Saat Ahmadinejad Membawa Injil



AHMADINEJAD adalah Musa di abad 21. Sebagaimana Musa yang berteriak lantang di Istana Fir'aun, pemimpin bangsa Iran itu berteriak lantang saat berada di Markas Dewan keamanan PBB. Kamis (23/9) lalu, saya menyaksikannya melalui televisi. Buat saya, yang menggetarkan adalah saat ia memegang kitab Al Quran di tangan kanan dan kitab injil di tangan kiri. Mulailah ia mengeluarkan kalimat filosofis tentang intisari agama, sebuah jantung yang menukik dan semestinya dipahami demi perdamaian dan hidup yang berkeadilan.

Di hadapan sidang PBB itu, ia mengecam aksi pembakaran Al Quran yang dilakukan di Amerika Serikat (AS). Katanya, Quran adalah kitab abadi yang menjadi sumber memancarnya mata air nilai bagi umat islam, sesuatu yang juga menjadi sumber keajaiban. "Kitab suci Qur'an merupakan buku yang Ilahi dan keajaiban abadi bagi Islam." Ia berbicara tentang keajaiban, sesuatu yang luar biasa bagi manusia.

Tahukah kita apa makna keajaiban? Saya memaknainya dengan sederhana. Keajaiban adalah sesuatu yang luar biasa dan terjadi begitu saja, secara serempak, dan tanpa diduga-duga. Keajaiban serupa Musa yang melemparkan tongkat dan tiba-tiba menjelma ular dan melahap semua ular dari tukang sihir Firaun. Atau saat ketika Musa menghantamkan tongkatnya ke laut yang kemudian membelah dirinya demi perjalanan Musa dan bangsa Israel. Kita menyebutnya keajaiban karena hal tersebu melampaui sisi rasionalitas kita sebagai umat manusia.

Entah apa maksud Ahmadinejad menyebut kitab sebagai keajaiban. Mungkinkah ia hendak mengatakan bahwa letak keajaiban Quran adalah saat intisari ajaran itu meresap dalam batin seseorang sehingga seseorang berjalan lurus ke depan tanpa tersesat, dan segala hal yang ajaib akan melingkupinya. Tangan-tangan kasih Tuhan akan menjaga seseorang untuk selalu tetap on the right track, menjadi rahmat bagi sesama, menjadi angin sejuk yang menghamparkan kesejukan bagi siapapun. Meresapi intisari kitab adalah menyediakan dirimu sebagai anugrah bagi sekitar. Keberadaanmu sebagaimana yang dikatakan filsuf Heidegger, sebagai cahaya yang memisah terang dari gelap agar jelaskah kebenaran itu. Nah, apakah kita sudah mengalami keajaiban? Entah. Kita hidup pada sebuah zaman di mana keajaiban menjadi nyanyi sunyi para rasul di abad pertengahan. Kita terlampau rasional, namun mengkalkulasi sesuatu hanya berdasar pertimbangan emosional semata. Tanpa nalar. Tanpa meresapi.

"Kita secara bijak harus mencegah jangan sampai masuk ke tangan-tangan Setan. Mewakili bangsa Iran, saya menaruh hormat kepada semua Kitab Ilahi dan para pengikutnya. Ini adalah Al Qur'an dan ini adalah Alkitab. Saya menghormati keduanya," kata Ahmadinejad sambil memperlihatkan kedua kitab suci itu.

Selanjutnya, ia berkhutbah tentang filosofi kenabian. Para nabi Ilahi adalah mereka-mereka yang memiliki misi bagi umat manusia untuk percaya pada satu Tuhan (monoteisme), cinta dan keadilan sekaligus menunjukkan belas kasih bagi kemakmuran serta menjauhi ateisme dan egoisme. Pada titik ini, Ahmadinejad berbicara tentang misi universal yang termaktub dalam setiap agama. Pada tingkatan aktual, semua agama bisa berbeda, namun ditingkat substansi, semuanya mengarah pada titik yang sama, nilai-nilai universal seperti kebenaran, keadilan, cinta kasih. Perbedaan itu hanya di tampilan luar saja. Jika kita mengupas-ngupas inti ajaran itu, maka kita akan menemukan satu substansi yang sama.

Sayangnya, sebagaimana kata Ahmadinejad, ajaran para nabi itu sering tercermar oleh "ego dan nafsu tamak" manusia. Dia selanjutnya memberi sejumlah contoh bagaimana manusia sudah berkali-kali diperingati oleh para utusan Tuhan. "Nimrod menghadapi Hazrat Abraham dan Firaun menghadapi Hazrat Musa. Kaum tamak menghadapi Hazrat Yesus Kristus dan Hazrat Muhammad (damai beserta kita sekalian). Dalam beberapa abad terakhir, etika dan nilai kemanusiaan telah ditolak sehingga menyebabkan keterbelakangan," katanya.

