Saat Korpala Unhas Menggores Jejak Manis di Singapura


Cahaya lampu pelabuhan Singapura masih terasa di kejauhan ketika sebuah kabar berhembus ke kampus NUS: sekelompok pelaut muda dari Makassar, Sulawesi Selatan, tiba dengan perahu sandeq.

Bukan kapal modern dengan mesin baja, melainkan perahu layar ramping yang sejak ratusan tahun lalu dikenal menaklukkan ombak besar Laut Flores hingga Selat Malaka.

Malam itu, ruang kelas NUS berubah menjadi dek kapal yang terapung di tengah samudera cerita. Tepuk tangan membahana, sorak bahagia pecah, dan senyum-senyum penuh rasa ingin tahu menyambut kru Ekspedisi Pelayaran Akademis (EPA III) dari Universitas Hasanuddin.

Mereka datang membawa kisah dari laut: kisah tentang layar yang terkembang, ombak yang dilalui, dan persaudaraan yang terjalin di atas geladak.

Acara bertajuk Sandeq Voyage Sharing: Tracing Orang Laut Trade Routes of the Past itu berlangsung pada 15 September 2025, di ruang NUS COM2 04-02. Tidak hanya anggota NUS Seafarers yang hadir, tetapi juga publik dan alumni National University of Singapore (NUS) yang penasaran ingin mendengar bagaimana sebuah ekspedisi akademis dengan kapal kayu bisa menyambungkan kembali sejarah maritim Asia Tenggara.

Ekspedisi ini sendiri diadakan oleh Korps Pencinta Alam (Korpala Unhas), salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Universitas Hasanuddin yang sejak lama dikenal aktif melakukan penjelajahan, riset lapangan, hingga ekspedisi lintas samudera.

Melalui EPA, Korpala tidak hanya memperkuat tradisi akademik berbasis petualangan, tetapi juga menghadirkan ruang belajar yang memadukan keberanian, ilmu pengetahuan, dan warisan budaya maritim Sulawesi.

Sebagai catatan, NUS Seafarers adalah sebuah komunitas mahasiswa di National University of Singapore (NUS) yang menaruh perhatian pada warisan maritim, pelayaran tradisional, dan interaksi dengan komunitas orang laut di Asia Tenggara.

Mereka rutin mengadakan diskusi, pelatihan, hingga ekspedisi kecil untuk menjaga dan mempelajari keterampilan serta tradisi yang diwariskan laut.

Malam itu, antusiasme tampak nyata: senyum tak henti, tatapan penuh rasa ingin tahu, dan percakapan yang mengalir hangat. Para pelaut muda dari Unhas berbagi kisah tentang bagaimana mereka menaklukkan ombak yang kadang setinggi dinding rumah, menahan terik matahari yang membakar kulit, hingga rasa lapar dan kantuk yang hanya bisa ditawar dengan tawa bersama. 

Mereka bercerita tentang malam-malam panjang ketika satu-satunya cahaya hanyalah bintang di langit dan kilau fosfor di permukaan laut. Persaudaraan di atas sandeq lahir dari kebersamaan sederhana: saling berbagi air minum, saling mengingatkan ketika ada tali yang longgar, dan saling menguatkan ketika tubuh sudah lelah tapi layar tetap harus terkembang.

“Di laut, kita belajar bahwa yang membuat kapal bisa terus maju bukan hanya angin, tapi juga rasa percaya satu sama lain,” ujar salah satu kru EPA.

Sementara itu, kelompok NUS Seafarers menyimak dengan kagum. Beberapa di antara mereka mengangguk, seolah ikut merasakan debur ombak yang diceritakan.

Mereka lalu berbagi pengalaman mereka sendiri: bagaimana membaca arah angin dengan mengamati riak halus di permukaan air, bagaimana memahami arus laut yang bisa menipu meski permukaan tampak tenang, dan bagaimana menjaga kebersamaan agar setiap anggota kru merasa menjadi bagian penting dari kapal.

