Menyiasati Uang Panai' di Pernikahan Bugis-Makassar

poster film Uang Panai'

MULAI kemarin, 25 Agustus 2016, film Uang Panai’ Mahal ditayangkan di layar bioskop di 15 kota di tanah air. Saya berencana untuk menontonnya. Mendengar kata panai’, pikiran saya melayang ke masa-masa menjelang melakukan pernikahan dengan adat Bugis Makassar. 

Bagi sebagian orang, panai’, yang sejatinya adalah adat pemberian sejumlah uang untuk digunakan sebagai pesta dan belanja pernikahan, seringkali identik dengan kehormatan, harga diri, status sosial, serta sejauh mana ketinggian derajat di hadapan sistem sosial.

Namun pengalaman mengajarkan saya bahwa apa yang kita sebut adat, tradisi, atau sistem budaya, selalu memiliki titik singgung dengan berbagai aspek sosial, politik, sejarah dan ekonomi di satu wilayah. 

Terkait panai’, saya sendiri menemukan kompromi serta jalan keluar yang melegakan semua pihak dalam sistem budaya Bugis-Makassar. Pelajaran yang bisa dipetik adalah sistem budaya selalu adaptif dan memberi ruang bagi segala niat baik yang diinginkan semua pihak, termasuk pernikahan.

Anda boleh tak percaya. Tapi sebagai perantau di tanah Bugis, saya punya pengalaman bahwa panai’ tidaklah seseram yang dibayangkan banyak anak muda lajang yang berencana hendak menikah. Ah, gimana ceritanya?

***

TERKEJUT saya saat membaca liputan media tentang rekor panai’ tertinggi di masyarakat Bugis. Jumlah panai yang tercatat di Pinrang, Sulawesi Selatan, adalah 599 juta rupiah, lebih tinggi dari rekor panai’ tertinggi sebelumnya yakni 500 juta rupiah di Bulukumba. Di beberapa kota terdapat pula publikasi tentang berapajumlah panai tertinggi.

Zaman memang terus bergerak. Sejatinya, uang panai’ sekadar menjadi pemberian dari keluarga pria kepada keluarga perempuan yang akan digunakan untuk menyelenggarakan pesta pernikahan, yang diharapkan bisa mengundang banyak orang. 

Tapi saya tidak menyangka kalau media memosisikan jumlah panai’ sebagai sesuatu yang dilombakan. Ada unsur pamer di situ. Ada pula anggapan bahwa ketinggian panai’ identik dengan kehebatan, kesuksesan, ataupun pencapaian.

Bagi pria yang hendak menikah dengan adat Bugis, uang panai’ bisa menjadi momok yang cukup mengkhawatirkan. Di masyarakat, jumlah panai' bisa bervariasi, tergantung pada kapasitas ekonomi, strata dalam adat dan budaya, ataupun hal lain. Besarannya bisa bervariasi.

Jauh sebelum saya menikah, saya sudah banyak mendengar keluhan tentang mahalnya pernikahan Bugis. Saya pun didera banyak kekhawatiran, khususnya saat membaca banyak publikasi tentang pernikahan Bugis yang padat modal.

Salah satu publikasi yang saya sukai adalah buku Perkawinan Bugis yang ditulis Susan Boylard Millar. Kenyataan ini sudah sering saya dengar dari banyak orang. Bahkan pada tahun 2000, pernah pula saya gabung dengan sebuah tim riset yang melihat sejauh mana pengaruh pernikahan pada peta sosial orang Bugis, konsep merantau, kerusakan ekologis, hingga angka kematian ibu dan bayi yang tinggi. Sejauh itukah?

Bagi orang Bugis, pernikahan bisa menjadi arena untuk menampilkan identitas sosial dan melestarikan garis silsilah serta posisi di tengah masyarakat. Memang, kita bisa mengatakan bahwa ini adalah warisan sistem feodal pada masa silam, namun jejak-jejaknya masih bisa ditemukan pada masa kini, khususnya pada momentum pernikahan.

Jika anda hendak menikahi perempuan berdarah bangsawan (yang ditandai gelar Andi di depan namanya), maka perkirakan sendiri berapa biaya yang hendak disiapkan. Semakin mahal biaya pernikahan, maka semakin tinggi pula citra diri yang dipancarkan seseorang di masyarakat. Demi pernikahan mahal itu, seorang pria akan mengeluarkan segala daya dan sumberdaya yang dimilikinya demi mempertegas status sosialnya.

