Mozaik Dunia Kleptokrat: Dari Whitehall ke Harare, Dari Moskow ke Jakarta
Di sebuah flat sederhana di Kensington, seorang lelaki berusia hampir 60 tahun duduk dengan setumpuk kliping koran dan buku ekonomi di sekelilingnya. Namanya Nigel Wilkins. Ia bukan banker glamor berjas rapi dan mobil mewah, melainkan seorang pegawai kepatuhan di kantor cabang bank Swiss.
Dari balik kacamata tuanya, ia melihat sesuatu yang orang lain lewatkan: jejak penipuan raksasa, yang kelak ia catat dalam buku harian tuanya sebagai “penipuan terbesar di dunia.”
Di situlah Tom Burgis membuka Kleptopia: How Dirty Money is Conquering the World (2020). Bukan sekadar kisah kriminal finansial, melainkan panorama global tentang bagaimana uang kotor, hasil rampasan, korupsi, hingga perang, berubah rupa menjadi kekuasaan yang sah.
Buku ini menyingkap transformasi Kazakhstan setelah runtuhnya Uni Soviet. Nursultan Nazarbayev, mantan bos Partai Komunis yang berubah menjadi presiden kapitalis, menguasai kekayaan alam negeri luas itu: minyak, uranium, tembaga, hingga kromium.
Di sekelilingnya lahir “Trio” oligark Asia Tengah: Alexander Machkevitch, Patokh Chodiev, dan Alijan Ibragimov. Mereka menguasai hampir 40 persen ekonomi Kazakhstan. Caranya sederhana: jadikan sumber daya negara sebagai milik pribadi, lalu cuci legitimasi lewat pasar global.
London menjadi panggung utama. Bursa Efek London menerima saham Eurasian Natural Resources Corporation (ENRC), perusahaan milik Trio, seakan-akan mereka adalah pebisnis bersih. Padahal, jejak mereka di Eropa tengah diselidiki karena dugaan suap dan pencucian uang. Burgis menggambarkan pesta di Banqueting House, Whitehall.
Musik kuartet dari Kazakhstan mengalun, perak berkilau, dan gelas anggur terisi. Di luar, rakyat Inggris sedang membayar krisis perbankan dengan pajak yang melonjak. Di dalam, uang rampasan Asia Tengah disulap menjadi aset sah.
Kisah berlanjut ke Afrika. Di Zimbabwe, Billy Rautenbach, pengusaha sekaligus penyokong rezim Robert Mugabe, memperlihatkan bagaimana tambang dan kekuasaan menjadi alat barter. Di Kongo, Dan Gertler, taipan Israel, mengamankan kontrak tambang melalui kedekatan dengan Presiden Joseph Kabila.
Di Amerika, nama Felix Sater muncul. Penipu ulung keturunan Rusia ini pernah menjadi mata-mata sekaligus penghubung dunia properti mewah New York dengan jaringan uang gelap. Bahkan Donald Trump sempat bersinggungan dalam proyek properti yang melibatkan bayangan mafia Rusia.
Dan di Moskow, ada Semyon Mogilevich, si “Brainy Don.” Keahliannya bukan sekadar mengeruk uang dari kejahatan, melainkan menyulapnya hingga tampak bersih. Ia tahu bagaimana mengalirkan dolar kotor melewati bank-bank internasional hingga menjelma menjadi investasi yang diterima di bursa global.
Hal paling mencolok dari Kleptopia adalah bagaimana pusat-pusat finansial dunia justru menjadi pelindung utama uang kotor. London, New York, Paris, alih-alih menolak, mereka justru menyiapkan karpet merah.
Firma hukum papan atas, bank investasi, hingga auditor global tak keberatan menyewakan kredibilitasnya. Asalkan ada bayaran. Di ruang rapat Canary Wharf, keadilan bisa dinegosiasi. Demokrasi berjalan di permukaan, sementara di bawahnya, uang kotor menentukan arah kebijakan.
Di bagian akhir, Burgis menutup dengan bab berjudul Normal Business. Istilah itu seolah menegaskan: apa yang tampak sebagai bisnis biasa sesungguhnya adalah sistem global pencucian uang yang melibatkan negara, korporasi, dan mafia sekaligus.
