Setiap kali tiba di kampung halaman, saya selalu mencari kuliner parende. Ikannya selalu segar. Apalagi dinikmati di tepi laut sembari merasakan angin sepoi-sepoi, dan melihat anak-anak bermain di laut sana.
Di warung kecil ini, semua orang datang dan pergi. Sejam di warung ini, saya menyimak apa saja yang dibahas. Yang menarik, pembicaraan paling hangat adalah soal pilkada. Saya terkesima. Dari Kendari hingga Baubau, semua membahas hal yang sama.
Orang-orang tak membahas seperti apa wajah daerah di masa depan. Orang-orang membahas siapa calon gubernur dan calon bupati terkaya. Semua membahas pundi-pundi. Semua membahas timbunan uang dari para calon kepala daerah.
Semua bermula dari dibukanya banyak tambang. Bersamaan dengan itu, banyak orang kaya bermunculan, dengan memakai mobil-mobil mewah dalam kota. Para kepala daerah ketiban rezeki karena menerima setoran, bahkan mengatur para pemain tambang.
Duit tambang telah membutakan mata banyak orang. Semua lupa pada daya dukung ekologis yang kian parah. Pertanian dan perkebunan ditinggal petaninya karena lahannya diperjualbelikan sebagai konsesi tambang.
Para calon kepala daerah adalah para pemain tambang. Semua membungkus aktivitasnya dengan kebaikan-kebaikan. Disebutnya telah memberangkatkan banyak orang untuk umroh. Disebutnya telah memberi banyak beasiswa.
Dia lupa betapa banyak biaya sosial yang mesti ditanggung warga karena hilir mudik truk dan kapal2 tongkang yang menggaruk bumi Sulawesi.
Calon kepala daerah lain mengangkat isu pribumi. Disebutnya orang lain sebagai pendatang yang hendak mengeruk bumi Sultra. Tapi, rekam jejaknya adalah penambang, yang juga mengeruk bumi, demi membuka jalan untuk keluarganya di berbagai arena pilkada.
Kandidat lain juga setali tiga uang. Semua menyebut punya tambang, dan menjadikannya bargaining saat jumpa elite partai di Jakarta.
Di Kendari, susah mencari kamar di berbagai hotel. Di depan hotel, ada banyak mobil-mobil double gardan parkir. Bahkan rumah-rumah karaoke penuh dengan orang yang lagi banjir duit tambang.
Di sini, di kota Baubau, tak jauh dari patung pahlawan nasional Oputa yi Koo, saya menyimak percakapan di warung makan. Ada rasa sedih dan miris membayangkan daerah ini di masa depan. Mereka yang mengeruk bumi akan membawa mentalitas yang sama saat menjabat. Sayangnya, kita lupa dan alpa, malah larut dengan saweran saat jumpa calon kepala daerah.
"Ode, ini parende kepala ikan. Silakan dinikmati," kata ibu itu saat mengantarkan pesanan. Saya menatap kepala ikan ini. Tetiba teringat riset di Jepang tentang ikan-ikan yang terkontaminasi buangan galian tambang. Tapi, saya lebih memilih mendengar suara perut yang sudah tak sabar.
Sembari mengunyah, saya menggumam, "Mambaka."
0 komentar:
Posting Komentar