Jose Benu |
“Waktu rusuh, saya lari cari selamat, terus menyeberang ke sini,” kata pria itu dengan mata menerawang. Saya menemuinya di dekat perbatasan Indonesia – Timor Leste di Desa Napan, Kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, beberapa waktu lalu.
Namanya Jose Benu. Sehari-harinya dia bekerja sebagai petani sayuran di dekat embung yang dibangun pemerintah Indonesia. Dia hanya memakan apa yang ditanam dan apa yang dipetik. Sebagian tanamannya dijual.
Tadinya dia warga Timor Leste. Tapi dia memilih ke sisi Indonesia. Baginya, batas-batas negara terlalu samar. Yang dia tahu, semua orang di wilayah itu bersaudara. Mereka satu budaya, satu adat, satu bahasa. Kenapa pula ada yang namanya batas?
Dia jarang mengenang apa yang terjadi di tahun 1999. Namun jika ditanya, dia berhati-hati untuk bercerita. Dia butuh waktu sejenak untuk mengenang kerusuhan dan amarah yang memenuhi udara. Dia melihat kekerasan saat sejumlah sesama manusia saling tempur, saling mencari kata menang.
Dia kehilangan banyak hal. Tapi dia tak ingin tenggelam dalam sedih. Dia sudah lama move on. Dia merajut kenangan baru. Kehidupan harus terus bergerak. Dia menanam sembari melupakan. Dia mulai episode baru dalam kehidupannya.
Mulanya dia bekerja serabutan. Suatu hari, pria yang mulutnya selalu merah karena mengunyah sirih ini melihat tanah kosong di dekat embung. Dia memberanikan diri untuk menemui pemilik tanah yakni Edmundo Lase.
Dia diizinkan untuk mengelola tanah kosong itu. Dia mengajak rekan-rekannya yang bergabung dalam kelompok tani Tafe’u untuk mengelolanya.
Dia menjelaskan makna Tafe’u dalam bahasa Dawan, bahasa yang dipakai semua warga Napan serta warga desa di wilayah Timor Leste. Tafe’u bermakna selalu memperbarui. Apa yang diperbarui? “Semua hal bisa diperbaharui. Termasuk anggota kelompok tani itu,” katanya.
Maknanya sangat filosofis. Saya ingat filsuf Heraclitus yang menyebut penta rei, yakni segala hal dalam hidup ini selalu berubah. Yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Kehidupan ini selalu bergerak.
Kini, di desa itu, terbentang satu garis batas yang memisah kita dan mereka. Di satu ruas jalan umum, garis itu jadi penanda dari dua pos jaga. Sebelah sini adalah wilayah Indonesia, sebelah sana adalah wilayah Timor Leste.
Bagi penduduk seperti Jose Benu, garis batas itu membingungkan. Garis itu membelah desa-desa di mana warganya serumpun, berbahasa daerah yang sama, serta saling berinteraksi. Garis itu membelah mereka jadi dua negeri terpisah, padahal mereka sejatinya satu.
“Saya sering ke sebelah untuk lihat kebun,” katanya. Dia dan warga Napan lain sering melintas batas. Bukan melalui pos yang dijaga militer kedua negara, tetapi melalui banyak “jalan tikus” yang membelah dua wilayah itu.
bunga-bunga yang mekar di perbatasan |
Sejarah memang terlanjur mencatat. Tepat pada 30 Agustus 1999 lalu, 22 tahun silam, rakyat Timor Leste telah menentukan pilihan. Di tanggal itu, pada masa pemerintahan BJ Habibie, hasil referendum untuk penentuan nasib diumumkan. Timor Leste, yang tadinya bernama Timor Timur, resmi keluar dari NKRI dan berdiri menjadi negara baru.
Bagi mereka yang menghargai kemanusiaan, maka berdirinya negeri itu adalah musim semi kebebasan. Sekian tahun didera konflik bersenjata yang menewaskan banyak rakyat tak berdosa, negeri kecil itu bisa hidup dalam damai. Bunga-bunga harapan bermekaran.
Namun mereka yang melihat “NKRI is dead price” atau NKRI harga mati, hingga kini masih memendam perih. Masih saja menganggap wilayah itu adalah tanah warisan nenek moyangnya sehingga pantang untuk dilepaskan.