Burgis menulis dengan gaya reportase yang mendebarkan, seolah-olah pembaca sedang menyimak novel thriller. Hanya saja, semua tokoh dan peristiwa nyata. Dari Nigel Wilkins yang sendirian melawan bank, hingga Nazarbayev yang membangun dinasti dengan uang tambang.
Dari pesta oligark di Whitehall, hingga sel penjara Lefortovo di Moskow. “Setiap orang hidup di balik rahasia,” tulis Anton Chekhov dalam epigraf buku ini. Burgis mengajak kita mengintip rahasia itu: bahwa dunia modern bukan sekadar dipimpin politisi atau teknokrat, melainkan oleh jaringan kleptokrat lintas batas.
Kleptopia adalah alarm. Bahwa sistem demokrasi, hukum, dan pasar global bisa dibeli. Dan rakyat, di London, Harare, Moskow, atau Jakarta, pada akhirnya hanya penonton di “pesta” para kleptokrat. Alarm itu berdentang keras karena apa yang kita sebut demokrasi ternyata rapuh di hadapan uang gelap.
Pemilu bisa berjalan, kotak suara bisa dihitung, parlemen bisa bersidang, tetapi hasil akhirnya kerap ditentukan oleh siapa yang memiliki akses ke sumber dana tak terbatas. Uang kotor yang sudah diputihkan menjadi dana kampanye, lobi politik, bahkan dana bantuan sosial yang disalurkan saat krisis.
Hukum pun tak lagi netral. Firma hukum ternama di London dan New York, auditor kelas dunia, hingga pengacara di Brussels, semuanya bisa disewa untuk membela kepentingan orang-orang yang semestinya duduk di kursi terdakwa. Kasus korupsi bisa disulap menjadi perkara administratif, suap miliaran dolar bisa dikaburkan lewat bahasa kontrak, dan perjanjian gelap bisa ditulis ulang menjadi dokumen resmi.
Pasar global, yang oleh banyak orang dipuja sebagai ruang persaingan bebas, justru menjadi panggung teraman bagi kleptokrat. Saham-saham perusahaan tambang yang dibangun dari kekerasan di Afrika bisa melantai di Bursa Efek London.
Obligasi yang dibungkus jargon pembangunan bisa dijual ke investor pensiun di Eropa. Dengan begitu, uang rakyat Zimbabwe, Kazakhstan, atau Kongo, berputar menjadi dividen di rekening warga negara Barat yang tidak pernah tahu sumber aslinya.
Dan rakyat? Mereka seperti penonton yang berdiri di luar jendela, melihat cahaya pesta di dalam. Mereka yang antre beras di Jakarta, yang kehilangan rumah karena hipotek di London, yang digilas inflasi di Harare, atau yang terjebak konflik bersenjata di Donbas, hanya bisa menyaksikan bagaimana segelintir orang membagi kue dunia. Ironisnya, pesta itu sering kali berlangsung menggunakan uang yang semestinya milik mereka.
Membaca Kleptopia juga mengingatkan pada Autocracy, Inc. (2024) karya Anne Applebaum. Jika Burgis menunjukkan bagaimana uang kotor menaklukkan sistem keuangan global, Applebaum menyingkap bagaimana jaringan rezim otoriter saling menopang demi mempertahankan kekuasaan.
Mereka bukan lagi sekadar individu kleptokrat, melainkan korporasi politik lintas batas yang berkolaborasi dalam propaganda, teknologi, dan aliran dana gelap. Dua buku ini, meski berbeda fokus, saling melengkapi: satu membongkar bagaimana kapital kotor mencari legitimasi, yang lain menyingkap bagaimana otoritarianisme global menjadikannya fondasi untuk menundukkan demokrasi.
Burgis menyusunnya seperti potongan mozaik global: dari ruang bawah tanah bank di Swiss hingga gedung pemerintahan di Moskow, dari pesta mewah oligark di Whitehall hingga tambang berlumpur di Kongo. Potongan itu, ketika disatukan, menunjukkan satu wajah: wajah dunia yang telah dibeli.