Buku yang Saya Sukai di Tahun 2020


Tahun 2020 akan segera berlalu. Setahun silam, saya banyak membeli dan menumpuk buku lalu menunda waktu untuk membacanya. Orang Jepang menyebutnya Tsundoku. Orang barat menyebutnya bibliomania. Tahun ini, saya merasa cukup produktif. 

Sejak pandemi, praktis, waktu saya lebih banyak di rumah. Saya mengisi waktu dengan menonton sebanyak mungkin film baru. Saya berlangganan Netflix, Disney Hotstar, Vidio, juga sangat rajin menonton channel NatGeo.

Saya pun menyempatkan banyak waktu untuk membaca di sela-sela mengerjakan beberapa pekerjaan. 

Yang menarik, di masa pandemi, saya melihat banyak artikel-artikel bagus bermunculan di internet. Wabah dan pandemi menjadi panggung bagi para intelektual dunia untuk menjelaskan kepada publik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, dan bagaimana dunia pasca-pandemi.

Saya cukup menikmati beberapa artikel bagus dari sejarawan Yuval Noah Harari, sastrawan Arundhati Roy, filsuf Slavoj Zizek, ilmuwan Ethan Siegel, juga beberapa penulis global. Pandemi ini menjadi arena bagi mereka untuk membuka perspektif baru, serta menuntun publik yang dalam istilah Heidegger, sebagai “memisah terang dari gelap.”

Meski demikian, saya tetap berusaha meng-update buku-buku terbaru. Saya tidak tahu persis angkanya, namun saya yakin tahun ini tidak banyak buku baru yang terbit. Kalaupun terbit, beberapa dijual melalui pre-order agar penerbit punya cukup uang untuk mencetaknya dalam situasi ekonomi yang cukup sulit. 

Selama pandemi, saya sangat jarang ke toko buku. Beruntung, saya mengikuti informasi baru melalu Instagram beberapa penerbit, sehingga ketika ada buku terbaru, langsung saya pesan. Di banding tahun sebelumnya, frekuensi saya membeli buku agak berkurang.

Dalam situasi itu, saya menemukan banyak buku bagus. Lagi-lagi, makna bagus di sini selalu subyektif sebab selalu bergantung pada akses pada buku serta waktu yang cukup untuk membaca dan meresapinya. Ketika menemukan buku yang saya sukai, biasanya saya membacanya berulang-ulang.

Di tahun 2020, saya mencatat beberapa buku yang menarik. Saya menyusunnya secara acak:


Pandemic: Covid-19 Shakes the World  (Slavoj Zizek)

Saya anggap ini buku yang paling provokatif di tahun 2020. Filsuf Slavoj Zizek menyebut virus ini ibarat pukulan ala “Kill Bll” yang menghantam kapitalisme. Dalam film Kill Bill 2 yang disutradarai Quentin Tarantino, terdapat pukulan “Five Point Palm Exploding Heart Technique” yakni kombinasi lima serangan yang menyasar lima bagian tubuh. Saat Bill dihantam dengan jurus ini, dia merasa baik-baik saja, tetapi saat berjalan lima langkah, jantung meledak. Inilah salah satu pukulan paling mematikan dalam ilmu bela diri.



Saat virus ini menyerang, kapitalisme seakan baik-baik saja. Masih bisa mengatur napas dan langkah. Tapi, seiring waktu, virus ini bisa menumbangkan kapitalisme, sebagaimana kebocoran nuklir di Chernobyl yang menumbangkan Uni Soviet. Sistem sekarang tidak akan terus berjalan seperti biasanya sehingga dibutuhkan sebuah perubahan radikal.

Menurut Zizek, virus memaksa kita untuk memikirkan satu konsep masyarakat alternatif yang melampaui konsep negara-bangsa. Virus masyarakat alternatif ini menekankan pada solidaritas dan kerja sama global. (BACA: Virus yang Membangkitkan Komunisme)


Kepunahan Keenam (The Sixth Extension), karya Elizabeth Kolbert

Dalam versi bahasa Inggris, buku ini terbit tahun 2014 dan merupakan peraih Pulitzer sebagai buku nonfiksi terbaik. Saya membaca buku ini pada momen ketika saya merenungi Covid-19 yang muncul akibat kehadiran manusia yang mempengaruhi tatanan ekologis.

Ini buku yang muram. Isinya adalah sejarah kekalahan dari spesies yang bukannya tidak bisa beradaptasi dengan bumi, tapi perlahan tersingkir dan punah oleh spesies manusia. Ini kisah tentang kian tingginya laju kepunahan berbagai hewan sejak era pertama bumi terbentuk.


Dulu, banyak spesies punah karena asteroid atau gunung meletus dalam skala besar. Kini, semua kepunahan itu disebabkan manusia, spesies yang merasa dirinya paling hebat sehingga merasa punya kuasa dewa untuk mengatur alam semesta.

Elizabeth Kolbert menulis kepunahan itu serupa membuat catatan perjalanan, dari satu lokasi ke lokasi lain, dari satu laboratorium ke laboratorium lain. Alam semesta digambarkan sebagai sejarah perebutan ruang demi keseimbangan. Tapi manusia memasuki arena dan membawa ideologi penaklukan. Hewan liar tersingkir. Semua hutan dirambah dan menjadi perkebunan.


