mana. Jerit tangis dan kesedihan terdengar menyayat dari berbagai sudut.

Wakil Presiden Jusuf Kalla datang untuk membawa bala bantuan. Sebagai Kepala Bakornas Penanggulangan Bencana, lelaki pemberani itu menggelar rapat darurat. Ia memerintahkan penanganan medis bagi korban, penyediaan logistik, dan memerintahkan agar menguburkan lebih seratus ribu mayat. Seorang pejabat Aceh berbisik, bagaimanakah cara menguburkan mayat itu? Apakah harus dikafani?

Jusuf Kalla memerintahkan agar panggil ulama. Namun tak ada yang datang. Ulama pun banyak yang jadi korban tsunami. Dia resah sebab tanggung jawab menguburkan bukanlah tugas seorang wakil presiden. Ini tugas ulama. Tapi dia harus mengambil sikap. Dia berpendapat bahwa semua korban meninggal dalam keadaan syahid, karena itu tidak perlu dimandikan dan dikafani. Para pejabat Aceh merasa belum puas. Tak kehilangan akal, Kalla menulis di atas kertas perintah itu, kemudian mengatakan.”Ini fatwa!”.

Keesokan harinya, ia berangkat ke Medan. Baru sampai di Bandara Polonia, ia langsung mengontak sahabatnya Prof Quraish Shihab. Ia deg-degan menunggu jawaban apakah dirinya sudah benr ataukah tidak. “Pak Jusuf sudah benar. Memang seharusnya demikian” kata Quraish. Jusuf Kalla lega.

Hubungan Jusuf Kalla dan Quraish Shihab bukanlah hubungan kemarin sore. Hubungan mereka sudah berlangsung selama empat generasi. Ayahanda Jusuf Kalla, yakni Hadji Kalla, adalah sahabat dekat Abdurrahman Shihab, ayah Quraish. Abdurrahman Shihab pernah menjadi Ketua Masjid Raya Makassar, yang bendaharanya adalah Hadji Kalla. 

Keluarga Hadji Kalla telah lama menjadikan Abdurrahman sebagai tempat bertanya menyangkut banyak urusan. Saat para ayah meninggal, Quraish menjadi Ketua Masjid Raya Makassar, dan bendaharanya adalah Jusuf Kalla. Tak hanya dengan Quraish, Jusuf Kalla juga bersahabat dengan Umar dan Alwi Shihab. Anak Quraish bersahabat dengan anak Jusuf Kalla. Bahkan cucu Quraish juga bersekolah di tempat yang sama dengan cucu Jusuf Kalla. Empat generasi keluarga itu terpaut.

Sejak awal tahun 1980-an, keluarga besar Hadji Kalla selalu mengontak Quraish muda yang ilmu agamanya dianggap sudah mumpuni. Suatu hari, Jusuf Kalla hendak membangun hotel besar di Makassar. Ia sudah menandatangani perjanjian dengan Grand Hyatt. 

Biarpun sudah jadi pengusaha besar, Jusuf sangat mendengar apapun pertimbangan ayahnya, Hadji Kalla. Sementara sang ayah, Hadji Kalla, sangat mendengar pertinbangan Quraish yang saat itu kuliah doktor di Al Azhar. Walhasil, Hadji Kalla bersurat ke Quraish untuk minta pertimbangan.

Kata Quraish, tak masalah jika membangun hotel sebab di Mekah dan Kairo juga banyak hotel. Tapi pengelolaannya harus mematuhi kaidah syariat. Hadji Kalla bertanya pada anaknya, “Apa kamu sanggup mengelola seperti kemauan Pak Quraish?” Jusuf ragu-ragu. Ia membatalkan rencana pembangunan hotel itu. Ia memilih membangun sekolah dan lembaga pendidikan. Keputusan itu berawal dari pertimbangan Quraish.

Tahun 1967, Jusuf menikah dengan Mufidah. Hadji Kalla mendaulat Abdurrahman Shihab menjadi penasihat pernikahan. Ucapan Abdurrahman masih terngiang di benak Jusuf Kalla.  “Mudah-mudahan Mufidah akan jadi mufidah untuk Jusuf, dan Jusuf akan jadi mufid untuk Mufidah.” Dalam bahasa Arab, mufidah atau mufid artinya bermanfaat. Kini, pada setiap pernikahan anak Jusuf Kalla, Quraish yang selalu diminta untuk membacakan nasihat pernikahan.

