ilustrasi |
DI satu sore yang cerah di Depok, Jawa Barat,
seorang sahabat mengajak saya untuk berbincang serius. Sahabat itu adalah
mantan aktivis Walhi yang kini tengah mengorganisir perlawanan melalui jalur
hukum untuk mempertahankan kawasan hutan Leuser, yang tengah terancam oleh
kebijakan pemerintah. Dia meminta dukungan untuk mengorganisir suara-suara
warga yang memiliki idealisme sama untuk melihat hutan lestari.
Kami sama-sama sepakat untuk mengorganisir satu
lomba blog. Kami sama-sama penasaran, seperti apakah suara-suara netizen dan
warga dunia maya terkait hutan, apakah mereka memang menginginkan hutan itu
tetap lestari dan menghadirkan kesejukan serta satwa yang hidup damai, ataukah
mereka sepakat dengan langkah pemerintah untuk menebang hutan bersama para
investor.
Tadinya ada sejumput keraguan tumbuh di benak
saya. Bisakah lomba blog efektif untuk mengalirkan suara-suara mengenai
lingkungan yang selama ini terabaikan? Sejauh pengamatan saya, lomba-lomba
kepenulisan di ranah maya lebih banyak disponsori oleh produk yang dijajak
melalui online. Banyak pula lomba yang diadakan instansi pemerintah dengan dana
besar. Banyak pula lomba yang diadakan perusahan tambang dengan arapan
mendapatkan dukungan publik melalui citra positif. Di tengah berbagai fakta
itu, saya bertanya-tanya, bisakah lomba blog bertemakan lingkungan efektif
untuk mendorong warga mengungkapkan suara-suara yang selama ini terabaikan?
Dengan niat baik untuk membuktikan sejauh mana
hipotesis itu, saya menyanggupi ajakan menjadi juri sekaligus pengorganisir
lomba. Saya lalu menyebar informasinya melalui berbagai situs media sosial. Saya
juga membagikannya melalui beberapa grup pertemanan di whatsapp. Tak saya
sangka, informasi tentang lomba itu menyebar secara viral. Barusan saya
mengecek di dashbord blog itu, ternyata jumlah yang membaca postingan tentang
lomba itu telah hampir mencapai puluhan ribu orang. Jika separuh saja dari
jumlah itu tergugah saat menemukan fakta apa yang terjadi di sana, bisa
disimpulkan ada ribuan orang yang tersentuh hatinya.
Seminggu ini, saya menyempatkan waktu untuk
membaca berbagai email yang terkirim. Lomba ini telah ‘memaksa’ saya untuk
kembali belajar bagaina mengorganisir satu gerakan di dunia maya. Saya juga
rutin membaca semua tulisan yang hendak diikutkan lomba. Saya mengamini kalimat
Thomas Friedman dalam buku “The World is
Flat”, bahwa dunia telah menjadi datar. Apa yang terjadi di satu tempat
bisa menimbulkan kekhawatiran dan keresahan di tempat lain. Batasan kian
mengabur. Suara perlawanan bisa datang dari mana saja.
Dahulu, suara perlawanan hanya dilakukan
melalui demontrasi dan aksi bakar ban. Demonstrasi yang niatnya untuk menggugah
publik itu seringkali justru jauh dari simpati publik. Yang muncul justru
antipati publik disebabkan demonstrasi itu memacetkan jalanan, serta isu-isu
yang diangkat sering tidak mengakar. Di kota Makassar, saya pernah membaca
berita tentang tiga orang mahasiswa yang berdemonstrasi dan memacetkan jalan
poros, hingga melumpuhkan jalan-jalan seluruh kota Makassar. Yang bikin saya
jengkel adalah aksi itu adalah protes atas tender pengadaan barang di satu
instansi pemerintah, yang katanya tidak transparan. Hah? Sejak kapan mahasiswa
fokus pada tender pemerintah? Rupanya para mahasiswa itu disetir oleh
kontraktor yang gagal mendapat tender.
Dunia tengah berkembang pesat. Perlawanan di
era 3.0 menjadi semakin variatif. Dalam buku Small Acts of Resistance yang ditulis Steve Crawshaw dan John
Jackson, saya menemukan begitu banyak variasi perlawanan yang tidak selalu
bernuansa demonstrasi. Di Peru, aksi mencuci bendera bisa menggetarkan rakyat
lalu melakukan revolusi, permainan sepakbola Didier Drogba bisa mengharu-biru
Pantai Gading yang diguncang konflik, hingga kalimat petinju Muhammad Ali bisa
menghempas warga Amerika untuk mempertanyakan ulang makna nasionalisme negara
yang memaksa warganya untuk menempur warga belahan bumi lain.
