Indahnya Bahasa Sasak di Bandara Lombok
pura kecil di Batu Layar, Lombok |
BANDAR udara di tanah air kita seringkali
menjadi wilayah yang asing. Jauh lebih sering kita mendengarkan pengumuman
dalam bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Sedang bahasa lokal seolah
menjadi bahasa yang nyaris tak pernah terdengar. Mungkin kita mengangapnya
tidak keren, tidak modern, atau barangkali ada rasa minder yang merayap di hati
kita. Namun di Bandara Internasional Lombok, bahasa Sasak justru menjadi bahasa
pertama yang disampaikan saat memberikan pengumuman. Keren khan?
Tadinya, aku terkejut ketika mendengar
pengumuman itu. Aku tengah menanti kedatangan rombongan lain dalam kegiatan
yang diselenggarakan Destructive Fishing Watch (DFW) di Lombok, Nusa Tenggara
Barat (NTB). Pengumuman itu membuatku bingung. Seorang teman lalu
menginformasikan kalau bahasa yang kudengarkan itu adalah bahasa Sasak.
Untungnya, setelah pengumuman dalam bahasa Sasak, langsung disambung dengan
pengumuman dalam bahasa Indonesia dan bahas Inggris.
Pengumuman itu membuatku tertegun. Kita
punya sedemikian banyak kekayaan bahasa dan tradisi. Namun seringkali kita
tidak percaya diri untuk menampilkan bahasa lokal di bandara. Dalam
perjalananku ke banyak tepat di Indonesia timur, termasuk bandara-bandara
kecil, bahasa lokal sangat jarang kudengar. Ada banyak orang yang justru tak
seberapa lancar berbahasa Indonesia. Yang juga aneh adalah mengapa bahasa
Ingris digunakan di semua bandara? Padahal, tak selalu ada turis asing di
bandara, khususnya bandara-bandara kecil. Anehnya, kita tetap memaksakan bahasa
itu sebagai bahasa resmi di bandara.
Lantas, mengapa Lombok yang notabene
adalah bandara internasional justru megdepankan bahasa lokal? “Bahasa kan alat komunikasi. Meskipun di
sini banyak bule, banyak juga warga lokal yang tak paham bahasa Inggris, dan
hanya bisa memahami bahasa lokal,” kata Zaenuddin Mansyur, seorang sahabat
di Lombok, memberikan penjelasan. Penjelasannya kusetujui seribu persen. Bahasa
memang harus dikembalikan pada fitrahnya sebagai alat komunikasi, bukan sebagai
alat untuk meningkatkan status sosial, bukan sebagai sesuatu yang identik
dengan citra modern atau kesan keren.
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa
lokal bisa memotivasi orang-orang untuk selalu menggunakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Laporan dari Pusat Bahasa menyebutkan bahwa setiap hari, ada satu
bahasa lokal yang punah di tanah air kita. Mengapa? Sebab bahasa itu tidak
pernah lagi digunakan. Pemerintah kita tak punya strategi untuk menyelamatkan
bahasa, serta memberikan ruang revitalisasi bahasa itu dalam segala aspek
kehidupan.
pasir putih di Gili Nanggu |
Pantai Senggigi di suatu sore |
Aku membayangkan di semua bandara, bahasa
lokal mesti mendapat tempat prioritas. Jika bahasa merupakan gerbang sebagai
etalase untuk mengenal satu suku bangsa, maka seyogyanya dia diberi tempat yang
sejajar dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Aku punya impian sendiri
tentang bahasa lokal. Suatu saat, ketika memasuki Yogyakarta, aku berharap
mendengar bahasa Jawa, ketika memasuki Samarinda, aku berharap mendengar bahasa
Dayak, ketika memasuki Makassar aku berharap mendengar bahasa Makassar,
demikian pula ketika memasuki Papua, aku berharap mendengar bahasa Papua.
Itulah impian yang kucatat ketika memasuki
Lombok. Sayangnya, keindahan bahasa Sasak itu hanya terdengar di Bandara
Internasional Lombok. Ketika memasuki kawasan Senggigi, bahasa yang paling
sering kudengaran adalah bahasa Inggris, Perancis, ataupun Jepang. Kawasan ini
telah lama bersalinrupa menjadi kawasan internasional. Turis-turis berseliweran
di jalan-jalan besar.
Di saat aku turun dari mobil, aku mendengar
debur ombak di satu arah. Dari sela-sela pohon kelapa, aku menyaksikan Pantai
Senggigi yang laut birunya amat indah. Oh my God! Aku serasa melihat surga.