Dulu PUTRI, Kini Sang RATU


saat Ratu Atut ditahan KPK (foto: tribunnews/ Danny Permana)

PEREMPUAN itu kini jadi warga biasa. Dahulu ia sering wara-wiri ke butik-butik mahal di Singapura dan Tokyo, lalu plesiran di kota Paris. Ia biasa merawat wajah, mencari tas dan parfum bermerek seharga puluhan juta rupiah. Bahkan untuk memotong kuku atau mencabut bulu mata dilakukan di negeri yang jauh. Kini, apakah gerangan yang dirasakannya ketika lembaga anti korupsi memenjarakannya dalam satu sel pengap bersama para maling dan pencuri jam tangan?

Kemarin, sang ratu dimasukkan dalam mobil tahanan. Ada ratusan pendekar yang kemudian meradang dan tak terima. Mereka mengancam akan mengamuk. Saya mengira akan ada chaos. Ketika aparat berdatangan dengan senjata terhunus serta kendaraan lapis baja, para jagoan itu sontak bungkam. Mustahil mereka mengikhlaskan satu lembar nyawa berharga untuk membela sorang ratu yang selama ini hidup mewah dan tak tersentuh. Para jagoan itu hanya rakyat kecil, yang demi dua kali makan siang, ikhlas saja diajak ke Jakarta untuk membela sang ratu.

Kini, sang Ratu telah kehilangan kuasa. Ia dituduh korupsi. Ia dianggap menilep uang orang banyak. Ia sama dengan para pesakitan yang lebih dahulu masuk tahanan. Nasibnya setali tiga uang dengan seorang putri yang telah divonis 12 tahun penjara dengan denda 40 miliar rupiah. Ia tak bisa lagi merayakan tahun baru di Times Square kota New York dengan dandanan serba mewah, serta meniup terompet di tengah sorak-sorai yang membahana. Kini ia adalah seorang pesakitan dalam ruang dua kali tiga meter, yang berbantalkan kain, serta hanya membayangkan mereka yang sedang bahagia di luar sana.

Ada beberapa benang merah yang menautkan semua koruptor ke dalam satu barisan. Benang merah itu menjadi ciri yang kemudian membuat kita mengenali mereka sebagai sosok-sosok yang berdiam dan berbicara dalam bahasa yang sama yakni bahasa korupsi.

Pertama, mereka tak memikirkan masa depan. Mereka hanya memikirkan masa kini. Mereka hanya ingin menjadi raja dan ratu yang bersolek dengan cantik di masa kini. Demi masa kini itu, mereka lalu memperkaya diri. Mereka ingin menjadi Cinderella yang hidup di istana tinggi, lalu setiap hari bepergian dengan kereta kencana. Mereka ingin dipuja dan dikagumi oleh rakyat yang hanya bisa mengkhayal tentang hidup yang lebih baik.

Demi masa kini yang gemilang itu, mereka lalu berjejaring. Mereka saling memperkuat diri, lalu menutup akses orang lain ke sumur kehidupan. Tuntutan hidup yang megah itu membuat mereka kemaruk lalu menutup sungai kehidupan yang kerap digunakan orang lain. Mereka memilih untuk  menguasai semuanya, demi menjaga hidup sebagaimana putri-putri di negeri dongeng. Namun, apakah hidup memang hanya bertujuan untuk menggapai hal-hal material itu?

Kedua, mereka kerap alpa untuk memikirkan bagaimana menguasai masa depan. Mereka mengira bahwa ketika menggenggam masa kini, maka masa depan juga akan digenggam. Mereka abai bahwa masa depan adalah sesuatu yang tak mudah diprediksi. Mereka yang menang di masa depan bukanlah mereka yang menang di masa kini. Pemenang di masa depan adalah mereka yang sabar menanam benih di masa kini, tahan dengan segala cobaan untuk terus memupuk benih itu, hingga akhirnya akan berbuah yang kemudian dipanen di masa depan. Pemenang masa depan adalah penanam benih di masa kini.

Jika hari ini benih yang ditanam adalah benih muslihat, maka masa depan yang muncul penuh dengan kesuraman. Kelak, akar-akar dari pohon yang ditanami ituakan menjadi belukar yang membelit dan mencekik seseorang. Namun jika yang ditanam adalah buah manis, maka di masa depan buah itu akan memberikan kesegaran dan kebahagiaan bagi penanamnya. Kehidupan akan memberikan buah-buah manis, sesuatu yang dirindukan oleh semua orang di masa depan.

