Bisa bersama ibu adalah kemewahan
tertinggi. Bahagianya jauh melebihi
apapun.
Dalam diamnya, seorang ibu punya kekuatan
yang selalu bikin anaknya tak bisa berkata-kata. Dia adalah monumen dari rasa
kasih dan sayang yang tak berkesudahan. Dia sungai mengalir yang tak pernah
mengenal kata kering.
Tubuhnya kian renta, tapi saat anaknya
datang, dia akan kembali perkasa. Dia kembali jadi induk ayam yang merentang
sayapnya untuk melindungi anaknya dari elang.
Dia akan sekuat dahulu saat memeluk anaknya
demi menghalau semua raksasa, setan, kanjoli, onicu, dan rasa takut.
Dia kumpulkan seluruh energinya hanya untuk
memyambut anaknya, sembari bertanya, “sudah makan? Saya bikinkan parende yaa.?’
Anaknya yang lebih banyak abai dan durhaka
itu hanya bisa mematung. Tak kuat melihat rasa kasih dan pengabdian sehebat
itu. Sayup-sayup, dua bait puisi dari penyair Zawawi Imron menyelusup dalam
sadar.
“Kalau aku merantau
lalu datang musim
kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur
bersama reranting
hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap
lancar mengalir”
bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan
sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
0 komentar:
Posting Komentar