Balada Angelina Sondakh


Angelina Sondakh (Angie) sesuai menjalani pemeriksaan

JIKA ingin belajar tentang kehidupan, belajarlah pada Angelina Sondakh. Beberapa tahun silam, bintangnya amat terang. Ia mendapat predikat sebagai Putri Indonesia, kemudian terpilih sebagai anggota DPR RI, setelah itu sukses menggaet aktor ganteng untuk menjadi suaminya. Ia begitu bersinar dan mengundang decak kagum. Angie adalah bintang terang.

Pernah sekali, saya melihat Angie, demikian ia biasa disapa, melintas di gedung dewan. Ia memakai stelan jas warna biru serta rok selutut. Bibirnya disapu lipstick warna merah muda. Ia amat cantik, sebagaimana gelar yang disandangnya. Waktu itu, para jurnalis segan mendatanginya. Ia dianggap lugu dalam politik dan bukan narasumber yang baik. Pahaman politiknya cetek. Tanpa dikerubungi jurnalis, ia aman-aman saja menjalani hari.

Di partai politik, ia diposisikan sebagai mawar merah. Posisinya ibarat resepsionis hotel yang indah dipandang, enak diajak bercerita, namun tak menempati posisi penting. Ia hanya menjembatani komunikasi di level elite partai. Belakangan, ia mengatur relasi dengan para pebisnis, pengusaha, dan para penyedia uang untuk kegiatan partai. Siapa sangka, dianggap tak penting, malah menjadi berkah bagi dirinya. Gerakannya tak terdeteksi orang-orang.

Ternyata ia bukan sekadar mawar merah. Ia juga seorang pemain handal yang bisa mengatur lalu lintas uang. Ia pandai memaksa pengusaha untuk menyetor dana tertentu kepada para politisi. Pundi-pundi kekayaanya makin bertambah. Ia gemar memakai barang-barang mahal. Demi hobi memakai barang mahal itu, ia melakukan banyak cara. Di ujung segala petualangan itu, ia lalu terjerat dan berakhir tragis di penjara.

Kini, Angie adalah seorang pesakitan. Seminggu silam, ketika menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ia menangis tersedu-sedu, hingga akhirnya pingsan. Ia tak tahan melihat sorot kamera yang terus-menerus mengambil wajahnya. Ia memang masih cantik. Sayangnya, kali ini para fotografer dan jurnalis merubunginya tidak sedang mengagumi kecantikannya.

Ia tidak lagi dilihat sebagai putri. Ia adalah seorang ratu yang hidup bermewah-mewah dari hasi korupsi. Ia menjadi satu sekrup dari sebuah mesin besar politik yang digerakkan oleh prilaku korup dan menilep uang rakyat. Mahkamah Agung (MA) telah memvonisnya 12 tahun penjara serta kewajiban membayar ganti rugi sebesar 40 miliar rupiah. Dalam 12 tahun ke depan, akan jadi apakah dirimu Angie? Masihkah engkau memakai tas-tas bermerk mahal itu?

Kemarin adalah perayaan hari tanpa korupsi. Kasus Angie bisa membantu kita untuk memahami lapis-lapis sosial yang tersembunyi.

Pertama, kehidupan ibarat roda pedati yang terus berputar. Pada hari ini kita berada di atas, namun esok hari kita bisa berada di bawah. Kehidupan mengajarkan kita untuk tidak silau melihat apa yang tampak pada diri orang lain. Hari ini seseorang bisa mandi uang dan memamerkan barang mahal, di esok hari, orang tersebut bisa menjadi pesakitan dan dilihat dengan penuh belas kasihan. Tak ada lagi tersisa kekaguman.

Angie kehilangan satu hal yang amat penting yakni kebebasan. Biarpun seseorang memiliki kekayaan triliunan, namun semua kekayaan itu menjadi tak bermakna ketika ia terpenjara di balik jeruji.

saat Angie jadi Puteri Indonesia

Pada akhirnya, segala materi jadi tak berguna ketika kebebasan tak di tangan. Materi bisa menjadi amat berbahaya ketika seseorang menghalalkan segala-galanya demi materi itu. Seseorang bisa memilih jalan pintas demi materi, namun jalan itu penuh dengan duri-duri. Jika tak pandai meniti, maka jalan itu bisa mencelakakan diri sendiri. Memilih jalan itu serupa melalui jalan yang penuh ranjau dan bom waktu, yang bisa meledak setiap saat hingga menghancurkan diri sendiri. Itulah yang sedang dialami Angie.