Perang Melawan Influenza (Ravando)

Judul lengkapnya Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia Masa Kolonial. Penulisnya Ravando, sejarawan muda alumnus Leiden yang kini lagi di Aussie.

Biasanya ketika membaca buku sejarah, saya serasa terlempar ke masa silam. Tapi buku ini justru berbeda. Fakta-fakta yang disajikannya membuat saya berkaca ke masa kini. Isinya sangat aktual. Kaya data.  


Jika saja kata Pandemi Spanyol diganti dengan kata Covid-19, maka kita tetap menemukan fakta yang sama. Mulai dari Dinas Kesehatan Hindia Belanda yang memandang remeh penyakit ini, korban yang berjatuhan, juga banyaknya hoaks mengenai obat penyakit ini. 

Saya suka catatan dari Profesor Hans Pol mengenai perlunya melihat aspek kesehatan dan penyakit dalam menyusun historiografi. Epidemi atau penyakit seharusnya menjadi lensa untuk memandang perubahan sejarah dan masyarakat. Ini mengingatkan saya pada Jared Diamond yang menjelaskan bagaimana kuman bisa mengubah sejarah.

Seusai membaca buku ini, kesimpulan saya adalah kita memang tak pernah belajar dari sejarah. Ibarat sedang berjalan, kita selalu jatuh di lubang yang sama. Kita selalu mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan di masa silam. Kita tak menyerap hikmah masa silam untuk membuat kita lebih tangguh di masa kini.


Gen: Perjalanan Menuju Pusat Kehidupan (Siddhartha Mukherjee)

Dua tahun lalu, saya membeli buku The Gene: An Intimate History yang ditulis Siddhartha Mukherjee di Bandara Lombok. Ketika versi terjemahan keluar, saya langsung memesannya. Tentunya, lebih menarik baca buku versi bahasa Indonesia. Lebih mengalir. 

Penulis buku Siddhartha Mukherjee adalah profesor kedokteran di Columbia University. Dia keturunan India. Dia pernah memenangkan pulitzer untuk karyanya yang berjudul The Emperor of All Maladies: A Biography of Cancer (Kekaisaran Penyakit: Biografi Kanker). 



Gen adalah satu gagasan yang mengguncang dalam sejarah sains, Tiga penemuan gagasan fundamental di dunia sains yang bermunculan sepanjang abad ke-20: atom, bit, dan gen, terus berkembang sehingga menjadi wacana sendiri dalam sains. Gen adalah unit informasi terkecil makhluk hidup yang tidak dapat dibagi lagi. 

Buku Gen membahas secara komprehensif apa itu gen, serta memaparkan sejarah konsep gen serta kisah-kisah ilmuwan. Buku ini juga memaparkan masa depan riset mengenai gen. 

Sesuai judulnya an intimate history, buku ini memang terasa intim. Saat bercerita, penulisnya banyak mengutip sastrawan mulai dari George Orwell, Albert Camus, hingga Haruki Murakami.  Kita seakan mendengar seorang Opa penuh pengalaman yang bercerita ringan. Kita seakan menyaksikan film mengenai para peneliti gen yang membahas karyanya.


The Socrates Express (Eric Weiner)

Sejak membaca Geography of Bliss, mengenai perjalanan mencari konsep bahagia di berbagai negara, saya menjadi penggemar catatan perjalanan Eric Weiner. Dia tidak sekadar jalan-jalan dan foto-foto. Dia selalu berusaha menemukan makna. Dia menetapkan misi dalam petualangannya.


Kali ini, saya membaca catatannya bersentuhan dengan wacana filsafat. Saya terkenang buku Dunia Sophie yang ditulis Jostein Gaarder. Sebagaimana Dunia Sophie, The Socrates Express juga meramu filsafat menjadi catatan perjalanan yang menyenangkan.

Saya sepakat dengan pernyataan Henry Manampiring di bagian pendahuluan, filsafat itu akan selalu aktual. Manusia akan selalu berhadapan dengan problem yang sama, dari zaman ke zaman. Dulu orang berpedang, kini memakai nuklir. Substansinya sama.

Yang kita temukan di sini bukanlah sejarah dan perkembangan pemikiran, tetapi petualangan seorang manusia yang mengenali tema-tema filsafat dalam aktivitasnya di abad kekinian. Ada perspektif masa lalu, yang dipraksiskan di masa kini, lalu mengalami dialog2 dan dibenturkan dengan realitas kekinian.

Yang paling diuntungkan dari dialog ini adalah kita, pembaca yang menikmati menu buku ini serupa mencicipi hidangan segar bagi jiwa.


Kisah dari Kebun Terakhir (Tania Murray Li)

Saya selalu terkesima jika membaca kerja-kerja intelektual Tania Murray Li. Profesor antropologi asal Kanada ini selalu produktif melahirkan riset etnografis dan pengamatan mendalam dalam setiap karya-karyanya. 