“Kalau satu orang kehilangan ritme, kapal bisa kehilangan arah,” kata seorang anggota NUS Seafarers. “Karena itu, disiplin dan kepercayaan menjadi fondasi utama. Itulah yang membuat pelayaran terasa seperti keluarga terapung.”

Malam itu, ruang kelas berubah menjadi laboratorium samudera: penuh semangat, penuh cerita, dan penuh pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi pelaut.

Sejarah yang Menyatu dengan Ombak

Pertemuan di Singapura itu seolah menghadirkan kembali jejak panjang sejarah pelayaran Bugis. Sejak ratusan tahun lalu, pelaut Bugis mengarungi jalur maritim dari Sulawesi ke tanah Melayu hanya dengan perahu dan kapal kayu.

Mereka menjelajah dengan keberanian, menjalin perdagangan, hingga membangun komunitas di Johor, Riau, Selangor, bahkan sampai semenanjung Malaka.

Sejarawan Prancis, Denys Lombard, dalam karya monumentalnya Le Carrefour Javanais, menyebut orang Bugis-Makassar sebagai pelaut ulung yang menguasai jalur-jalur laut Asia Tenggara.

Ia menulis bahwa “orang Bugis telah membangun jaringan pelayaran yang luas, dari pelabuhan-pelabuhan kecil di Sulawesi hingga ke Johor dan Selangor, sehingga tanah Melayu tak pernah sepi dari perahu dan kapal kayu yang datang dari timur.”

Bagi Lombard, pelayaran Bugis bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan fenomena sosial-budaya yang membentuk wajah Asia Tenggara. Kapal-kapal kayu itu membawa lebih dari sekadar rempah atau hasil bumi.

Mereka membawa bahasa, tradisi, bahkan nilai-nilai yang menyatu dengan masyarakat pesisir yang mereka singgahi. Tidak heran, jejak komunitas Bugis masih kuat terasa di Johor, Selangor, hingga Riau; sebuah bukti bahwa laut telah lama menjadi jalan raya peradaban.

Apa yang dilihat Lombard adalah gambaran sebuah jaringan maritim yang melampaui batas politik dan geografis. Dalam pandangannya, Nusantara adalah “persimpangan” tempat segala arus perdagangan, migrasi, dan budaya bertemu.

Dan di persimpangan itu, orang Bugis hadir sebagai penggerak utama, menjadikan layar mereka sebagai simbol mobilitas sekaligus jembatan antarbangsa.

Kini, ketika kru EPA melayarkan sandeq menelusuri rute yang pernah ditempuh nenek moyang mereka, seolah kata-kata Lombard menemukan gema barunya. Pelayaran itu bukan saja menghidupkan kembali romantika masa lalu, tetapi juga menegaskan bahwa warisan maritim Bugis masih relevan dalam percakapan Asia Tenggara hari ini.

Kapal kayu yang sederhana menjadi jembatan budaya. Laut bukanlah batas, melainkan ruang pertemuan. Semangat itulah yang kini dihidupkan kembali oleh EPA: sebuah ekspedisi akademis yang tidak hanya menguji keterampilan teknis, tetapi juga menghidupkan kembali memori kolektif bahwa laut adalah penghubung, bukan pemisah.

Laut sebagai Rumah Bersama

Di akhir pertemuan, para pelaut muda NUS dan Unhas saling berjanji untuk tetap menjaga hubungan ini. “Seperti layar yang terkembang, pertemuan ini adalah awal dari perjalanan panjang,” kata seorang kru EPA.

Laut yang sama yang dulu dilayari orang Bugis kini kembali menyatukan generasi muda Asia Tenggara. Jika dahulu layar-layar putih terbentang untuk mengangkut rempah, hasil bumi, dan berita dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain, kini layar digital dan layar kapal terapung membawa misi yang berbeda.