Banyak pria yang memilih merantau ke Kalimantan atau ke Indonesia timur demi meraup berlian, lalu pulang kampung dan menggelar resepsi nikah. Pernah seorang peneliti mengamati data perambahan hutan di Kalimantan, ia terkejut dengan fakta bahwa pelakunya banyak berasal dari etnis Bugis. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata motif utama perambahan hutan tersebut adalah demi mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan digunakan untuk menggelar pernikahan di kampungnya sendiri.

Bagi orang Bugis, sebuah pernikahan bukan sekedar mempertemukan hubungan dua insan dalam satu mahligai. Sebuah pernikahan adalah arena yang mempertemukan dua keluarga besar dengan segala identitas serta status sosial.

Inilah yang menyebabkan prosesnya menjadi rumit. Bayangkan, sebuah keputusan hendak dibuat dan harus melibatkan demikian banyak orang. Pastilah akan memakan waktu panjang sebab masing-masing ingin mempertegas eksistensinya.

Di masyarakat, ada anggapan tentang beberapa kriteria yang dianggap memiliki jumlah panai’ besar. Makanya, jika anda punya kekasih seorang perempuan Bugis, anda harus mengenali beberapa aspek yang bisa menyebabkan jumlah panai’ besar. Saya membuatnya dalam beberapa kategori.

Pertama, strata sosial tradisional. Jika perempuan itu berasal dari kalangan bangsawan, yang ditandai gelar-gelar adat. Misalnya saja gelar Andi, Karaeng, dan Puang. Pemilik gelar bangsawan cenderung untuk menggelar pesta pernikahan yang megah sebab ingin mengundang banyak orang. Pesta itu semakin megah kalau si penyelenggara berasal dari keturunan raja.

Kedua, kriteria ekonomi. Semakin tinggi tingkat ekonomi seseorang, maka semakin besar pula jumlah uang panai’ yang akan disyaratkan di saat pernikahan. Walaupun keluarga itu bukan bangsawan, pesta pernikahan akan dibuat megah jika seseorang memiliki kemampuan ekonomi.

Jika perempuan itu adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS) ataupun dokter, maka jumlah uang panai akan semakin mahal. Di kalangan masyarakat Bugis, PNS masih dianggap sebagai profesi yang paling diinginkan. 

Saya teringat risetnya Thomas Gibson yang menjelaskan bagaimana pengaruh antara dinamika pengetahuan dan kelas menengah di Sulawesi Selatan. Pada masa kekuasaan tradisional, kelas yang berpengaruh adalah kelas bangsawan. 

Ketika Islam merambah ke semua sistem tradisional, kelas yang berpengaruh adalah para syekh dan kiai Setelah pemerintah kolonial masuk, kelas yang berkuasa adalah kelasnya para ambtenaar atau pegawai pemerintah kolonial. Di masa kini, para ambtenaar itu adalah para PNS yang dianggap punya posisi kelas berkuasa.

Ketiga, kriteria pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula biaya panai’ yang akan dibebankan. Meskipun seseorang itu bangsawan, namun pendidikannya hanya sekolah dasar, maka jumlah panai’-nya akan berkurang. Namun jika gelarnya adalah magister atau doktor, maka jumlahnya bisa lebih besar. Tingkat pendidikan biasanya berbanding lurus dengan tingkat ekonomi.

Keempat, kriteria fisik. Penampilan seorang anak perempuan bisa menjadi tolok ukur jumlah panai. Kalau perempuan itu cantik dan banyak diinginkan oleh banyak lelaki untuk diperistiri, maka jumlah panai-nya bisa meroket.

Kelima, memiliki gelar hajjah. Bagi orang tua yang mata duitan, gelar hajjah pun bisa menjadi alasan untuk menaikkan jumlah uang panai. Makanya, banyak kejadian mengenai seorang perempuan berusia belia yang menunaikan ibadah haji.

Buat anda para lelaki yang hendak menikah dengan pernikahan Bugis, pastikan untuk mengenali pasangan anda. Jika memiliki satu kriteria di atas, maka boleh jadi biaya pernikahan akan sangat tinggi. 

