Revolusi Itu Bermula dari Kejengkelan di Kapal Van der Wijck
SETIAP kali membaca buku, selalu ada bagian tertentu yang mengiang lama di benak.
Saat membaca Bumi Manusia dari Pramoedya, yang terkenang adalah kejengkelan memuncak pada sistem kolonialisme, yang menjauhkan Minke dan Annelies, menghina pribumi dalam peradilan kolonial.
Nah, saat membaca bukunya David van Reybrouck berjudul Revolusi; Indonesian and the Birth of Modern World, yang terus terkenang adalah bagian mengenai kapal Van der Wijck, yang pernah jadi jadi novelnya Hamka.
Berkat bab ini, saya jadi paham mengapa kaum pribumi yang bersekolah kian benci pada kolonialisme Belanda, dan bertekad untuk menumbangkannya. Nah, bagaimanakah ceritanya?
Mari kita baca bab berjudul "Kapal Uap Kolonial.." David Van Reybrouck menulis dengan gaya yang nyaris sinematik: kapal uap menjadi miniatur Hindia Belanda. Di dalamnya, hierarki sosial kolonial tidak disembunyikan di balik istilah administratif, melainkan ditata secara kasatmata. Siapa yang di atas dan siapa yang di bawah benar-benar tampak — bahkan dalam arti harfiah.
Kelas satu diperuntukkan bagi orang Eropa: pejabat kolonial, insinyur, dan nyonya-nyonya Belanda yang bepergian dengan anjing peliharaan dan bagasi raksasa. Mereka makan steak dan minum anggur di ruang makan berlampu kristal, dilayani para steward berseragam putih yang menunduk sopan.
Kelas dua diisi oleh orang Tionghoa kaya, Arab peranakan, atau Indo-Belanda berkulit lebih gelap. Mereka punya kabin lebih kecil dan menu lebih sederhana. Masih ada tirai pemisah, namun cukup jauh dari suara mesin yang berderu di bawah.
Sedangkan di kelas tiga, dek paling bawah, duduk para “inlander”, istilah yang digunakan untuk menyebut pribumi. Mereka tak punya kabin, hanya dipersilakan menggelar tikar di lantai besi yang panas. Makanannya seadanya, kadang nasi kering dengan lauk asin, dan tak jarang mereka harus berbagi ruang dengan barang kargo.
Van Reybrouck menulis bahwa sistem di kapal itu tidak sekadar mencerminkan perbedaan ekonomi, tapi menegaskan struktur rasial yang telah menjadi tulang punggung kolonialisme. “Di laut,” tulisnya, “hierarki kolonial menampakkan dirinya dengan lebih telanjang daripada di darat.”
Yang paling menjengkelkan, kata Van Reybrouck, bukan hanya ruang sempit atau udara pengap di kelas bawah, tapi kenyataan bahwa orang pribumi tak bisa naik kelas, meski memiliki uang. Tiket kelas satu tak dijual kepada mereka. Status “inlander” melekat seperti kutukan: tak bisa ditebus dengan kekayaan, pendidikan, atau keberanian.
Bayangkan, anda seorang pribumi, lulus sekolah kedokteran di STOVIA, juga punya uang, tetap tidak bisa membeli tiket kelas 1. Sementara orang Belanda yang pengangguran bahkan tidak pernah sekolah, dengan mudahnya menaiki kelas 1.
Van Reybrouck menulis: “Kolonialisme bukan sekadar kekuasaan atas tanah, tetapi juga atas tubuh.”
Kapal uap kolonial menunjukkan bagaimana kekuasaan itu bekerja: siapa yang boleh bergerak bebas, siapa yang hanya boleh menunggu di bawah. Bahkan dalam perjalanan di laut, orang Indonesia tidak benar-benar bepergian. Mereka hanya ikut diangkut.
Kapal itu, bagi Van Reybrouck, adalah mikrokosmos penjajahan. Mesin uapnya melambangkan kemajuan Eropa, tapi juga menggiling kehidupan manusia di bawah dek. Ia adalah simbol dari modernitas yang timpang: teknologi tinggi di satu sisi, dehumanisasi di sisi lain.
Orang Eropa memandang laut dari kursi santai, berbicara tentang masa depan peradaban; sementara di bawah, penumpang pribumi menggigil dalam gelap, mencium bau oli dan keringat. Itulah wajah kolonialisme yang sesungguhnya: modernitas yang dibangun di atas ketidakadilan.
Dalam bab ini, Van Reybrouck juga menyinggung bahwa kesadaran untuk melawan sistem itu lahir justru dari pengalaman-pengalaman kecil seperti ini. Para pelajar pribumi lulusan STOVIA atau HBS mulai menyadari ketimpangan itu.
Bukan dari pidato atau pamflet, tetapi dari pengalaman sehari-hari: di kapal, di kereta, di sekolah. Rasa malu dan kemarahan tumbuh diam-diam.
Mereka mulai bertanya, mengapa bangsa mereka hanya boleh duduk di dek paling bawah di negerinya sendiri? Mengapa kulit dan nama menjadi penghalang untuk naik ke atas? Dari pengalaman-pengalaman semacam itu, kata Van Reybrouck, “revolusi tidak lahir dari ideologi besar, melainkan dari rasa sakit yang terpendam.”
Van Reybrouck kemudian menyebut Van der Wijck, kapal nyata yang karam pada 1936 dan sekaligus judul novel terkenal karya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Dalam novel itu, kapal menjadi simbol dari cinta yang tak bisa bersatu karena perbedaan kelas dan ras. Hamka menulis tragedi sosial; Van Reybrouck membaca simbol sejarah.
Keduanya berangkat dari kenyataan yang sama. Kapal sebagai lambang dunia yang timpang, tempat orang berjuang bukan hanya melawan ombak, tapi juga nasib sosial yang sudah ditentukan.
Kapal uap kolonial akhirnya menjadi lebih dari sekadar alat transportasi. Kapal itu adalah cermin yang memantulkan luka sejarah. Di laut yang luas, manusia-manusia Hindia Belanda belajar tentang batas: batas ruang, batas warna kulit, dan batas impian. Dan dari batas-batas itulah, kesadaran mulai tumbuh.
Di dek bawah yang berpeluh dan gelap, lahir pertanyaan-pertanyaan yang kelak mengguncang kekuasaan kolonial. Ketika kapal-kapal itu kembali ke Eropa dengan perwira yang sombong di dek atas, mereka mungkin tak menyadari bahwa di geladak bawah, sebuah revolusi telah mulai berlayar.

