Indonesia: Api Kecil yang Membakar Dunia
Setahun silam, saya membeli buku Revolusi: Indonesia and the Birth of the Modern World di Periplus. Harganya cukup mahal, tetapi rasa penasaran mengalahkan keraguan. Bagaimana mungkin sebuah buku tentang Indonesia, ditulis oleh seorang penulis Belgia, justru menjadi salah satu karya sejarah yang cukup laris di Eropa?
Rasa ingin tahu itu membawa saya ke kasir, seolah ada dorongan batin untuk memiliki buku yang membuat banyak pembaca mancanegara tertarik pada sejarah bangsa.
Beberapa hari lalu, ketika versi terjemahannya terbit, saya membelinya lagi. Bukan semata karena ingin melengkapi koleksi, melainkan karena pesonanya belum selesai.
Membuka halaman-halamannya terasa seperti menelusuri lorong panjang sejarah yang lama berdebu. David Van Reybrouck, yang sebelumnya mengguncang dunia lewat Congo, kembali menunjukkan kepiawaiannya menulis sejarah dengan cara yang hidup dan manusiawi.
Dia tidak menjejalkan data, melainkan menenun kisah. Dia tidak sekadar mencatat tanggal dan nama besar, tetapi menghidupkan kembali suara-suara yang terlupakan. Jerit pemuda di Surabaya, langkah berat tentara sekutu di jalanan Jakarta, dan isak keluarga yang tercerabut dari kampungnya. Sejarah yang biasanya tampak kaku, di tangannya menjadi berdenyut dan memikat.
Kekuatan buku ini terletak pada narasinya yang renyah tanpa kehilangan kedalaman. Pembaca diajak menjelajah, menelusuri sudut-sudut sejarah, lalu memahami kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Setiap informasi terasa seperti potongan puzzle yang tampak terpisah, namun ketika digabung membentuk gambaran utuh tentang bagaimana bangsa ini lahir dan bagaimana dunia turut berubah karenanya.
![]() |
versi terjemahan |
Inilah karya sejarah yang tidak hanya menyajikan fakta, melainkan juga menyalakan kesadaran: bahwa memahami masa lalu bukan sekadar mengingat, tetapi menghidupkan kembali makna di dalamnya.
Buku ini mengubah cara pandang kita tentang sejarah nasional. Selama ini, sejarah Indonesia kerap ditulis dari sudut pandang lokal, terbatas pada heroisme di dalam batas wilayah, tanpa menengok bagaimana peristiwa di negeri ini berkelindan dengan pergolakan dunia. Revolusi memperluas cakrawala itu. Indonesia tidak lagi tampil sebagai catatan kaki dalam sejarah kolonial, melainkan sebagai pusat dari pusaran global.
Reybrouck menunjukkan bahwa Indonesia adalah negeri pertama yang merdeka setelah Perang Dunia II, sebuah titik api yang kemudian menjalar ke Asia, Afrika, dan dunia Arab. Gelombang dekolonisasi yang mengguncang abad ke-20 lahir dari percikan yang berasal dari tanah ini. Dari perjuangan para pemuda di Jakarta, Surabaya, hingga Bandung, inspirasi kemerdekaan menyebar, membakar imajinasi bangsa-bangsa lain untuk bangkit dan menuntut kebebasan.
Lalu datanglah Bandung tahun 1955. Konferensi Asia Afrika menjadi babak penting dalam sejarah dunia. Di kota itu, negara-negara yang baru lepas dari penjajahan berdiri sejajar, untuk pertama kalinya tanpa kehadiran Barat.
Indonesia yang baru sepuluh tahun merdeka tampil sebagai simbol bangsa yang tidak hanya membebaskan diri, tetapi juga mengajarkan dunia arti kedaulatan. Dari Bandung, gema kemerdekaan meluas, menantang hegemoni lama, dan membayangkan dunia yang lebih setara.