Masa kini memang tak selalu menjadi cerminan masa depan. Pada hari ini seseorang bisa nampak begitu berkilau, ceria, dan bahagia di puncak kekuasaan. Akan tetapi pada saat lain, seseorang bisa jatuh tertimpa tangga lalu kembali menjadi warga biasa yang sering antri di banyak toko-toko demi kebutuhan sehari-hari. Seseorang yang berjaya di masa kini bisa saja akan jatuh terjerembab dan menjadi orang biasa di masa depan.

Ketiga, pelajaran dari hukuman buat sang putri serta ditahannya sang ratu adalah pelajaran tentang korupsi sebagai sesuatu yang bersifat struktural dan sistemik. Amat jarang ditemukan seseorang yang korupsi sendirian. Kebanyakan, korupsi dilakukan secara berjamaah. Hari ini, seorang politisi naik ke puncak kekuasaan. Hari itu pula ia akan mengamankan semua orang di bawahnya demi memuluskan segala tindakan yang ingin diambilnya. Pada titik ini, politik menjelma sebagai dinasti. Ketika seorang politisi menjadi pemimpin, ia butuh banyak tentakel sebagai perpanjangan tangan sekaligus mengendalikan banyak orang lain di bawahnya.

Politik memang butuh biaya yang tak sedikit. Itu kata mereka. Duit berlimpah tak hanya digunakan untuk membungkam lapis-lapis orang di bawahnya, namun juga untuk mematikan potensi dan daya kritis dari begitu banyak orang. Dalam dunia kekuasaan, kebenaran hanya satu yakni ebenaran yang memihak penguasa. Kebenaran lain bekerja secara tersembunyi, didengungkan secara terbatas oleh para aktivis dan anak muda bandel, yang seringkali bungkam ketika duit datang menyapa.

Keempat, dunia politik kita serupa industri. Politik kita memiliki jaringan serta keterkaitan antar orang dalam satu mesin besar. Sejak seseorang memasuki politik, ia harus siap bekerja dengan banyak kelompok yang berperan sebagai pilar-pilar penopang kuasa. Seseorang mesti terbiasa membangun transaksi, negosiasi dengan pihak lain, menyewa preman sebagai kaki-tangan, membayar akivis untuk menyuarakan dukungan, menyogok para ulama untuk mengeluarkan fatwa baik tentang penguasa, membungkam media dengan iklan-iklan politik, lalu menyogok pemerintah pusat agar tetap mengamankannya.

Politik dikelola dengan prinsip ala perusahaan. Berkorban sekecil-kecilnya, lalu menuai hasil sebanyak-banyaknya. Dalam politik, rakyat dilihat sebagai isu yang bisa dijual lalu menebalkan pundi-pundi. Tak banyak ketulusan di dunia ini, selain dari upaya untuk mempertahankan kuasa lewat isu populis serta jejaring dengan banyak orang. Tanpa jejaring, politisi akan jadi pemain sendirian, yang mudah saja digergagi oleh pihak lain.

Pada titik ini kita bisa memahami mengapa sang ratu memenangkan satu pilkada di daerahnya, mengapa ia mengatur perkara dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, bahkan ketika ia ikut mengatur proyek alat kesehatan, Ia sedang merawat jaringan, menjaga barisan orang yang akan melenggengkan kuasanya.

Sayang, kesetiaan yang dibeli tak akan pernah abadi. Mereka-mereka yang selalu mendapat limpahan materi darinya tak selalu akan setia padanya. Ketika kaki-kaki sang ratu patah, maka orang-orang itu akan memilih untuk menyelamatkan diri. Sang ratu akhirnya sendirian dan bersiap menghadapi pengadilan atas segala yang pernah dilakukannya. Ia memang kaya. Duitnya berlimpah. Tapi ia kehilangan satu hal penting dan esnsial. Ia kehilangan kebebasannya.

Saya membayangkan bahwa dalam keadaan sepertinya, kebebasan menjadi amat mahal. Kita seringkali mengabaikan betapa nikmatnya kebebasan. Namun bagi sang putri dan sang ratu yang ditahan itu, kebebasan adalah sesuatu yang jauh lebih bernilai dari seluruh harta kekayaan. Kebebasan, sesuatu yang terlihat amat sederhana, adalah kunci-kunci utama untuk membuka pintu bahagia. Anda boleh kaya setinggi langit, namun sekali anda kehilangan kebebasan, maka semuanya jadi hampa. “Freedom is not everything, but without freedom, everything is nothing.”


Makassar, 21 Desember 2013

0 komentar:

Posting Komentar