Etika Kemanusiaan

Saya tersentuh dengan kebijaksaan yang terselip dalam kalimat-kalimat ini. Kita memang tidak banyak membaca sejarah peradaban manusia. Padahal, sebagai kata Goethe, manusia yang tudak belajar dari masa tiga ribu tahun sebelumnya adalah manusia yang hidup tidak menggunakan akalnya. Pengalaman yang tercatat dalam kitab itu memberikan terang pandang bahwa kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada ikhtiar untuk memperlihatkan kitab suci di mana-mana. Tidak juga terletak pada hasrat membakar satu kitab suci dan menunjukkan brutalnya sebuah ajaran. Namun pada niat tulus untuk menegakkan etika dan nilai kemanusiaan. Inilah tampilan utuh dari sebuah agama. Sebuah wajah yang welas asih dan penuh cinta, bukannya wajah sangar yang identik dengan semangat membakar yang lain.

Seberapa jauhkah kita membaca sejarah? Kita mungkin hanya melihatnya sebagai kilasan peristiwa yang tanpa makna. Padahal dalam setiap lembar sejarah itu terdapat butiran himah yang semestinya memperkaya khasanah kemanusiaan kita hari ini. Terdapat berlembar-lembar pelajaran yang seharusnya ditembus maknanya dan dipulung untuk di bawa ke masa kini dan memperkaya hati kita, sesuatu yang secara sadar ataupun tidak telah mempengaruhi cara pandang kita. Namun, mengapa kita sampai kabur dalam menemukan pelajaran tersebut? Mengapa kita seakan jauh dari lapis hikmah?

Ahmadinejad menyebut nafsu dan ketamakan sebagai hijab yang menghalangi kita dari kenyataan sejati. Ia menyayangkan bahwa nafsu untuk mendapatkan kapital dan dominasi telah menggantikan ajaran monoteisme, yang merupakan gerbang bagi cinta dan persatuan. "Ini akhirnya memunculkan berbagai konflik yang membuka jalan bagi terjadinya perbudakan dan kolonialisme," katanya dalam sidang itu.

Selanjutnya, ia mulai melontarkan kritik pedas kepada AS, kapitalisme, dan juga kepada PBB. Itulah yang membuat para delegasi dari sejumlah negara melakukan aksi boikot dengan meninggalkan ruang sidang saat Ahmadinejad masih berpidato. Menurut stasiun televisi CNN, mereka yang walkout adalah delegasi AS, Inggris, Swedia, Australia, Belgia, Uruguai dan Spanyol. Selain itu, para delegasi dari 27 negara Uni Eropa sebelumnya bersepakat meninggalkan sidang bila Ahmadinejad membuat pernyataan yang menebar kebencian.

Saya tak peduli dengan aksi walkout itu. Bagi saya, Ahmadinejad telah menampilkan dirinya sebagai Musa yang menyampaikan kebenaran. Terlepas dari apapun publikasi tentang sosoknya, ia telah menghembuskan satu dialog yang sangat penting kepada dunia tentang makna kemanusiaan, sebuah dialog yang hanya bisa ditemukan dalam kontemplasi yang menerabas perbedaan. Di sebuah forum yang dihadiri para pemimpin dunia, semua orang sibuk membahas hal-hal yang tidak penting, namun dianggap penting untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan. Tatkala Ahmadinejad membahas hal substansial tersebut, maka ia telah membuka diskursus tentang pentingnya memahami agama tidak hanya dari kulitnya saja, namun dari lapis-lapis yang terdalam. Inilah intisari penting sebuah ajaran kenabian di masa silam. Bukankah itu adalah jawaban dari segala yang kita butuhkan? 

“Anda bisa membakar Quran, tapi tidak bisa membakar kebenaran,” demikian katanya. Di ajang itu, Ahmadinejad tidak berniat membakar injil sebagai aksi balas dendam. Mulanya ia dikhawatirkan akan membakar Injil. Ia hanya menitipkan pesan universal bahwa pada akhirnya Injil dan Al Quran hanyalah sebuah jalan menggapai keselamatan. Pada akhirnya, semuanya akan berpulang pada sejauh mana seorang individu memilih jalannya, membaca bentang kenyataan yang terhampar, dan menciptakan keajaiban-keajaiban dalam hidupnya. Dengan terang pandang ini, aksi bunuh diri atas nama jihad, aksi membunuh yang lain atas nama agama, aksi menghancurkan gedung, hingga aksi pembakaran Al Quran menjadi aksi yang dangkal dan nampak kekanakan sebab melihat agama sebagai tampilan luar, tanpa memetik hikmah di dalam setiap lembar kitab itu. Inilah intisari yang saya pelajari dari kalimat Ahmadinejad di sidang PBB itu.

Sebagaimana tadi telah saya katakan, Ahmadinejad adalah Musa di abad 21.


Jakarta, 25 September 2010

3 komentar:

Dwi Ananta mengatakan...

Dri SMA aku sudah sangat kagum dengan sosok presiden Iran tersebut. Aku kagum dengan kesederhanaannya dan sifat beraninya mengatakan hal-hal yang seharusnya dikatakan. Dari dulu selalu berharap presiden Indonesia bisa seperti dia bukan antek asing

darmawati alimuddin mengatakan...

andai saja saya bisa melihat langsung ahmadinejad saat berpidato :D

phio mengatakan...

thats right....
ini alasan knpa ahmadinejad pantas di kagumi ketimbang pemimpun lainnya....
Semoga Indonesia kelak dipimpin oleh pemimpin seperti beliau,,,,,,

thanks bang atas tulisannya...

Posting Komentar