Diaspora Buton: Menyambung Pulau, Merajut Indonesia


Ruang pertemuan Kantor Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Tenggara penuh sesak, Kamis (2/10/2025). Deretan kursi terisi mahasiswa, peneliti, hingga tokoh masyarakat yang datang dengan wajah antusias. 

Di meja panjang bagian depan, tumpukan buku Sejarah & Budaya Buton dalam Diaspora Nusantara tersusun rapi, sampulnya memantulkan cahaya lampu ruangan.

Aroma kertas baru bercampur dengan hiruk-pikuk percakapan, menandai pentingnya acara bedah buku yang bukan sekadar seremoni, melainkan ruang perjumpaan gagasan tentang sejarah panjang orang Buton.

Saat mikrofon berpindah ke tangannya, Prof. Dr. Susanto Zuhdi, guru besar ilmu sejarah Universitas Indonesia, tidak langsung menjejalkan data. Ia justru memulai dengan ajakan sederhana namun menusuk: mari membayangkan Indonesia tanpa orang Buton.

Sebuah renungan yang seketika membuat ruangan hening. “Nama Buton,” ujarnya perlahan, “bukan hanya soal sebuah pulau atau kesultanan yang pernah berjaya, tetapi juga simbol identitas dan pluralitas yang membentuk wajah Sulawesi Tenggara.”

Orang Buton: Dari Kesultanan ke Nusantara

Bagi banyak orang, “Buton” identik dengan kesultanan yang berdiri sejak abad ke-14 hingga 1960. Namun, Susanto mengingatkan, di balik nama itu tersimpan mosaik identitas: Wolio dengan bahasanya yang halus, Cia-Cia yang pekerja keras, Wakatobi dengan tradisi lautnya, Muna yang agraris, hingga Tolaki dan Moronene yang berakar pada hutan dan ladang.

“Buton,” kata Susanto, “sejak awal adalah ruang yang multietnik, multibahasa, dan multibudaya.” Laut yang bagi banyak orang menjadi batas, justru bagi Buton menjadi jembatan.

Tradisi itu membuat orang Buton menjadi perantau ulung. Keberanian melaut diwarisi dari leluhur mereka sejak masa kesultanan, ketika laut bukan sekadar hamparan air, melainkan jalan raya yang membuka cakrawala.

Keyakinan mereka sederhana namun penuh makna: di seberang laut selalu ada kehidupan baru yang bisa digapai. Dengan perahu kayu, mereka berlayar menantang ombak, membawa serta keluarga, adat, dan doa-doa leluhur.

Di tempat-tempat yang mereka singgahi, orang Buton tidak hanya menjadi tamu. Mereka membuka lahan, menghidupkan kebun, membangun rumah, dan menamai kampung-kampung baru dengan nama yang mengingatkan pada tanah asal.

Lambat laun, perkampungan itu berkembang menjadi simpul-simpul sosial baru, tempat orang Buton bersentuhan dengan masyarakat setempat, berbaur sekaligus membawa identitasnya.

“Yang khas dari mereka,” kata Susanto, “adalah kemampuan membentuk jaringan sosial. Diaspora Buton bukan sekadar soal perantauan, tetapi tentang menghadirkan kehidupan di ruang-ruang kosong yang sebelumnya tak tersentuh. Mereka mengisi ruang-ruang kosong, membentuk jaringan sosial baru, dan akhirnya ikut memperkuat integrasi nasional.”

Keberanian itu membuat orang Buton menjadi pionir di banyak tempat. Di tanah-tanah yang asing, mereka menciptakan ruang hidup baru, menghubungkan komunitas setempat dengan jaringan perdagangan dan pelayaran yang lebih luas.

Dengan cara itu, diaspora Buton tidak hanya melanjutkan tradisi leluhur, tetapi juga menanamkan denyut keindonesiaan di tanah rantau.

Jejak Diaspora di Timur dan Barat

Jejak itu kini nyata di banyak wilayah Nusantara. Di Sorong, Papua Barat Daya, mereka bukan sekadar pendatang, melainkan bagian dari sejarah lahirnya provinsi baru. Nama Haji Laode Polondo tercatat sebagai salah satu deklaratornya.

Di Ambon, orang-orang Wakatobi dari Wanci dan Kapota membentuk kampung baru di pegunungan, sementara orang Binongko tetap dikenal sebagai pande besi, penjaga keahlian tradisional membuat peralatan rumah tangga dan senjata.

Di Kalimantan Timur, kisah orang Buton bahkan dikenang sebagai penyelamat: ratusan warga yang diajak bercocok tanam oleh Nur Ambari berhasil mengatasi kelaparan di Balikpapan pada masa Orde Lama.

Jalur pelayaran mereka pun sampai ke Bangka-Belitung. Apa yang semula hanya singgah dalam perjalanan ke Malaya dan Singapura, perlahan menjadi tujuan. Sejak 1930-an, mereka menetap di Tanjung Gunung, lalu menyebar ke berbagai wilayah pada dekade-dekade berikutnya.