Selama keluarga Shihab tinggal di Makassar, tak pernah terdengar cela pada mereka. Sebagai ahli agama, mereka adalah teladan dan panutan umat. Keluasan pengetahuannya benar-benar ditujukan untuk umat. Tak lelah, mereka berbagi ilmu, memenuhi undangan hingga gang-gang sempit, juga menjadi akademisi yang mengajar di kelas. Quraish menempati banyak posisi akademis. Mulai dari Wakil Rektor di IAIN Alauddin, hingga akhirnya menjadi Rektor.

Jalan nasib membawanya untuk pindah ke Jakarta pada tahun 1984. Jusuf Kalla sempat menahannya sebab Makassar membutuhkan mereka. Jusuf bisa memahami pandangan Quraish bahwa medan pengabdiannya tak sebatas Makassar, tapi Indonesia. Ia ke Jakarta untuk melanjutkan misinya mencerahkan umat.

***

DI Jakarta, Quraish mencerahkan Indonesia. Ia tampil di televisi untuk berdakwah. Pendekatannya yang bisa menjelaskan detail makna setiap kata dalam bahasa Arab menjadikannya rujukan banyak orang. Ia juga seorang penulis yang amat produktif. 

Dalam ingatan Jusuf Kalla, setelah ulama besar Buya Hamka, Quraish adalah ulama paling produktif yang setia menulis lembaran demi lembaran pengetahuannya mengenai Al Quran di Indonesia.

Bintang Quraish semakin terang. Ia menjadi guru besar, pendakwah, juga menempati posisi sebagai pejabat publik. Kariernya di kampus melesat hingga rektor. Ia pun menjadi Menteri Agama, kemudian menjadi Duta Besar. Ia juga penulis handal yang beberapa kali dinobatkan sebagai tokoh perbukuan Islami yang paling produktif.

Di luar dari berbagai posisi dan personal branding yang kuat di mata publik, ia tetap adalah seorang ayah bagi anak-anaknya. Berkat perkawinannya dengan Fatmawaty, perempuan asal Solo yang masih keturunan Arab, ia menjadi ayah bagi lima anak perempuan, dan satu anak lelaki. Pada anak perempuan, ia memberi nama dengan awalan N, yang diambilnya dari abjad Nun. Baginya, Nun adalah abjad istimewa, berdiri sendiri, dan mengandung makna yang positif.

Quraish Shihab (ketiga dari kiri) bersama saudara, Aba dan Emma

Di mata anaknya, ia seorang bapak yang periang dan suka bercanda. Pada anaknya, ia mengaku mengidolakan pemain bola bernama Qreschev, yang ternyata adalah nama lain Quraish sendiri. Ia figur ayah yang suka bercengkerama dengan anaknya.

Pernah, anaknya Hala diajak ke toko buku. Hala ingin membeli Majalah Bobo. Hala melihat ada dua majalah. Sang ayah hanya bersedia membelikan satu. Hala bingung, sebab satu majalah disukainya karena ada cerita yang ingin dibacanya, satu lagi karena ada bonus sticker. Tanpa diketahui ayahnya, Hala mengambil majalah yang ada cerita kesukaannya, tapi ia menyobek sticker majalah satunya. Tiba di rumah, barulah ia memberitahu ayahnya.

Quraish malah tertawa. Kepada Hala, ia menjelaskan dosa mencuri. Ia mengajak anaknya salat jamaah, lalu mendoakan agar diampuni. Dengan penuh sesal, Hala pun ikut berdoa. Dia berjanji tidak akan mengulanginya. 

Seusai berdoa, Hala protes karena doa ayahnya singkat saja, “Kok gak ada stiker Bobonya?” katanya. Sang ayah tertawa. Doa itu kembali diulangi, dan diselingi kalimat “Allahumma stiker Bobo..” yang diucapkan dengan keras. Hala lalu menjawab ”Amin.”

Dalam hal menjalankan ajaran agama, Quraish seorang bapak yang sangat disiplin. Semua anaknya harus berada di rumah saat salat Magrib. Mereka punya tradisi untuk ikut salat jamaah. Selepas salat Magrib, mereka lalu ramai-ramai membaca wirid atau ratib, kemudian mengaji. Rumah Quraish selalu semarak dengan bacaan Al Quran setiap malam. Wirid yang harus dibaca setiap malam adalah Ratib al-Haddad. Di pagi hari, semuanya membaca Wirid Lathif.