Tidak mengherankan jika seorang kawan sampai harus mengajukan pinjaman ke bank demi pesta pernikahan. Sampai-sampai, kawan itu mencicil uang pernikahan itu selama beberapa tahun, hanya demi pesta yang dilakukan selama satu atau dua hari.

***

NAMUN, jangan pula mengira bahwa biaya pernikahan besar itu selamanya negatif. Di satu sisi pernikahan itu jelas sangat memberatkan, apalagi kalau dilihat dari sisi migrasi dan kerusakan ekologis. Namun pada sisi lain, pernikahan itu justru meningkatkan etos kerja dan hasrat kompetisi bagi orang Bugis sendiri.

Saya teringat pidato mantan Wapres HM Jusuf Kalla saat berada di Papua. Katanya, etos kerja orang Bugis sangat tinggi karena punya banyak keinginan-keinginan, termasuk keinginan menikah di kampungnya sendiri.

“Mengapa orang Bugis rajin bekerja? Karena mereka punya banyak keinginan-keinginan. Mereka ingin menikah dengan panai’ (uang naik) yang tinggi. Setelah itu mereka ingin punya rumah. Setelah itu mereka mau naik haji. Kalau sudah haji, mereka ingin kawin lagi. Maka prosesnya kembali dari awal,” kata Jusuf Kalla.

Beliau memang bergurau. Tapi pesan yang bisa ditangkap dari kalimat beliau adalah pernikahan mahal itu memberikan motivasi kuat bagi seseorang lelaki untuk membuktikan bahwa dirinya sanggup menjadi sandaran ekonomi. 

Pernikahan mahal itu menghadirkan spirit kuat untuk berusaha dan sukses di lapangan ekonomi agar kelak dirinya bisa terpandang dan menempati kelas khusus di tengah masyarakat yang masih melihat materi sebagai tolok ukur kesuksesan.

Hanya saja, tetap saja ada berbagai komentar miring tentang biaya mahal itu. Apalagi, Islam –sebagai agama yang dianut mayoritas orang Bugis—justru memudahkan semua proses pernikahan. Uang panai’ jelas bukanlah bagian dari hukum pernikahan.

Panai’ adalah dimensi sosial budaya, yang seringkali dianggap lebih penting dari segala-galanya sebab menentukan koordinat dan posisi sosial seseorang di tengah konstalasi masyarakat yang masih memandang materi sebagai tolok ukur dalam menilai orang lain.


saat saya melakukan prosesi ijab kabul dalam pernikahan ala Bugis
istri saya saat menikah

Uang panai' tak punya kaitan dengan kualitas pernikahan. Anda bisa saja menggelar pernikahan megah dengan panai senilai satu miliar di satu gedung besar yang menghadirkan para pejabat dan tokoh penting negeri ini. 

Namun tak ada jaminan bahwa pernikahan itu akan berkualitas. Boleh jadi, pernikahan sederhana di satu tepian hutan yang hanya dihadiri orangtua akan jauh lebih bermakna sepanjang ada trust, iktiar saling menjaga, serta keyakinan bahwa pernikahan adalah bahtera untuk menggapai masa depan.

Lalu, ketika seseorang masih belum punya materi yang cukup, apakah pernikahannya lantas tidak bisa dilakukan?

***

SAYA memasuki gerbang pernikahan dengan membawa semua asumsi serta hasil dialog dengan banyak orang. Saya pun serba khawatir, dan sempat menunda rencana melamar selama beberapa waktu. 

Tapi seorang kawan mengingatkan saya bahwa menikah itu adalah soal perjanjian dua belah pihak yang disaksikan oleh orangtua, serta diikat oleh hukum agama, hukum adat, dan hukum positif. Substansiya adalah perjanjian kedua belah pihak untuk menjadikan dua insan sebagai satu keluarga. Soal menikah semegah apa, bukanlah hal yang substansial.

Saya pun memberanikan diri untuk melamar kekasih saya yang terbaik (saat itu saya punya banyak kekasih, hehehe). Saya jelas khawatir, karena calon istri adalah seorang pegawai bank, cantik, punya gelar sarjana, dan dari keluarga terpandang. 

