Bukan Sekadar Jual Pesawat, Presiden Prancis Emmanuel Macron Incar Nikel Halmahera
Emmanuel Macron datang ke Indonesia. Di berbagai media nasional, kunjungan itu diberitakan dengan wajar: menyapa siswa di Jakarta, mengagumi keagungan Borobudur, dan berkunjung ke Akademi Militer. Sekilas tampak seperti kunjungan kenegaraan biasa.
Namun media Prancis memotret sisi lain: Presiden Macron datang tak hanya membawa pidato persahabatan atau simbol budaya. Bukan pula mengalungkan bintang penghargaan untuk Prabowo.
Dia datang membawa agenda yang lebih dalam. Dia menawarkan strategi geopolitik Eropa, menjual pesawat tempur, dan mengincar logam masa depan: nikel dari Weda Bay, Halmahera.
Apa yang membuat seorang kepala negara mengarahkan pandangan ke sebuah pulau yang tertutup hutan hujan dan jauh dari Paris?
***
Hari itu, Emmanuel Macron menyapa para siswa di Labschool Cibubur. Ia memeluk seorang anak dari Buton, lalu tersenyum ke arah kamera. Kepolosan itu, mungkin disengaja, membingkai kunjungannya sebagai laku persahabatan. Tapi di balik sapaan ringan itu, Macron melangkah ke Jakarta dengan setelan diplomatik dan rombongan bisnis kelas berat.
Kunjungan ini adalah bagian dari tur Asia Tenggara—dalam kerangka yang tak main-main: memperkuat posisi Prancis dan Uni Eropa sebagai “jalan ketiga”. Di tengah dunia yang dipengaruhi persaingan dua raksasa—Amerika dan Tiongkok—Macron membawa narasi alternatif.
“Kemitraan kita dalam bidang pertahanan, ekonomi, dan budaya sudah kuat,” ujarnya dalam konferensi pers bersama Presiden Prabowo Subianto, “tapi kita bisa perkuat lagi. Ini cara terbaik menghadapi masa-masa sulit ini.”
Media France24 melaporkan, Macron datang tak sendiri. Ia membawa para CEO: dari produsen pesawat Rafale hingga perusahaan energi dan tambang. Ada Eric Trappier dari Dassault Aviation. Ada Paolo Castelliari dari perusahaan tambang Prancis. Ada TotalEnergies, ada Denon.
Jet tempur mungkin menarik perhatian publik. Tapi diam-diam, perhatian Macron tertuju pada sektor yang lebih sunyi, namun jauh lebih strategis: tambang nikel di Halmahera.
Nikel dan Masa Depan yang Tak Lagi Netral
Dalam pidatonya, Macron tak menyebut baterai atau mobil listrik secara eksplisit. Tapi kehadiran Paolo Castelliari menjelaskan arah agendanya: mengamankan akses Prancis dan Eropa terhadap nikel strategis, logam penting dalam transisi menuju energi hijau.
Nikel kini bukan sekadar komoditas. Ia adalah logam politik, bahan mentah yang menentukan apakah Eropa bisa berdikari secara teknologi, atau terus tertinggal dari Tiongkok dalam produksi baterai dan kendaraan listrik. Tak heran, Halmahera—yang dulu nyaris tak terdengar dalam peta politik global—kini menjadi medan diplomasi tingkat tinggi.
“Indonesia adalah produsen logam terbesar di dunia yang sangat penting bagi transisi hijau,” ujar seorang jurnalis ekonomi dalam siaran televisi Prancis. “Tambang Weda Bay di Halmahera adalah tambang nikel terbesar dunia.”
Di bawah kanopi hutan tropis Halmahera, tersimpan 17 persen cadangan nikel dunia. Tambang Weda Bay dioperasikan oleh konsorsium: Antam (Indonesia), Strand Minerals (Singapura), dan Tsingshan (Tiongkok).
Dalam struktur yang sudah padat oleh kekuatan Asia itu, Macron tidak datang untuk menggusur, tetapi untuk menanam pengaruh. Ia tahu, dalam medan pasca-batu bara ini, akses adalah kekuasaan baru.
Strategi Macron selaras dengan misi Uni Eropa: de-risking, atau melepaskan ketergantungan dari pasokan Tiongkok. Maka Indonesia, dengan tambang tropisnya dan jalur maritim strategisnya, bukan sekadar mitra ekonomi, tapi batu pijakan dalam membangun kedaulatan energi Eropa.
Bagi Macron, mengamankan nikel Indonesia sama pentingnya dengan menjual jet tempur. Bukan karena nikel lebih glamor, tapi karena logam ini adalah kunci geopolitik masa depan.
Dalam tiap baterai mobil listrik, dalam setiap panel surya dan pusat penyimpanan energi, terdapat jejak logam yang kini diperebutkan. Dan di balik angka perdagangan itu, tersembunyi arena diplomasi yang jauh lebih kompleks—dari stabilitas regional hingga manuver maritim di Laut Cina Selatan.
