Manusia Gerobak, Manusia Siput, Manusia Bebas

Poniman tidur di gerobak

SEBUT saja namanya Poniman. Usianya 70 tahun. Di tepi Jalan Kramat Sentiong, Jakarta, ia memarkir gerobaknya. Saya melihat di gerobak itu ada barang bekas, di antaranya gelas plastik, dan aneka botol. Usai memarkir gerobak, ia lalu menggelar kardus, kemudian berbaring di gerobak itu. Saya datang mendekat. Ternyata di gerobak itu ia membawa tas ransel kumal yang isinya adalah seluruh benda kepunyaannya. Ada pula kantong hitam yang isinya baju kumal dan handuk lusuh. Jangan terkejut. Poniman sama sekali tak punya rumah. Ia tinggal di gerobak itu dan setiap hari berkelana demi menghindari kejaran petugas yang menganggapnya seperti sampah di jalan raya.

Poniman laksana siput yang ke mana-mana membawa rumahnya. Ia adalah satu dari ratusan manusia gerobak yang berkeliaran di jalan-jalan Kota Jakarta. Mereka disebut manusia gerobak sebab tinggal di gerobak kayu yang didorong saban hari. Poniman berkelana seorang diri. Namun beberapa manusia gerobak lainnya justru adalah keluarga. Ayah, ibu, dan anak sama-sama tinggal di gerobak tua itu. Mereka hidup, mencari makan, dan istirahat di gerobak tersebut. Mereka meletakkan semua ‘harta’ dan hasil jerih payahnya di gerobak itu. Bagi mereka, kosa kata hidup adalah berpindah-pindah demi mengais-ngais rezeki di jalan-jalan kota Jakarta.

Mulanya Poniman tinggal di lapak kumuh di dekat pembuangan sampah. Namun, hidup di lapak itu sungguh tak nyaman baginya. Setiap saat ia harus siaga dan melarikan diri ketika aparat Satpol Pamong Praja datang untuk ‘menggaruknya.’ Poniman dianggap sampah yang mengotori jalan-jalan. Ia dianggap wajib dienyahkan. Keberadaannya mengotori wajah kota yang mestinya nampak kaya dan teratur sebagaimana kota-kota di Eropa. Maka berkelanalah Poniman. Ia hidup berpindah dan sesekali berkelahi dengan nasib yang seolah hendak menyingkirkannya dari kota. 

Ia sedang bertarung dengan nasib. Daripada selalu hidup was-was karena kejaran aparat, ia lalu membawa gerobak ke mana-mana. Ketika aparat datang, ia akan berpindah dengan cepat ke tempat aman. Dan ia adalah satu-satunya manusia bebas di Jakarta. Jika manusia lain selalu kembali di rumah yang ukurannya sekian kali sekian meter, Poniman bisa tidur di semua sudut jalan Jakarta. Ia bebas memilih hendak istirahat di manapun. Boleh jadi, ia pernah tidur di jalan raya depan hotel mewah yang pernah Anda tiduri. Boleh jadi ia pernah mengais sampah makanan yang pernah Anda buang di jalan raya. Ia adalah manusia bebas. Bebas tidur di manapun. Bebas makan apapun.

sekeluarga hidup di gerobak
Dengan cara apa ia bisa bertahan? Ternyata ia menghidupi dirinya dengan mengumpulkan barang bekas. Dalam sehari, ia bisa mendapatkan penghasilan hingga sepuluh ribu rupiah, sebuah jumlah yang hanya cukup untuk makan. Selain aparat, musuhnya adalah cuaca. Ketika hujan, ia akan basah kuyup sebab terpal sobek di gerobaknya tak selalu sanggup menutupi seluruh tubuhnya. "Emang susah sih hidup di jalanan. Kalau hujan kedinginan, panas kepanasan," katanya. Sembari bercerita, lelaki tua ini sesekali menyeka tetesan air yang mampir di wajahnya dengan handuk kecil yang setia melingkar di lehernya. Jika hari panas handuk lusuh itu yang menghapus keringat ketika dia bekerja. 