Mereka tidak lagi menukar pala dengan kain, atau beras dengan garam, tetapi bertukar gagasan tentang kebudayaan, berbagi teknologi untuk menjaga kelestarian laut, dan menyalakan semangat kebersamaan lintas bangsa.

Di tangan mereka, laut menjadi ruang belajar bersama. Ia bukan lagi sekadar jalur perdagangan, melainkan laboratorium terbuka tempat anak muda Asia Tenggara merajut jejaring solidaritas. Dari geladak sandeq hingga ruang kelas NUS, laut yang sama kini mengikat generasi baru yang percaya bahwa masa depan kawasan ini harus dibangun dengan kerja sama, bukan persaingan.

Mereka hadir bukan sebagai pedagang atau penakluk, melainkan sebagai penjaga warisan dan perintis masa depan. Laut menjadi saksi peralihan itu, dari kapal kayu Bugis yang meninggalkan jejak di tanah Melayu hingga pertemuan pelaut muda yang membawa tekad untuk menjaga samudera agar tetap hidup bagi generasi berikutnya.

Ekspedisi ini bukan hanya tentang perjalanan dari Sulawesi menuju Phuket, melainkan juga tentang merenda kembali ikatan maritim yang berabad-abad telah menjadi nadi kawasan ini.

Setiap simpul layar yang dikencangkan, setiap tali yang ditarik, dan setiap arah angin yang dibaca, sesungguhnya adalah cara generasi kini menyulam kembali benang-benang sejarah yang dulu menghubungkan Sulawesi dengan tanah Melayu, Malaka, hingga pesisir Siam.

Perjalanan EPA menjadi pengingat bahwa Asia Tenggara bukan sekadar daratan yang dipisahkan laut, tetapi gugusan pulau yang disatukan oleh samudera. Lautlah yang memungkinkan terjadinya perjumpaan budaya, pertukaran pengetahuan, hingga terbentuknya jejaring ekonomi yang menopang peradaban.

Dengan melayarkan sandeq di jalur kuno yang pernah dilintasi nenek moyang, para pelaut muda Unhas seolah menegaskan bahwa warisan maritim itu masih hidup, bukan hanya catatan di arsip sejarah.

Di setiap pelabuhan yang mereka singgahi, EPA menorehkan makna baru: bahwa pelayaran bukan sekadar mengukur jarak, melainkan meneguhkan persaudaraan lintas batas. Jika dahulu layar terkembang membawa pala, cengkih, atau sutra, kini ia membawa idealisme anak muda yang percaya pada pentingnya kolaborasi regional, kelestarian laut, dan penghormatan pada tradisi.

Dengan begitu, ekspedisi ini adalah jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara Bugis yang dahulu menguasai ombak dengan generasi baru yang menyalakan kembali semangat itu dalam wujud akademis, kultural, dan ekologis.

Laut, sekali lagi, menunjukkan dirinya bukan sekadar ruang kosong di antara pulau, melainkan nadi kehidupan yang membuat Asia Tenggara tetap berdenyut sebagai satu kesatuan.

***

Di penghujung acara, seorang mahasiswa Singapura merogoh sakunya dan memperlihatkan sekeping koin. Di permukaan logam itu tergambar sebuah perahu palari, kapal tradisional Bugis-Makassar yang sejak ratusan tahun lalu menorehkan jejak di jalur maritim Asia Tenggara. Ia mengangkat koin itu sambil berbisik, seakan berbicara kepada sejarah:

"Ikatan kita bukan sekadar ombak yang lewat. Dari perahu Bugis yang dulu singgah di pesisir ini hingga layar yang kalian kembangkan malam ini, kita adalah satu cerita. Kini, giliran kita menulis bab baru."

Kalimat itu menutup malam dengan hening yang sarat makna. Laut, koin, dan layar yang terkembang seakan berpadu, mengingatkan semua orang bahwa persaudaraan maritim bukan hanya warisan masa lalu, melainkan juga janji untuk masa depan.