Nikel bukan lagi soal ekonomi, melainkan tentang siapa yang akan menguasai masa depan. Maka logistik tambang di Halmahera bisa lebih menentukan kebijakan luar negeri Prancis ketimbang rapat kabinet di Istana Élysée.
Macron sadar: untuk mempertahankan otonomi strategis Eropa, Prancis tak bisa hanya menjadi pembeli. Ia harus hadir di hulu produksi. Ia harus menanam kemitraan. Ia harus mengunci jalur pasok. Indonesia—dengan kekayaan mineral dan relasi yang kini menghangat—adalah peluang yang terlalu berharga untuk dilewatkan.
Dalam peta baru itu, tambang nikel berdiri sejajar dengan pangkalan militer dan kesepakatan pertahanan. Ia bukan hanya sumber daya, tetapi dokumen negara—bagian dari diplomasi mineral yang tak kalah penting dari diplomasi senjata.
Luka-Luka di Weda Bay
Namun semua ini tidak datang tanpa luka. Aktivitas pertambangan di Weda Bay telah memicu kekhawatiran besar. Deforestasi merambah. Jalur logistik menembus hutan. Ekosistem tropis tercabik.
Dan di balik semua itu, masyarakat adat yang selama ini memilih hidup terpisah dari dunia modern kini mulai terusik. Beberapa bahkan menolak kontak sama sekali. Tapi dunia datang mendekat, dengan buldoser, kesepakatan bisnis, dan nama-nama besar dari Eropa.
Ironi zaman kita terasa menyesak: atas nama menyelamatkan bumi, kita justru menggali lukanya. Demi mengurangi emisi karbon, kita menebang pohon, mengusir manusia dari hutannya, dan menghancurkan rumah bagi satwa langka.
Transisi energi memang penting. Tapi dalam praktiknya, hijau seringkali hanya berubah rupa: dari hitamnya batu bara ke abu-abu logam, dari asap pabrik ke debu tambang. Hijau tak selalu bersih. Dan ekonomi dunia tak pernah sepenuhnya netral.
Dalam dunia yang makin digerakkan oleh drone dan algoritma, dalam geopolitik yang kini ditentukan oleh logam dan jalur data, Prancis dan Indonesia menandatangani kontrak.
Tapi kontrak-kontrak itu bukan sekadar tumpukan kertas di atas meja diplomasi. Ia adalah cetak biru masa depan—peta baru kekuasaan yang tak lagi dibangun dari tembok benteng, tapi dari konsesi tambang, akses terhadap mineral, dan dominasi atas informasi.
Di tengah gesekan dunia multipolar, logam seperti nikel menjadi pengganti minyak bumi dalam pertarungan pengaruh global. Kini, yang direbut bukan lagi kilang di Teluk Persia, tetapi pulau-pulau terpencil di khatulistiwa yang menyimpan jejak logam masa depan. Yang dibangun bukan hanya aliansi militer, tetapi jaringan rantai pasok dari tambang ke pabrik, dari tanah ke teknologi.
Maka ketika Prancis dan Indonesia menandatangani kesepakatan, yang sedang ditimbang bukan hanya keuntungan ekonomi, tetapi posisi strategis dalam arsitektur baru dunia.
Kontrak itu bisa berarti jalur masuk ke jantung Asia Tenggara, peluang untuk menyamakan langkah dengan dominasi Tiongkok, atau sekadar menjaga agar Eropa tetap relevan di panggung abad ke-21.
Di atas kertas itu, masa depan sedang digambar ulang. Setiap paragraf perjanjian mengandung konsekuensi bagi lanskap ekologi, bagi struktur sosial, dan bagi arah sejarah itu sendiri. Dunia berubah bukan hanya lewat perang atau revolusi, tapi lewat kesepakatan investasi yang ditandatangani dalam diam, di ruang rapat yang sunyi.
Sebagian demi teknologi—agar kendaraan bergerak tanpa asap, agar energi mengalir tanpa arang. Sebagian demi pengaruh—agar bendera tetap berkibar di peta global, agar suara tetap didengar dalam simfoni kekuasaan dunia.
Dan sebagian kecil, mungkin yang paling rentan untuk dilupakan—demi harapan. Harapan bahwa dalam arus besar kapital dan kompetisi global, masih ada ruang bagi kelestarian, bagi keadilan ekologis, bagi suara masyarakat adat yang hidupnya terhubung dengan tanah dan hutan.
Harapan bahwa logam tak selalu harus membawa luka, dan pembangunan tak selalu harus merusak. Namun, di tengah berbagai kesepakatan bisnis, serta aksi merusak bumi, apakah kita masih bisa menanam tunas-tunas harapan?
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.