Pallu Basa sebagai Antropologi Kuliner: Sejarah, Rasa, dan Identitas


Asap kuah panas mengepul dari panci besar, memenuhi ruang sempit sebuah warung di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Kursi-kursi plastik tersusun rapat, orang-orang duduk berdesakan. 

Sebagian masih mengenakan pakaian kerja, sebagian lain bersandal jepit dengan wajah lelah selepas seharian beraktivitas. Aroma rempah, lengkuas, jintan, ketumbar, bercampur dengan gurih santan dan kelapa sangrai, menggantung di udara seperti doa yang tak putus.

Pengunjungnya pun beragam. Di pojok meja, sekelompok anak muda bercakap dengan logat Betawi. Tak jauh dari situ, pasangan paruh baya keturunan Tionghoa sibuk mengaduk kuah, menambahkan perasan jeruk nipis sebelum menyuapinya perlahan.

Mereka tak terlihat asing dengan hidangan ini, seakan pallu basa telah lama menjadi bagian dari denyut kosmopolit Jakarta.

Bagi sebagian orang, semangkuk pallu basa adalah nostalgia kampung halaman, sepotong Makassar yang dibawa jauh ke ibu kota. Bagi yang lain, ia sekadar pengalaman rasa, mencoba sesuatu yang baru namun segera terasa akrab.

Dan di titik pertemuan itulah makanan bekerja, menjadi jembatan yang menyatukan, tanpa perlu bahasa lain selain rasa.

Sejarah pallu basa bukanlah kisah kemewahan. Ia lahir bukan di dapur kerajaan atau meja bangsawan, melainkan di sudut-sudut kota Makassar, dari tangan nelayan, buruh, dan pekerja kasar yang tak berhak atas potongan daging terbaik. 

Daging pernah menjadi penanda kelas. Para bangsawan menikmati bagian pilihan, has dalam yang lembut, iga yang berlemak, paha yang kokoh. Sementara rakyat jelata hanya mendapat sisa: jeroan, kaki, kulit.

Namun justru dari sisa itulah, orang-orang kecil menemukan cara bertahan. Mereka merebusnya perlahan, memberi nyawa baru lewat rempah yang akrab: lengkuas, kunyit, ketumbar, jintan. Kelapa sangrai ditaburkan, kuah pun mengental, gurih, dan harum. 

Dari keterbatasan lahir kreativitas. Dari sisa lahir identitas.

***

Antropologi kuliner mengingatkan bahwa makanan adalah arsip sejarah yang bisa dimakan. Dalam semangkuk pallu basa, ada jejak pertemuan peradaban. Cengkih dan pala datang dari Maluku, merica dan kayu manis dari barat.

Kapal-kapal VOC, pedagang Arab, India, dan Cina, semua pernah singgah di Makassar, meninggalkan jejak pada racikan dapur rakyat. Kuah pekat itu menyimpan gema pasar tua, bau garam laut, dan hiruk-pikuk pelabuhan.

Sejarawan Fadly Rahman pernah berkata: makanan tradisional adalah strategi bertahan hidup. Pallu basa adalah buktinya, sebuah catatan tentang bagaimana rakyat mengubah keterpaksaan menjadi kebanggaan.

Antropolog Claude Lévi-Strauss menyebut makanan sebagai bahasa budaya. Pallu basa yang terbuat dari jeroan adalah metafora: apa yang dianggap hina dalam hierarki sosial, dimuliakan di meja rakyat. 

Sidney Mintz, lewat studinya tentang gula, menunjukkan bahwa makanan mampu mengungkap sejarah ekonomi-politik global. Jika gula merekam kolonialisme, maka pallu basa merekam kelas sosial dan daya juang masyarakat Makassar.

Bagi orang Bugis Makassar, makanan tak hanya mengisi perut, tapi juga menuturkan nilai. Pallu basa merefleksikan falsafah mabbulo sibatang, bersatu bagai sebatang bambu. Dalam satu panci besar, tak ada bagian sapi yang sia-sia: dari jeroan hingga tulang, semua menyumbang rasa.

Begitu pula dalam hidup, setiap orang, betapapun kecil perannya, tetap menopang komunitas. Cara menikmatinya pun mencerminkan filosofi itu. Nasi diselupkan ke kuah yang sama, piring dibagi, rasa dinikmati bersama.

Makanan menjadi pengalaman kolektif, bukan individual. Bahkan tradisi menambahkan kuning telur mentah bukan sekadar kebiasaan kuliner, melainkan simbol kepercayaan pada kesegaran bahan, pada alam, pada kehidupan itu sendiri.

Seperti pelaut Bugis Makassar yang sejak abad ke-17 mengarungi laut jauh, pallu basa ikut merantau. Ia hadir di Kalimantan, Sumatera, hingga Semenanjung Malaya. 

Orang Bugis Makassar tidak pernah berangkat dengan tangan kosong. Dalam setiap pelayaran, mereka membawa lebih dari sekadar barang dagangan: ada bahasa, ada adat, ada ingatan, dan tentu saja ada rasa.

Di antara komoditas berharga yang diperdagangkan, rempah, kain, garam, terselip juga resep yang diwariskan dari satu dapur ke dapur lain.

Maka tidak mengherankan jika pallu basa hadir di kota-kota pelabuhan di Kalimantan, menyatu dengan lidah Banjar dan Dayak; atau di pesisir Sumatera, di mana ia bertemu dengan kuliner Minang yang sama-sama kaya rempah. Di Semenanjung Malaya, ia berdampingan dengan nasi lemak dan laksa, membentuk mozaik rasa baru. 

Jejaknya paling kentara di Singapura. Bugis Street bukan hanya nama sebuah kawasan, melainkan monumen rasa dari sebuah diaspora. Di sanalah aroma pekat pallu basa kadang tercium, seakan menyatukan kembali kenangan para perantau dengan tanah asalnya.

Semangkuk kuah hangat bisa menjembatani jarak berabad-abad, menghubungkan Makassar dengan Singapura, Sulawesi dengan Semenanjung.

Bagi generasi muda diaspora, pallu basa lebih dari sekadar makanan. Ia adalah tanda pulang, rumah yang bisa dibawa ke mana saja. Dalam setiap suapannya, ada pesan leluhur: laut bukanlah batas, melainkan jalan, dan identitas bisa tetap utuh bahkan ketika berpindah tempat.

***

Malam di warung pallu basa selalu hidup. Antrean tak pernah sepi, panci besar terus mendidih, bumbu masih menguar di udara. Seorang pelanggan tua mengaduk kuning telur di mangkuknya, lalu berbisik pelan:

“Segala sesuatu yang lahir dari penderitaan, bertahan lebih lama daripada yang lahir dari kemewahan.”

Mungkin ia benar. Memahami Bugis Makassar tidak cukup hanya lewat lontara atau catatan sejarah. Kadang, kuncinya ada di meja makan. Dalam semangkuk pallu basa yang pekat, kita melihat bagaimana rasa bisa menjadi sejarah, bagaimana sisa bisa menjadi simbol, dan bagaimana sebuah bangsa membangun jati dirinya seteguh kuah yang terus mengental bersama waktu. 

Seperti pepatah Bugis yang berkata, resopa temmangingngi na teai natemmopporang: hanya dengan kerja keras manusia dapat hidup dengan layak. 

Dalam pallu basa, pepatah itu menemukan wujudnya. Ia lahir dari kerja keras rakyat kecil, bertahan dalam sejarah, dan tetap menghangatkan jiwa mereka yang merantau jauh dari tanah asal.