Berbekal uang sedikit, proses lamaran dilangsungkan. Tak saya sangka sediktpun, keluarga perempuan tak mempersoalkan berapa jumlah uang yang saya miliki. Saya juga beruntung karena dilingkupi orang-orang baik yang membantu saya sehingga pernikahan berjalan lancar. Tentu saja, tak bisa saya lupakan kakak perempuan saya yang menyediakan rumahnya untuk ditempati. Bantuannya tak ternilai.

Kami pun menggelar pesta pernikahan. Pesta ini memiliki makna sosial yakni menghadirkan semua keluarga, kerabat, dan para sahabat yang memberikan dia serta harapan agar pernikahan itu langgeng. Pernikahan itu menjadi ruang yang memungkinkan banyak orang untuk bertemu demi memberikan ucapan selamat dan harapan-harapan baik. 

Kenyataan yang saya hadapi sungguh membahagiakan. Ternyata pesta yang saya anggap mahal itu ditanggung pula oleh keluarga perempuan. Banyak orang, yang tak mungkin saya sebutkan satu per satu telah memberikan kontribusi demi bertautnya mahligai pernikahan itu.

Terdapat banyak jalan keluar yang luput dibahas banyak orang. Biarpun seseorang tidak punya uang, biarpun seseorang itu dari suku lain, biarpun seseorang itu hanya membawa pakaian di badan, pernikahan tetap akan dilangsungkan selagi seseorang itu memang disukai dan diinginkan oleh perempuan itu dan keluarga besarnya. 

Artinya, kalau anda memang kekasih perempuan itu dan dikenali oleh keluarga besarnya serta punya pekerjaan yang bisa menjamin perempuan itu, yakinlah bahwa seluruh jalan lempang akan terbuka bagi anda. Orang Bugis punya keyakinan bahwa rejeki bisa dicari sama-sama, selagi ada rasa cinta yang hebat pada keluarga serta motivasi kuat untuk sama-sama berusaha dan memberikan yang terbaik.

Ternyata, ada banyak mekanisme jalan keluar dalam kebudayaan demi menyiasati hal tersebut. Ini menunjukkan bagaimana dinamika serta pergeseran tradisi sekaligus resistensi kultural atas tradisi yang terlanjur kuat mengakar.

Saya sering mendengar kisah bagaimana sebuah keluarga menyebut biaya nikah hingga puluhan juta rupiah, padahal kenyataannya tidak seperti itu. Strategi ini ditempuh demi tetap menjaga citra agar tidak kehilangan muka, dan di sisi lain, tidak memberatkan keluarga lelaki. Inilah yang saya sebut sebagai jalan keluar dalam kebudayaan untuk mengakomodasi banyak pihak.

Pada akhirnya, panai’ itu ibarat karet gelang yang bisa dilenturkan sesuai konteks dan situasi. Mahal dan murahnya akan ditentukan sejauh mana derajat diterimanya seseorang dalam keluarga lain, serta sejauh mana harapan dan keyakinan atas karakter dan kualitas seorang lelaki di mata keluarga perempuan. 

Logikanya, setiap keluarga menginginkan agar anaknya memiliki hidup yang bahagia dan bermakna saat memilih hidup bersama seseorang. Proses-proses kolektif dan mekanisme adat ini bertujuan untuk menjaga hal baik di masa depan, bukannya untuk menghambat. Sebab jika terjadi masalah di mendatang, keluarga akan selalu menjadi tempat kembali yang menyediakan dukungan dan kehangatan.

So, apakah anda masih khawatir untuk nikah dengan orang Bugis? Saran saya, tanyalah pada diri anda, apakah anda seorang kekasih yang memiliki kualitas serta diinginkan oleh keluarga perempuan untuk menemani anaknya mengarungi samudera kehidupan dalam segala suka dan duka? Jika ya, go ahead. Lamarlah dia.



Bogor, 26 Agustus 2016


BACA JUGA:








4 komentar:

Unknown mengatakan...

Baru paham sekarang apa uang panai...selagi ada keinginan baik insyaallah Allah jg akan memberi kemudahan ya pak..

Unknown mengatakan...

artikel yang menarik..

Unknown mengatakan...

Trims semangatnya

ruang kita mengatakan...

terimakasih mas atas penjelasannya..

Posting Komentar