Tersungkur di Bukit Salju


RIBUAN benda laksana kapas turun dari langit. Saya melihatnya pertama kali saat keluar apartemen menuju kampus Ohio University (OU). Mulanya saya tercengang. Sebab salju itu benar-benar seperti kapas yang tiba-tiba saja turun dan memenuhi udara. Kawan seapartemen saya tiba-tiba keluar kamar dan teriak kegirangan. Jika seorang bule yang biasa lihat salju sebagaimana dirinya kegirangan, lantas bagaimana pula dengan saya? Apakah saya diam saja?

Senin (2/1) adalah hari bersejarah ketika saya pertamakali melihat salju. Beberapa bulan silam, semuanya hanya impian. Bahkan saat pertama tiba di Amerika pun, salju hanya bisa saya bayangkan. Sekarang, salju itu tampak di depan mata, memenuhi pandangan mata sejauh mata memandang. Saya lalu membuka kaos tangan lalu memegangnya. Tiba-tiba saja saya berpikir, andaikan salju ini dimasukkan dalam gelas dan kemudian disirami sirup, tentunya langsung bisa disajikan. Jika saja penjual es cendol di Pulau Buton ada di sini tentu saja mereka tak perlu memarut es setiap hari. Cukup ditampung lalu disajikan. Mudah khan?


Tapi saya tak bisa lama menyentuh salju. Tidak sampai lima menit, tangan saya tiba-tiba nyaris kaku karena kedinginan. Hawa dingin memang menusuk kulit hingga ke daging dan sumsum. Saya seperti disengat ribuan paku yang membuat seluruh indra seakan mati rasa. Saya lalu memasang sarung tangan, kemudian mengajak beberapa kawan untuk berpose. Saya tak boleh kehilangan momen menakjubkan bagi saya yang berumah di pulau tropis, yang melihat salju hanya sebagai kisah pengantar tidur.

Selanjutnya, salju sempat menghilang. Saat saya ikut berkendara bersama seorang kawan ke Nelsonville –desa kecil dekat Athens--, saya lalu melihat salju turun berbondong-bondong bagaikan hujan deras. Dari kaca mobil itu, saya melihat benda putih turun seperti hujan, yang kemedian memenuhi jalan raya, melapisi semua tanah dan tanaman dengan warna seputih kapas, hingga menutupi jarak pandang. Thanks God! Hari ini saya dikepung salju.

Pada mulanya adalah konsepsi yang bisa datang dari mana saja. Setiap manusia memiliki cadangan konsep yang digali dari pengalaman atau dari segala bacaan. Sewaktu kecil, saya membaca kisah Putri Salju dalam The Snow White and Seven Dwarves. Saya bertanya pada ibu mengapa tak ada salju di negeri kami. Saat itu, saya membayangkan salju sepanjang hari. Saya pikir salju adalah berkah yang turun dari langit. Saya membayangkan es krim atau es yang diserut lalu dicampur sirup yang saban hari dijajakan para penjual di kampung saya.

bersama dua gadis Jerman, sama-sama menikmati salju
jalanan yang dipenuhi salju

Dari manakah datangnya kata salju? Dalam berbagai bahasa lokal di Sulawesi, saya tak menemukan kata ini. Namun dalam bahasa Indonesia, kata ini justru sering dipakai untuk menjelaskan benda putih seringin kapas yang dinginnya bisa menembus tulang. Konon, kata ini datang dari bahasa Arab yakni kata “salji” yang kemudian diserap dalam bahasa Melayu. Kata seorang teman, kata salji bisa didapat pada sejumlah bacaan dalam bahasa Arab, yang diterjemahkan sebagai putih bersih. Mungkin, pada masa itu, sudah ada semacam konsepsi bahwa hanya intisari air bersihlah yang bisa membeku menjadi salju.

Baik bangsa Arab maupun Indonesia sama-sama melihat salju dalam pengertian positif, sebab hanya mlihat dari kejauhan, dan tidak melihat langsung bagaimana rupanya. Lantas, apakah bangsa Amerika atau Eropa juga melihatnya demikian? Ternyata tidak juga. Beberapa media di sini, menyebut salju sebagai cuaca buruk. Bahkan hujan salju pun sering disebut badai, sehingga orang-orang memilih tidak keluar rumah. Sekolah dan kantor-kantor juga diliburkan.

Saya tak mau ikutan latah. Saya tak mau ikut-ikutan dengan mereka yang melihatnya sebagai bencana. Saya sendiri melihatnya sebagai hal baru yang memancing adrenalin petualangan saya. Dengan jaket, kaos tangan, serta kupluk, saya lalu keluar rumah lalu bermain-main dengan salju.

Saya lalu datang ke sebuah padang yang dipenuhi salju. Saya ingin membuat boneka salju sebagaimana pernah saya saksikan di film-film. Tapi baru melangkah beberapa meter, kaki saya tiba-tiba kaku. Saya sedang diselubungi dingin luar biasa. Saya mulai kesulitan melangkah. Jaket saya kurang tebal. Pandangan saya mulai mengabur. Mudah-mudahan saya tidak tersungkur di situ dan ditutupi salju. Mudah-mudahan seseorang di sana melihat dan segera datang menolong. Saya hanya bisa berucap lirih yang semoga bisa menembus ruang yang jauh, “Help me! Tolong”/


Athens, 2 Januari 2011

4 komentar:

Agung Talaga mengatakan...

Asyikeeeee.............
Membaca pengalaman bang Yusran lewat artikel ini jadi kepingin sekolah terus sampai ke amerika.....

badwi mengatakan...

Kepengen photo dgn gadis Jerman kayak Bang Yusran....

Anugerah (ugha) mengatakan...

Hmmm... Kapan ya saya bisa menyentuh salju *menerawang jauh* :D

Tapi, kadang saya buat lelucon ke teman-teman tiap kedinginan. Saya bilang ke Mereka, bagaimana mungkin saya bisa ke luar negeri, kalau dingin saja membuat saya bertekuk lutut sampai ke 'belakang' beberapa kali. :))

Kalau begitu, titip salam saja buat Salju kak :)

Yusran Darmawan mengatakan...

saya akan doakan supaya Ugha juga kelak akan menyentuh salju di negeri empat musim. amin

Posting Komentar