Mengisi Ruang Kosong Nusantara

Prof. Susanto Zuhdi menekankan bahwa diaspora Buton adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah pembentukan Indonesia itu sendiri. Dalam pandangannya, diaspora bukan sekadar cerita tentang orang-orang yang meninggalkan tanah asal, melainkan proses panjang bagaimana kepulauan Nusantara saling terhubung dan bertransformasi menjadi satu kesatuan bangsa.

Pulau-pulau yang dulu sunyi berubah menjadi ruang hidup baru, lahan-lahan yang kosong disulap menjadi kebun dan sawah, sementara titik-titik kecil di peta Nusantara yang semula terpencil perlahan terikat dalam jalinan sosial, ekonomi, dan budaya.

“Bayangkan Nusantara tanpa orang Buton,” katanya, sambil menatap audiens. “Banyak pulau tidak akan terhubungkan. Mereka berlayar, singgah, lalu menetap. Peran orang Butonlah yang menyambungkan pulau-pulau itu, menjadikan Indonesia lebih utuh.”

Dalam kalimat itu, tersirat kesadaran bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh pusat-pusat kekuasaan besar seperti Jawa atau Sumatra, tetapi juga oleh peran komunitas perantau yang sabar mengisi ruang-ruang kosong.

Orang Buton hadir di tempat-tempat yang sering diabaikan, menanamkan kehidupan di tanah yang tandus, dan membawa denyut ekonomi di pelabuhan-pelabuhan kecil. Dengan pelayaran tradisional mereka, laut yang luas tidak pernah menjadi penghalang, melainkan jembatan.

Mereka datang bukan hanya sebagai pendatang, melainkan sebagai penyambung peradaban. Di setiap tempat yang mereka huni, terbentuk jejaring sosial baru: pasar tumbuh, tradisi berbaur, dan solidaritas lintas etnik terjalin.

Jejak ini menjadi bukti bahwa keutuhan Indonesia bukanlah proyek politik semata, melainkan juga hasil dari inisiatif kultural dan keberanian diaspora seperti orang Buton yang tanpa henti menjahit ruang-ruang Nusantara.

Sejarawan Belanda, J.W. Schoorl, dalam kajiannya tentang Buton, menulis bahwa kekuasaan dan ideologi kesultanan sejak awal berakar pada keterampilan maritim.

Mobilitas laut bukan hanya sumber kekayaan, tetapi juga sarana integrasi politik dan kultural. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan diaspora: pelayaran bukan sekadar pindah tempat, tetapi sebuah cara membangun keterhubungan.

Merawat Identitas, Menjaga Integrasi

Namun, kisah diaspora Buton bukan hanya tentang perpindahan. Ia juga tentang keteguhan menjaga identitas di tengah perantauan. Ke manapun mereka pergi—ke Maluku, Kalimantan, Papua, hingga Sumatra—orang Buton selalu membawa serta bahasa, adat, dan tradisi.

Di Ambon, mereka menamai kampungnya Oli Lama, Oli Tengah, dan Oli Baru—nama-nama yang tetap mengingatkan pada asal-usul. Di Sorong, solidaritas kekerabatan dijaga lewat Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara. Di Bangka-Belitung, tradisi pelayaran diwariskan turun-temurun, menjadi pengingat bahwa laut adalah nadi kehidupan.

Bahasa Wolio atau Cia-Cia tetap dituturkan di rumah, ritual adat tetap digelar, dan musik serta tarian Buton tetap hidup dalam pesta-pesta komunitas. “Mereka cepat berbaur, namun tidak kehilangan jati diri,” ujar Susanto. Identitas itu seperti pelita: memberi cahaya pada diri sendiri, sekaligus menyinari perjumpaan dengan orang lain.

Dari kemampuan menjaga identitas sekaligus beradaptasi inilah lahir kekuatan kultural. Orang Buton diterima, dihormati, bahkan dipercaya di tanah rantau. Identitas bukan sekadar kenangan asal-usul, melainkan modal sosial yang memperkuat jaringan diaspora.

Di penghujung acara, suasana di ruangan Kendari itu berubah lebih hening, seolah semua yang hadir diajak merenungi kembali. Betapa tanpa orang Buton, banyak ruang dalam peta Nusantara yang akan tetap kosong. Betapa lewat pelayaran, perantauan, dan keteguhan menjaga tradisi, mereka telah menjadi penyambung pulau, pengikat kebangsaan.

Schoorl pernah menulis bahwa perubahan dalam sejarah Buton tidak pernah lepas dari laut. Dan di Kendari sore itu, kata-kata Susanto Zuhdi membuat pandangan itu terasa hidup: laut tidak hanya menghubungkan pulau, tetapi juga menghubungkan ingatan, identitas, dan masa depan Indonesia.

Laut bagi orang Buton adalah kitab yang selalu terbuka. Setiap gelombang adalah halaman, setiap pelayaran adalah ayat, dan setiap perantauan adalah tafsir baru tentang kebangsaan.

Selama laut tetap beriak, selama perahu mereka terus berlayar, orang Buton akan tetap menulis sejarahnya di antara pulau-pulau, di dalam jalinan Indonesia yang terus dirajut.