Wirid yang indah itu disusun Imam Al Habib Abdullah bin Alawi Al Haddad dari Hadramaut. Beliau adalah salah satu ulama besar di abad 12 H. Beliau dilahirkan di salah sebuah kampung di kota Tarim, Yaman pada malam ke-5 bulan Safar, tahun 1044 Hijrah. 

Mereka yang membaca ratib ini diyakini akan selalu terjaga dari hal-hal yang bisa menyesatkan. Isi Ratib al-Haddad adalah potongan surah Al Quran dan doa-doa yang diajarkan Rasulullah SAW. Di antaranya adalah Surah Al Fatihah, Ayat Kursi, Surah Al Ikhlas, Surah Al Baqarah, Surah Al Falaq dan An Nas. Sedangkan Wirid Lathif yang dibaca saat subuh bertujuan untuk melenyapkan kesusahan, kesedihan, kegelisahan, mempermudah rezeki serta memenuhi kebutuhan.

Sejak masih kecil, semua anak-anak Quraish sudah menghafal doa-doa ini. Mereka sudah paham bahwa berdoa sesudah Magrib adalah kewajiban bagi semuanya. Biasanya, seusai berdoa, mereka akan berdiskusi membahas banyak hal. 

Quraish akan menanyakan pendidikan anak-anaknya serta tugas-tugas sekolah. Di keluarga ini, pendidikan adalah nomor satu. Quraish membebaskan anaknya untuk memilih bidang apapun yang hendak dimasuki. Ia percaya bahwa dengan fundasi keagamaan yang kokoh, anak-anaknya tidak akan tersesat.

Tak heran jika semua anak Quraish menekuni beragam profesi. Ada yang menjadi psikolog, ada yang menjadi jurnalis dan presenter televisi, ada yang jadi psikolog, dokter, hingga menekuni bisnis di bidang IT. Biarpun kesemuanya menemuh profesi yang berbeda, di malam hari, seusai salat Magrib, mereka akan menjadi bagian dari salat berjamaah serta melafalkan doa-doa yang sama.

Saat anaknya Najwa lulus program America Field Service (AFS) di usia 16 tahun sehingga memiliki kesempatan tinggal bersama keluarga di Amerika Serikat selama beberapa waktu, Quraish tak ragu-ragu melepasnya. Ia percaya bahwa anaknya sudah memiliki fundasi keagamaan yang kuat. 

Dengan memberi kepercayaan kepada anak, maka ia mengajari anak itu untuk bertanggungjawab pada apapun pilihannya. Demikian pula ketika anaknya memilih pasangan hidup. Ia membebaskan mereka, tetapi memberi syarat yakni haruslah rajin melaksanakan salat. Itu sudah cukup baginya.

Jika belakangan ini banyak orang yang tiba-tiba saja memvonis anak-anak Quraish tidak Islami, maka tuduhan itu menjadi aneh. Tak bijak memvonis orang lain tidak Islami hanya karena satu kenyataan yang dilihat dari sisi subyektif.  

Tuduhan itu seyogyanya dikembalikan ke dalam diri. Boleh jadi, yang dituduh itu jauh lebih menjaga diri dan menjalankan berbagai amalan ketimbang yang menuduh. Boleh jadi, yang difitnah itu jauh lebih mendekati Tuhan, ketimbang yang melemparkan tuduhan. Boleh jadi, yang dituduhkan itu jauh lebih baik dari diri yang menuduh.

Jika tuduhan itu berpangkal pada perbedaan penafsiran, maka seyogyanya dialogkan dengan baik. Pada titik ini, Quraish adalah figur yang selalu menerima kritikan dari siapa saja. Ia membuka diri untuk berdiskusi. Ia sangat menghargai siapapun yang bisa memberikan kritik atas karya-karyanya. Beberapa kolega dekatnya sekarang dahulu adalah para pengkritiknya. Melalui kritik, ilmu yang dimiliki seseorang akan terus berkembang.

Pada akhirnya, manusia akan mempertanggungjawabkan semua diri dan tindakannya di hadapan Tuhan. Jauh lebih baik jika semua orang berlomba-lomba menjalankan ibadah dan menyebar kebaikan, ketimbang saling menuduh. Semakin banyak kebaikan yang dsebar, semakin makmur bumi, semakin indah hubungan antar manusia, dan ajaran agama semakin dibumikan.