Mereka lupa kalau apa yang disebut nasionalisme itu lahir dari proses membayang-bayangkan sesuatu yang berbeda lalu bergabung. Nasionalisme hasil dari kerja pikiran, yang suka menghubungkan, sementara di lapangan, belum tentu demikian.
Kini sekian tahun berlalu, suara-suara sumbang itu masih terdengar. Seseorang kawan dari Jakarta yang pernah mengunjungi perbatasan hingga ke desa-desa di Timor Leste melihat pemandangan kontras. Dia melihat desa-desa di Timor Leste tampak kering dan meranggas seolah tak ada harapan.
Sementara desa-desa di wilayah Indonesia dilihatnya kian semarak berkat dana desa, program desa broadband, hingga pembangunan bendungan. Desa di Indonesia tampak mulai sejahtera, sementara di sebelahnya tampak jauh dari kata sejahtera. Kemerdekaan itu belum bisa membawa kesejahteraan. “Harusnya mereka tak perlu merdeka,” kata kawan itu.
Tapi saya justru berpandangan lain. Saya ingat pendapat dari Amartya Sen mengenai “Development as freedom.” Tak ada pembangunan jika tak ada kebebasan. Apalah arti pembangunan berbagai infrastruktur jika kebebasan warganya diabaikan. Apa arti pembangunan, jika setiap saat rakyat dalam cekaman ketakutan. Apa arti kesejahteraan jika setiap saat ada desingan peluru dan suara-suara bom yang menggelegar.
Sekian tahun Indonesia di sana, memang banyak hal dibangun, tetapi banyak hal pula yang hilang. Di antaranya adalah kebebasan. Maka, kemerdekaan menjadi proses untuk membebaskan diri dari semua tekanan, penindasan, hingga dari semua rasa takut. Kemerdekaan adalah awal untuk mulai menanam harapan, memupuknya dengan semua kecintaan pada bangsa, lalu menghadirkan kesejahteraan di hati semua orang.
Antonius Anton |
Setelah puluhan tahun berlalu, Timor memang belum sejahtera. Negeri itu masih harus bergulat dengan banyak persoalan internal sebagai bangsa baru. Tapi berjalan-jalan di wilayah itu, ada senyum yang mekar di mana-mana. Mereka menikmati buah manis kemerdekaan yakni bebas dari rasa takut. Warga dua negara bebas saling melintasi, malah ada yang memanfaatkannya untuk bisnis.
“Ah, itu hanya garis. Kita bisa lewat kapan saja untuk bisnis,” kata Antonius Anton yang saya temui di kantor lembaga swadaya masyarakat. Anton adalah tipe pebisnis yang bisa menjual apa saja.
Dia membuat minuman yakni anggur jahe dan anggur kulit pisang yang laris manis di Timor Dia juga membuat kripik labu, sambal, permen asam, hingga berbagai jenis jamu.
“Di antara semuanya, yang paling laris adalah anggur kulit pisang dan anggur jahe. Setelah itu, minyak kemiri, permen asam, jamu temu lawak. Pelanggan saya tersebar hingga Timor Leste. Kalau di Timor Leste, anggur ini dijual sampai 2 dolar 50 sen. Kalau ditukar dengan rupiah, maka bisa dapat 35 ribu rupiah,” katanya.
Mata uang yang dipakai di Timor Leste adalah dolar Amerika Serikat. Makanya harga-harga menjadi lebih mahal dibandingkan desa-desa perbatasan di Indonesia. Pantas saja banyak penyelundupan terjadi. Harga BBM di Timor Leste adalah 3 dolar atau sekitar 35.000 rupiah, sementara di Indonesia harganya sedikit di atas 10 ribu rupiah.
Bertemu Anton, juga Jose Benu menjadi pengalaman berharga buat saya. Politik bisa membuat kita saling membangun garis batas dengan orang lain. Tapi di ranah budaya, kita selalu mencari kesesamaan. Di ranah bisnis, kita selalu mencari celah dan keuntungan. Di ranah kemanusiaan, kita adalah satu.
Hari ini, 30 Agustus 2021, tepat 22 tahun sejak peristiwa referendum dan munculnya garis batas di dua negara. Banyak hal telah berubah, khususnya di perbatasan. Namun, ikatan persaudaraan dan persahabatan itu tak akan pernah tersaput angin. Kita akan memupuknya dengan penuh cinta.
0 komentar:
Posting Komentar