Guys…. Jangan terkejut kala mengetahui gerakan
emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan
kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Mari pula beri ruang pada
Malala, perempuan berusia 25 tahun yang pidatonya menggetarkan rezim otoriter
yang selalu menebar teror. Bahkan gosip-gosip bisa menjatuhkan rezim yang
memulai perang di Darfur, Sudan Selatan. Jangan terkejut kalau menemukan fakta
jatuhnya rezim Slobodan Milosevic dimulai dari aksi mengutak-atik program
photoshop, jatuhnya rezim Ferdinand Marcos berawal dari sejumlah perempuan yang
menolak untuk mengubah suara pemilu, revolusi di dunia Arab dimulai dari aksi
meneruskan pesan di twitter, aksi perempuan Serbia yang tetap berdandan seksi
dengan lipstick merona demi menghentikan perang, hingga aksi menolak hubungan
seks dari perempuan Sudan bisa menghentikan perang saudara selama 20 tahun.
Hah? (untuk lebih jelasnya sikalan klik Penolakan Seks yang Memicu Revolusi).
Dunia tengah menantikan aksi perlawanan yang
lebih kreatif, variatif, serta lebih bisa menentukan di mana jantung dari
setiap ketidakadilan. Di abad ini, setiap tindakan perlawanan bisa dilakukan
siapapun, bisa dilakukan di mana saja, serta bisa menjatuhkan satu rezim dengan
cara-cara yang tidak biasa, tapi sungguh menggetarkan.
***
Di atas meja saya, terdapat banyak print-out
dari loma blog bertemakan lingkungan. Niat awalnya kami ingin menyerap suara
tetang Leuser. Ternyata topik yang dibahas menjadi sedemikian luas, dan
orang-orang berbicara tentang dunia yang dihadapinya. Saya menikmati saat-saat
membaca tulisan tersebut.
Mereka yang mengirimkan tulisan itu berasal
dari berbagai tempat di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari berbagai latar
belakang. Ada seorang peneliti di satu lembaga riset berpengaruh, ada juga seorang
ibu rumah tangga yang menulis di sela-sela aktivitas menjagai bayinya, ada
seorang mahasiswa pencinta alam yang khawatir pegunungan akan digali korporasi
tambang demi memuaskan hasrat memperkaya diri, ada seorang warga di pesisir
pulau yang menulis keresahannya atas lautan yang kian dikapling untuk dijadikan
resort wisata. Saya juga menemukan suara seorang perempuan kota yang khawatir
atas aksi pembunuhan binatang demi dijadikan mantel bulu. Yang menggetarkan
saya, seseorang di pedalaman Papua sana menulis tentang limbah-limbah galian
Freeport yang kian mencemaskannya.
Dari berbagai penjuru tanah air, saya menemukan
suara-suara perlawanan yang diekspresikan melalui jari-jemari dalam satu
atmosfer dunia digital yang memutus jarak dan mendekatkan semua gagasan. Mereka
yang menulis berada dalam berada dalam gelombang pemikiran yang sama. Mereka
tergerak untuk bersuara atas sesuatu yang amat penting. Mereka sama-sama
mengacungkan telunjuk protes yang kemudian disaksikan banyak orang. Jangan kira,
banyak revolusi besar yang dimulai dari pernyataan protes seperti itu.
Seminggu ini saya membaca berbagai tulisan. Seminggu
ini batin saya dibasahi oleh suara-suara
dari berbagai penjuru mengenai lingkungannya. Ada nada khawatir, getir, dan
lirih yang coba dirangkum dalam kata. Di situ, saya juga temukan optimisme
kuat: bahwa bangsa ini akan semakin kuat sebab ada banyak orang baik yang
tersebar di mana-mana. Bahwa Indonesia akan selalu lestari dan menjadi rumah
yang nyaman saat semua orang berjejaring dan menyuarakan hal yang sama. Bahwa
Indonesia akan menjadi garuda perkasa saat semua warganya menjadi garuda yang
saling menopang dan tak henti menyuarakan hal-hal baik tentang bangsa ini.
Jika seabad silam Marx berkata, "Kaum proletar sedunia, bersatulah!", maka di abad ini, kita bisa berkata, "Kaum netizen sedunia bersatulah! Saatnya menyuarakan segala yang terpendam dan tak terbahasakan. Saatnya menyalakan revolusi!"
Bogor, 1 Oktober 2016
Catatan:
Anda
tertarik untuk ikut lomba blog ini? Silakan klik DI SINI
BACA JUGA:
2 komentar:
Benar-benar memotivasi bang. Mari lawan segala bentuk kecurangan.
Ini link tulisan saya: http://www.kompasiana.com/sultansulaiman/pesan-duka-dua-negeri-serambi-sebab-hutan-yang-terkoyak_57f0c52db99373000bc2c974 dan http://www.daengraja.com/2016/10/pesan-duka-dua-negeri-serambi-karena.html
Posting Komentar