***

Di usia yang tak lagi muda, obsesi Quraish tidak lagi banyak. Ia telah menulis tafsir Al Mishbah yang menjadi monumen pencapaiannya, sekaligus warisan bagi umat Muslim di Indonesia. Ia juga masih mengawal Pusat Studi al-Quran (PSQ) bersama sejumlah cendekiawan dan pakar tafsir di Indonesia. Misinya adalah membumikan keindahan makna Al Quran dalam segenap ranah kehidupan.

Kehidupannya laksana perjalanan untuk menggapai tangga-tangga kearifan melalui upaya menyelam di lautan teks. Ia seorang penyelam di lautan makna yang selalu membagikan perjalanannya agar mencerahkan orang lain. 

Melalui banyak buku yang dituliskannya, ia seolah mengatakan bahwa samudera ilmu dan makna dalam kitab itu terlampau luas. Ia hanya menyajikan sekeping demi sekeping, namun setiap orang berkewajiban untuk melanjutkan upaya menyelami makna itu, membagikannya kepada pihak lain, menerapkannya dalam kehidupan.

Kehidupannya berkisar pada sejumlah topik: pendidikan, keluarga, tafsir kitab, dakwah, dan kecintaan pada Indonesia. Ia meninggalkan banyak jejak yang kelak akan mejadi kompas bagi generasi penerus. Tak berlebihan jika menyebut dirinya teah bertransformasi sebagai guru bangsa, sebagaimana Gus Dur, Cak Nur, dan sejumlah cendekiawan yang setia mereproduksi teks-teks sebagai penrang bagi rakyat Indonesia.

15 Jilid Tafsir Al Mishbah

Biarpun telah mencapai banyak hal, dirinya tetaplah seorang anak yang selalu merindukan ayah-ibunya. Pada ibunya, perempuan Bugis asal Rappang, Sulawesi Selatan itu, Quraish menyimpan banyak pujian dan rindu yang teramat dalam. 

Pada ayahnya ia belajar ilmu-ilmu agama, pada ibunya, ia belajar ilmu kehidupan. “Aku, meskipun telah dewasa, masih kecil jika berhadapan dengannya. Ketika tua pun aku masih kanak-kanak saat bersamanya. Aku masih senang berada di pembaringannya, walau aku telah berumah tangga. Aku merengek tanpa malu, menciumnya tanpa puas, berlutut dengan bangga di hadapannya,” katanya.

Pada Emma, panggilan untuk ibunya, ia mendedikasikan cinta. Saat mulai bekerja, semua gajinya diserahkan pada Emma. Betapa ia terkejut, saat hendak menikah dan saat menempuh pendidikan doktoral, Emma memberinya kepingan-kepingan emas, yang diakui Emma sebagai pemberian Quraish selama ini. 

Emma tidak hendak menikmati pemberian anaknya, melainkan menyerahkannya kembali pada saat anaknya membutuhkan. Seperti matahari, ia tak lelah memberi, dan tak pernah meminta balas jasa apapun pada anaknya.

Kepergian Emma pada tahun 1986 adalah kepergian yang paling menyedihkan batinnya. Dalam sehari, ia membacakan Al Fatihah sebanyak tujuh kali untuk ibu yang dirindukannya itu. Dalam salah satu bukunya, ia menulis dengan kalimat yang mengharukan:

“Ibu adalah salah satu ciptaan Tuhan yang paling mengagumkan. Hatinya adalah anugerah Tuhan yang terindah. Dunia dan seisinya tidak sepadan dengan kasih sayang ibu. Ibu lebih agung, ibu lebih indah, ibu lebih kuat. Ibu adalah sumber memperoleh kebajikan.”


Bogor, 2 Juli 2017


BACA JUGA:








4 komentar:

Intan Rosmadewi mengatakan...

Alhamdulillah. Terimakasih telah menuliskan bagi kami. Yaaq hatur nuhun

Sapa Dunia mengatakan...

Ya Alloh, artikelnya bagus Bang.

Hening dp mengatakan...

Trimakasih,sepenggal kisah hidup yg sangat inspiratif

Hening dp mengatakan...

Terimakasih, sepenggal kisah seorang tokoh yg inspiratif

Posting Komentar