Soewardi dan Esai yang Penuh Pedang




DI hari ini, orang-orang memperingati Hari Pendidikan Nasional. Nama Ki Hadjar Dewantara disebut sebagai seorang pendidik yang menanamkan cita kebangsaan. Tapi saya ingin mengenang lelaki yang mulanya bernama Soewardi Soerjaningrat itu dengan cara lain. Beliau bukan hanya pendidik. Beliau adalah penulis esai yang menjadikan kata-kata jauh lebih perkasa dari butiran peluru.

Di usia 24 tahun, Soewardi menjadikan kata-kata jauh lebih bertenaga. Esai berjudul Seandainya Saya Seorang Belanda (Als ik een Nederlander was) yang ditulisnya dalam bahasa Belanda telah menjadi esai legendaris yang pernah menggedor keangkuhan rezim pada satu masa. Demi mempermalukan orang Belanda, ia tak mengerahkan satu batalyon pasukan lalu bertempur hingga titik darah penghabisan. Ia cukup membuat satu esai di koran De Express yang dimiliki oleh Douwes Dekker pada tanggal 9 Juni 1913.

Saya tak pernah bosan membaca esai itu. Soewardi mengkritik perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda atas penjajahan Perancis pada tahun 1913. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda akan membuat perayaan besar-besaran di tanah jajahan. Pemerintah hendak menarik pajak dari rakyat agar membiayai perayaan kemerdekaan itu. Salah satu paragraf yang dicatatnya adalah:


"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".


Esai itu menjadi sejarah. Esai itu menjadi alat perlawanan yang dahsyat dari seorang bumiputera yang dianggap hina dan terbelakang, lalu tiba-tiba menulis satu esai yang penuh dengan pedang. Esai itu menjadikan Soewardi sebagai seorang tokoh pergerakan yang penanya harus diborgol. Kata-kata harus dibelenggu. Ia lalu diasingkan ke Bangka, setelah itu dibuang ke negeri Belanda bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker.

Saya membaca beberapa penggalan informasi tentang Soewardi dalam buku An Age of Motion yang ditulis sejarawan Takashi Shiraishi. Saya tak terlalu terkejut dengan tulisan itu. Ia hidup pada zaman pergerakan, zaman ketika ide-ide menjadi kekuatan besar untuk mengorganisir. Ia hidup di zaman lapis-lapis generasi terdidik telah muncul dan tak malu-malu berbicara nasionalisme derta kemerdekaan.

Ia hidup di zaman Tjokroaminoto mendirikan Syarikat Islam yang lalu menyebar bagai virus ke seluruh pelosok negeri, zamannya Tirto Adisoerjo membuat koran Medan Prijaji lalu menuis catatan-catatan tentang kebangsaan. Ia semasa dengan Mas Marco Kartodikromo, seorang jurnalis hebat yang mendedikasikan dirinya untuk rakyat. Ia juga bertemu Hadji Misbach, seorang haji yang menjadi pengikut komunisme, lalu menulis tentang pertautan antara Islam dan komunisme. Tentu saja, ia mengenal baik Kartini, yang tulisan-tulisannya, termasuk yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda, telah  membuat orang-orang Belanda mengubah semua pandangan dan stereotype atas perempuan pribumi.

Di masa ketika Soewardi menjadi penulis esai, ide-ide menjadi kekuatan yang menggerakkan sejarah. Pendidikan telah melahirkan satu lapis generasi cendekia yang mulai mempertanyakan situasi zamannya. Generasi baru ini mulai membayangkan bangsa, mulai mempertanyakan haknya yang dirampas selama ratusan tahun, membaca berbagai pamflet ideologi, lalu menggugat rezim kapitalis. Generasi baru ini mulai memikirkan negeri baru yang merdeka, yang dibangun di atas ideologi “sama rata sama rasa”, frasa yang dipopulerkan jurnalis Mas Marco Kartodikromo.

Barangkali yang harus dikenang dari tokoh ini adalah tulisannya yang lugas dan lantang di jantung kolonialisme. Ia bukan tipe generasi sekolahan yang tunduk patuh dan membebek pada rezim yang berkuasa. Ia menyebarkan virus perlawanan yang lalu menjadi momentum bagi tokoh pergerakan lain untuk bersuara di berbagai media demi menyatakan sikap kepada rezim. Yang harus dikenang dari Soewardi adalah keberanian untuk menggiring para kolonialis untuk masuk dalam tanding gagasan di berbagai media massa. 

Di zaman ini, kita nyaris tak menemukan anak-anak muda yang suka membuat esai perlawanan. Anak muda kita berkerumun di media sosial, hiruk-pikuk dengan berbagai kritik serta sikap nyinyir. Di saat pendidikan menjadi komoditas mahal, produknya adalah anak muda alay yang suka selfie dengan bibir serupa Donald Bebek. Anak muda kini lebih suka membincangkan berbagai gadget terbaru, lalu melupakan pentingnya kesadaran sejarah, dan pentingnya membangkitkan massa rakyat.

Yah, mungkin inilah titik balik dalam sejarah kita. Mungkin ini pula jalan panjang yang harus dilalui. Hari ini, nama Soewardi ataupun Ki Hadjar Dewantara disebut-sebut, tapi semangatnya tertinggal jauh di lembar-lembar lusuh buku sejarah.


Bogor, 2 Mei 2016

BACA JUGA:







3 komentar:

Unknown mengatakan...

Bagus kl sejarah2 seperti ini dikemas dalam film dgn kualitas yg keren... .

Terimakasih tulisannya bung yusran.

Yusran Darmawan mengatakan...

terimakasih juga atas kunjungannya di blog ini.

Unknown mengatakan...

Ide-ide menjadi kekuatan yang menggerakan sejarah. Apalagi kalau ide-ide ite sudah berubah menjadi kata, kalimat dan sebuah tulisan itu. luar biasa dasyatnya. Selamat berkarya orang Muda. sukses selalu

Posting Komentar