Namun seperti setiap revolusi, selalu ada sisi kelam yang mengintai. Reybrouck tidak menutupinya, bahkan menjadikannya bagian penting dari narasi. Ia menulis dengan kejujuran yang jarang ditemui dalam karya sejarah populer, bahwa kemerdekaan bukan hanya kisah tentang keberanian, melainkan juga tentang kehilangan.
Tentara yang gugur tanpa nama, perempuan yang menjadi korban kekerasan di tengah kekacauan, dan keluarga yang tercerai-berai di antara api perang. Semua itu menjadi bagian dari kisah besar yang membentuk Indonesia, meski sering kali disembunyikan di balik retorika heroik.
Di banyak halaman, Reybrouck menghadirkan potret kemanusiaan yang rapuh namun kuat. Ia menuliskan bagaimana rakyat biasa—yang tidak memegang senjata atau berorasi di mimbar—tetap menjadi bagian dari perjuangan.
Ada kisah seorang ibu yang kehilangan anaknya di tengah baku tembak, seorang gadis yang menunggu kekasihnya yang tak pernah kembali, atau petani yang tiba-tiba harus memilih antara bergabung dengan laskar atau melindungi ladangnya. Di tangan Reybrouck, mereka bukan sekadar latar, tetapi jiwa dari revolusi itu sendiri.
Reybrouck juga menyoroti kekerasan yang dilakukan bukan hanya oleh penjajah, tetapi juga oleh para pejuang yang kehilangan arah. Dalam suasana penuh euforia kemerdekaan, batas antara perjuangan dan pembalasan menjadi kabur. Ada momen ketika semangat merdeka berbalik menjadi amarah kolektif yang melahirkan kekejaman baru. Di sinilah keberanian penulis ini tampak, sebab ia menolak menyederhanakan sejarah menjadi pertarungan hitam putih.
Kemerdekaan, dalam pandangan Reybrouck, lahir dari paradoks, dari keindahan cita-cita dan kegelapan kenyataan. Setiap kemenangan selalu diiringi kehilangan, setiap teriakan merdeka meninggalkan gema duka. Luka-luka itu tidak pernah benar-benar hilang. Ia menempel di ingatan kolektif bangsa, membentuk cara kita memahami kemerdekaan itu sendiri.
Membaca bagian-bagian itu membuat saya sadar bahwa Revolusi bukan hanya tentang perjuangan melawan penjajah, tetapi juga tentang perjuangan manusia melawan sisi tergelap dirinya. Sebuah pengingat bahwa revolusi tidak hanya melahirkan kebebasan, tetapi juga meninggalkan jejak luka yang harus diingat agar kemerdekaan tidak kehilangan maknanya.
Membaca buku ini, saya merenung betapa mudah kita melupakan harga dari sebuah proklamasi. Setiap tahun kita merayakan kemerdekaan dengan upacara, bendera, dan lagu kebangsaan. Namun jarang kita berhenti sejenak untuk menyadari bahwa di balik ritual itu ada lautan darah dan air mata yang mengalir. Bahwa kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil keberanian yang nyaris mustahil.
Yang lebih penting lagi, Revolusi mengingatkan bahwa perjuangan Indonesia tidak berdiri sendiri. Dari rumah sederhana di Jakarta hingga forum besar di Bandung, perjuangan bangsa ini mengubah lanskap sejarah dunia. Indonesia pernah menjadi pusat imajinasi global tentang kebebasan.
Pertanyaannya kini, apakah kita masih setia pada warisan itu? Ataukah kemerdekaan telah kehilangan nyalanya, berubah menjadi rutinitas yang hambar? Sejarah selalu memberi isyarat bahwa bangsa yang lupa pada asalnya perlahan kehilangan arah.
Reybrouck menulis agar kita membaca ulang diri sendiri. Bukan sekadar untuk bernostalgia, melainkan untuk memahami bahwa kebebasan, betapapun rapuh dan penuh luka, tetap menjadi nyala yang harus dijaga.
Karena di sanalah letak makna terdalam dari sebuah revolusi, bukan pada kemenangan di masa lalu, tetapi pada kesetiaan untuk terus menyalakan api di masa kini.