Meski akrab dengan dingin angin malam, Poniman tak bisa memungkiri usianya kian senja. Kini ia kerap sakit. Walau sakit yang kerap mampir hanya flu biasa, dia tak mampu berobat ke dokter karena biayanya tak sebanding dengan pendapatannya. Poniman pun memilih melawan sakit dengan obat kelas warung yang harganya relatif terjangkau. 

Melihat Poniman, saya dicekam kesedihan. Setelah enam puluh enam tahun republik ini merdeka, namun pria seperti Poniman tetap saja menjamur di kota-kota. Telah beberapa kali presiden berganti, namun kemiskinan pria seperti Poniman menjadi realitas yang selalu hadir di mana-mana. Dan seperti biasa –sebagaimana dikatakan Anis Baswedan—setiap perayaan Proklamasi selalu saja diiringi permaafan pemerintah atas kemiskinan yang tak kunjung bisa dientaskan. Negeri ini tidak butuh permaafan. Jika cita-cita kemerdekaan adalah sebuah janji, maka janji itu seyogyanya ditepati dengan menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi sesama. Republik ini mesti bergegas. Mesti melakukan sesuatu yang bukan hanya permaafan, namun langkah-langkah konkrit untuk membantu mereka yang miskin dan papa sebagaimana Poniman.

ayah - anak hidup di gerobak (foto: dewantorobimo.wordpress.com)
Enam puluh enam tahun republik ini berdiri. Gedung pencakar langit berdiri di mana-mana. Tapi manusia seperti Poniman terus bertambah. Mereka adalah potret buram negeri yang para elite politiknya adalah mereka yang rela memakai dana negara demi memenangkan kursi ketua umum partai. Politisinya adalah para koruptor yang pandai berkongkalikong dengan sesamanya, menguras uang rakyat, lalu berpindah-pindah dengan kendaraan mewah berharga miliaran rupiah, kemudian tidur di atas kasur empuk di rumah-rumah yang serupa istana. 

Sementara Poniman hanya bisa menganyam impian dari gerobak tua itu. Ia adalah siput yang ke mana-mana membawa rumahnya. Ia hanya bisa menghitung hari demi hari yang berlalu dan usianya kian menua. Hari ini, ia berbaring di gerobaknya di tepi Jalan Kramat Sentiong. Ia sudah nyaris terlelap ketika tiba-tiba datang aparat yang menghardik dan berteriak mengusirnya. Ia kian meminggirkan gerobak itu. Ternyata ada mobil mewah berwarna hitam mengkilat sedang melintas. Samar-samar Poniman melihat Gubernur DKI Fauzi Bowo sedang melintas. Ia tahu diri dan segera lenyap dari tepi jalan itu.(*)

seorang manusia gerobak sedang memandang hari



5 komentar:

HIDUPKAN TANAH mengatakan...

As always, inspiring!

Anonim mengatakan...

luar biasa, tulisan yang mengalir, mencerahkan selayaknya dibaca bukan hanya oleh setiap penguasa tetapi semua dirikita yang memiliki kepongahan dan kehilangan empati dan solusi...

Muhammad Alif

Patta Hindi Asis mengatakan...

seperti yang dikisahkan Sindhunata dalam Burung-burung di Bundaran HI. kehidupan wong cilik di kota jakarta sangat memiriskan. insiparatif catatanta kanda Yus...

salam hangat

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih atas semua komentarnya...
buat kanda patta, saya belajar dari romo sindhu bagaiaman mengangkat pengalaman orang biasa ke dalam tulisan

nopry mengatakan...

numang tanya gan, kalo untuk manusia gerobak itu ada dimana aja sih?
trus kalo mau ngambil fotonya dia bayar ga?

Posting Komentar