Dunia Game


Di suatu siang yang terik, di satu gedung tinggi di kawasan SCBD, saya diajak ketemuan oleh sejumlah anak muda. Usia mereka masih belasan tahun hingga awal dua puluhan. Mereka memperkenalkan profesinya yakni Gamer. Hah?

Selama ini saya pikir game hanya untuk main-main. Rupanya, ada sejumlah orang yang berkecimpung di dunia game, lalu mendapatkan penghasilan yang cukup besar. Bahkan lebih besar dari honor yang saya terima sebagai pelatih kucing.

Seorang di antara mereka menunjukkan apa yang dibuatnya. Dia membuka laptop lalu menunjukkan desain animasi yang dibuat. Saya melihat ada gambar kapal serta di dalamnya ada orang-orang berbaju ala prajurit Jawa masa lalu, lengkap dengan tameng dan keris. Rupanya, anak muda itu adalah game developer.

Dia tahu kalau saya lama belajar antropologi. Dia minta masukan tentang jenis-jenis kapal, keris, hingga pakaian. Dia juga minta bantuan saya untuk membuatkan cerita menarik di permainan itu sehingga setiap pemain game punya misi yang harus dikejar. Saya menyanggupi.

Anak muda lainnya mengaku sebagai game tester. Ceritanya, ketika ada produk game yang diluncurkan, baik di dalam maupun luar negeri, dia akan menjadi pihak yang diminta mencoba permainan itu. Untuk aksi-aksinya, dia dibayar pakai dollar. Wow.

Ada juga yang menjadi anggota tim e-sport. Dia dibayar profesional oleh tim yang merekrutnya. Saya malah baru tahu kalau dunia e-sport itu seperti kompetisi sepakbola, di mana ada klub yang merekrut banyak pemain, setelah itu rutin latihan, lalu tampil dalam kejuaraan. Ini benar-benar dunia baru buat saya yang hanya jago memainkan game ular di HP jenis Nokia.

Anak paling muda di situ tersenyum-senyum saat ditanya apa yang dia lakukan di dunia game. Dia menjadi joki karakter. Misalnya, ada pemain game yang ingin mengubah karakter petani jadi prajurit, dia bisa bantu dengan cara menjadi joki. Setelah dia main, skill petani dengan cepat bisa di-upgrade. Sesekali dia jual poin atau mata uang yang berlaku di game.

Lainnya mejadi kreator konten. Mereka bermain game, merekam permainan itu, lalu membagikannya di platform Yutub. Follower-nya banyak. Mereka mencetak banyak cuan. Saya langsung ingat anak saya yang rutin mengikuti kanal Obit, si anjing, yang selalu me-review game terbaru. Jangan-jangan, salah satu dari mereka adalah Obit si Anjing.

Saya lihat mereka nampak sukses dan kaya. Mereka memakai gadget terbaru, juga sepatu mahal. Dunia game menjadi profesi yang cukup mapan bagi anak muda usia belasan tahun. 

Tentu saja, saya tak ingin menghakimi apa yang mereka lakukan dengan cara pandang generasi ala baby boomer. Malah saya kagum sama mereka. Dahulu, Mark Zuckerberg adalah seorang game developer yang mengunduh bank data semua cewek se-Harvard, lalu memasukkan foto-foto cewek itu ke aplikasi Facemash dan meminta mahasiswa lain untuk memvoting siapa paling cantik. 

Saya ingat Don Tapscott dalam buku Grown Up Digital, tentang lahirnya NetGen yang mengenal internet sejak kecil, menggunakan teknologi untuk menjadi lebih cerdas dibanding orangtuanya.

Kata Tapscott, generasi ini cepat merespon berbagai informasi yang masuk dengan cara-cara yang unik. Mereka berpikir dan mengolah informasi dengan cara berbeda. Mereka mengolah wawasan-wawasan baru, yang lalu membawa banyak implikasi pada sistem pendidikan, iklim bisnis, serta bagaimana mempengaruhi kebijakan. 

Tapscott memberi contoh tentang anak-anak muda Amerika yang rata-rata paham sejarah dan mitologi gara-gara main game. Ada juga hasil riset yang menyebutkan para pemain game jauh lebih cepat merespon informasi visual di pikirannya, ketimbang mereka yang tidak bermain game.  Para pemain game jauh lebih banyak melihat berbagai target seperti bujur sangkar, lingkaran, wajik, limas, kerucut, yang ditampilkan di layar komputer. 

Riset ini menunjukkan, kemampuan mengolah data-data visual sangat berpengaruh pada keterampilan spasial, kemampuan memanipulasi obyek 3-D secara mental, yang sangat berguna bagi para arsitek atau perancang bangunan, dokter, pemahat, insinyur, pekerja desain interior, fashion designer, pembuat animasi dan kartun, para seniman, hingga para ahli matematika. 

Saya pun teringat guru saya, Profesor Vilbert Cambridge, yang bercerita bagaimana game menjadi tools yang sangat penting untuk kampanye hidup sehat di Afrika. “Game itu bisa jadi sarana edukatif. Makanya kita harus bikin banyak game untuk melatih anak-anak kita,” katanya.

Yang saya pikirkan, bagaimana anak-anak ini menjelaskan profesinya kepada orang tuanya. Di kampung saya, yang namanya profesi, kalau bukan polisi, tentara, dokter, pe en es, yaa pedagang. Saya bayangkan respon keluarga di kampung saat saya beritahu profesi saya sebagai gamer. "Apa ko bikin? Main-main ji? Lebih baik ko pulang."

Hmm. Dunia memang terus berubah.


0 komentar:

Posting Komentar