Kedua, kasus Angie menyisakan satu noktah kehidupan. Siapa yang berbuat, maka akan menuai. Bermula dari seorang putri, berakhir sebagai pesakitan. Seringkali kita hanya silau melihat hasil. Makanya, banyak orang yang ingin langsung kaya, tanpa memedulikan titian atau jalan untuk menggapainya. Padahal, titian yang benar dan lurus jauh lebih penting dari tujuan akhir.

Pada sebuah masyarakat yang menjadikan kekayaan sebagai ukuran dalam menilai orang lain, maka orang-orang akan tergoda dan belomba-lomba dalam sirkuit pencarian kekayaan itu. Orang-orang lalu mengabaikan pentingnya nilai-nilai kehidupan bahwa kekayaan bukanlah sebuah penanda yang meningkatkan kelas sosial. Bahwa kekayaan ibarat kuda liar yang mesti dikendalikan dan diarahkan untuk menggapai kebaikan. Hasrat untuk kaya ibarat meminum air laut, yang tak akan pernah bisa mengatasi rasa dahaga. Manusia mengira kekayaan itu sebagai tolok ukur kesuksesan, dan di saat bersamaan mengabaikan pentingnya untuk menjaga diri dan keluarga dari sesuatu yang bukan menjadi hak.

Ketiga, Angie mengajarkan kita tentang hilangnya basis nilai pada partai politik hari ini. Partai kita kehilangan satu ruh atau semangat yang menjadi fundasi utama mengapa ia dibentuk. Partai politik kita hanya berkutat pada bagaimana menjaga kepentingan dan kekuasaan segelintir orang, lalu menggunakan pengaruh demi mendapatkan keuntungan pribadi.

Hampir semua partai politik kita kehilangan tujuan. Mereka tak pernah memberikan laporan pertanggungjawaban pada rakyat tentang apa yang sudah dilakukan dan hendak dicapai dalam kerangka ideologi partai. Ketika banyak kader partai politik yang tersangkut korupsi, sebagaimana Angie, kita bisa menangkap alarm bahwa partai politik tidak bisa menjadi sandaran publik sebagai garda terdepan pemenuhan aspirasi rakyat.

Partai politik diisi dengan kader-kader yang terjebak dengan kepentingan. Partai hanya berpikir meraup dukungan sebanyak-banyaknya, tana berpikir bagaimana berbuat sebanyak-banyaknya. Partai kita kehilangan tujuan awalnya untuk merawat pohon keindonesiaan sehingga memiliki akar yang kuat, dan memiliki ranting dan cabang yang sanggup mencakar langit. Partai kita menjadi sarana kongkalikong dan kerjasama yang membuat bangsa kita kian terpuruk.

Dalam politik yang menjelma sebagai industri pemburu rente, sosok seperti Angie mutlak dibutuhkan sebagai mawar merah untuk etalase demi menarik dukungan, sekaligus sebagai mesin politik yang memaksimalkan rente dan menebalkan pundi-pundi kekayaan partai, dan secara sadar ikut memiskinkan rakyat banyak.

Nah, dalam situasi ketika Angie terisak-isak dan pingsan usai menjalani pemeriksaan di kantor KPK, tepatkah kita jika merasa iba dan kasihan atas apa yang dialaminya?


Baubau, 10 Desember 2013


BACA JUGA:







3 komentar:

HARI DERMANTO mengatakan...

Tulisan yang penuh hikmah, thanks sangat berharga dan dapat menjadi perenungan

HARI DERMANTO mengatakan...

Tulisan yang menarik, bermanfaat n membantu siapa saja yang membacanya untuk merenungi segala tindakanx

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas tanggapannya Mas Hari. salam kenal.

Posting Komentar