Bisnis Media


Beberapa hari lalu, saya menerima audiensi dari stasiun televisi CNN Indonesia. Mereka datang dengan formasi lengkap. Ada Managing Editor atau Redaktur Pelaksana, Manager Marketing, dan seorang marketing cantik yang tatapannya -entah kenapa- bikin saya deg-degan.

Mereka presentasi tentang aset digital dan keunggulan medianya. Mereka berharap kami bisa saling berjejaring, dan siapa tahu ada hal yang bisa dikerjasamakan. Mereka pikir saya punya relasi bagus dengan politisi, juga sedang ‘memegang’ calon presiden. Padahal aslinya sih cuma pelatih kucing.

Saya menggunakan momen ini untuk belajar banyak dari mereka, khususnya mengenai media siber. Kata mereka, media-media siber punya dua jenis pendapatan. 

Pertama, dari iklan programatik. Media biasanya punya talenta digital yang mumpuni untuk memonetasi konten, melakukan bidding, menemukan ceruk pasar, dan mencari cuan di ekosistem digital. Mereka mengubah traffic, melakukan pertukaran leverage di antara sub domain, dan berbagi pendapatan di ruang digital.

Kedua, pendapatan door to door ke pemerintahan. Tim pemasar membangun link dengan pemerintahan, mulai dari kementerian, lembaga, badan, polisi, hingga TNI. Mereka mengincar proyek jangka panjang yang bisa menjaga napas media. Biasanya sih proyek penunjukkan langsung.

Kata mereka, hampir semua media-media besar di Jakarta hidup dari jaringan dengan kementerian dan lembaga pemerintah. Kue iklan programatik makin berkurang karena penetrasi platform digital seperti Google dan Facebook yang kian massif. 

Media-media berusaha untuk mengurangi ketergantungan pada platform digital. Sebab dalam mata rantai digital, media tak punya kuasa. Media tunduk pada pemilik platform. Jangan salahkan media yang clickbait, sebab itu tuntutan platform digital. 

Platform digital jadi semacam middle man atau perantara, bisa juga disebut calo, yang memasarkan berita media ke para netizen. Nah, media-media tidak punya akses untuk mengetahui bagaimana cara kerja platform digital dalam distribusi konten. Media hanya terima laporan, yang entah sejauh mana akurasinya masih diperdebatkan.

Upaya membangun jejaring dengan kementerian dan berbagai lembaga ini tidak mudah. Kalau Anda bukan media yang sangat terkenal, Anda harus punya orang dalam. Minimal orang yang bisa menghubungkan dengan berbagai pengambil kebijakan. Anda juga harus punya portofolio yang menunjukkan keahlian serta produk-produk apa yang bisa dijual.

Strategi marketing juga terus berkembang. Sebab yang dijual bukan lagi iklan baris. Biasanya, tim marketing melakukan audiens, lalu menyerap apa yang diinginkan calon klien, setelah itu mulai merancang proposal bisnis. Jadi bukan datang menawarkan sesuatu, tapi berdiskusi mendalam demi menemukan apa yang diharapkan klien.

Pantasan, tim CNN yang saya hadapi ini punya kecerdasan di atas rata-rata. Harus punya visi kuat dan tahu apa yang dibutuhkan klien. Tak sekadar cantik, tapi juga paham trend dan berbagai isu sehingga diskusi bisa mengalir. Di situ, mereka mencari titik temu untuk menawarkan peluang bisnis.

Media-media seperti Kompas Gramedia berinvestasi besar pada sumber daya manusia. Bagi Kompas, SDM adalah aset penting. Pasukan media harus smart sebab yang dijual adalah gagasan. 

“Gimana Bang? Apa kita bisa deal?” tanya salah seorang dari tim CNN di hadapan saya.

“Hmm. Gimana yaa?” jawabku.

Tiba-tiba marketing cantik itu merespon,” Kalau kita deal, saya akan sering ke sini untuk diskusi dengan Abang. Kita juga bisa ketemu di kafe atau tempat lain,” katanya sembari menatap lurus.

OMyGod. Saya tidak kuat dengan tatapan itu. Sepertinya saya hampir masuk perangkap.


1 komentar:

Profesor Ndeso mengatakan...

Ahaa...mana tahan kl diplomatnya cewek..sepertinya CNN sudah mendalami cara membuat Bang Yus gak bisa menolak.

Posting Komentar