Beberapa waktu lalu, saya membaca bukunya berjudul The Will to Improve yang lalu menjadi satu lensa ketika melihat desa. Ketika saya berkunjung ke desa, beberapa teori dan argumentasi Tania Li terus hadir dalam benak. Istilah yang sering saya kutip adalah “teknikalisasi permasalahan” yakni cara orang kota menjinakkan orang desa melalui aturan, pengetahuan, dan berbagai hal teknis. Seakan-akan orang kota lebih tahu dan lebih berhak bicara tentang desa.


Tahun ini, saya membaca buku terbarunya yang sudah diterjemahkan yakni Kisah dari Kebun Terakhir. Isinya adalah riset etnografis di Sulawesi yang membahas bagaimana kemunculan kapitalis di antara penduduk adat di perbukitan yang memprivatisasi lahan demi menanam kakao.

Tania Li berfokus pada masyarakat Lauje, baik itu yang tinggal di pesisir maupun perbukitan. Penelitian etnografis yang dilakukan selama dua puluh tahun (1990-2009) tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Lauje di perbukitan tidak selalu menolak narasi pembangunan dan modernisasi. 

Mereka malah ingin merasakan derap langkah kemajuan dan pembangunan. Tanpa disadari, hasrat ini lalu menyeret mereka untuk bersaing satu sama lain dalam praktik kapitalisme yang kemudian berujung pada kesenjangan.


The Real Marketing (Hermawan Kartajaya)

Saya bukan marketer atau pemasar. Tapi setiap kali ada buku baru yang dibuat para marketer, saya selalu tidak sabar untuk membacanya. Di antara nama-nama penulis yang saya tunggu2 adalah Rhenald Kasali dan Hermawan Kartajaya.

Hermawan selalu menulis sesuatu dengan cara yang sesederhana mungkin. Dia tidak suka memusingkan pembacanya. Beda dengan para ilmuwan sosial dan politik yang suka jlimet. Kalaupun Hermawan memakai kata dalam bahasa Inggris, biasanya kata-kata yang mudah dipahami dan pasaran.


Selain itu, Hermawan menulis berdasarkan pengalaman sendiri. Saya suka membaca catatan, yang penulisnya memakai kata “saya.” Sebab di situ ada unsur personal, serta perjalanan seseorang memahami sesuatu. Kita diajak masuk ke dalam pikiran seseorang untuk menelusuri pesan dan makna.

Dia juga peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia suka mengambil contoh apa yang ada di sekitarnya. Di buku terbarunya ini, The Real Marketing, dia menjelaskan tentang game, film The Rings, konten Youtube, dan K-Pop. Dia selalu update dengan informasi terbaru, bahkan apa saja yang tengah happening di kalangan anak2 jaman now.

Dia menjelaskan perjalanan konsep pemasaran yang dikembangkannya, sehingga dirinya menjadi satu dari 50 orang yang mengubah marketing dunia. Dia menjelaskan bagaimana dirinya bisa berkolaborasi dengan para guru marketing yakni Al Ries, Jack Trout dan Kehnichi Ohmae, serta Philip Kottler yang disebut sebagai the father of modern marketing. Kini, Hermawan telah mendunia.


Pangeran dari Timur (Iksaka Banu dan Kurnia Effendi)

Novel ini masuk dalam list saya. Ini adalah novel sejarah mengenai Raden Saleh, salah satu pelukis paling hebat di masa kolonial.

Sebagai penggemar fiksi sejarah, saya lama menunggu buku ini. Dulu, ketika membaca tetralogi Pulau Buru dan beberapa karya lain dari Pramoedya Ananta Toer, saya selalu berharap ada yang rutin menulis tentang masa silam, dari sisi yang tidak biasa.


Beruntung, saya bisa berinteraksi dengan karya-karya Iksaka Banu. Mulanya, saya mengoleksi bukunya Semua untuk Hindia. Selanjutnya saya membaca Sang Raja, terakhir Teh dan Pengkhianat. Iksaka adalah penulis yang dua kali mendapatkan Khatulistiwa Literary Award.

Bagi saya, Iksaka Banu itu unik. Dia melihat sejarah tidak secara hitam putih. Dalam dua bukunya, dia mengurai kisah dari sudut pandang orang Belanda yang dicap nista oleh sejarah kita. Dia melihat peristiwa dari sudut berbeda. Siapa pun bisa berpotensi jahat, tanpa memandang warna kulit dan asal bangsanya.

Dia membentang sketsa watak manusia yang penuh warna. Ada manusia baik dan ada manusia jahat. Tergantung kita melihatnya dari sudut mana. Jika kita membebaskan diri dari segala prasangka, kita akan melihat dinamika. Selalu ada gejolak. Selalu ada kebaikan, juga kejahatan.


Kuasa Uang (Burhanuddin Muhtadi)

Dalam konteks literatur politik, buku Kuasa Uang ini sangat menarik. Buku ini mulanya disertasi yang dibuat Burhanuddin Muhtadi untuk mendapatkan gelar doktor di satu universitas di Australia.


Saya menemukan banyak kesimpulan menarik di buku ini. Di antaranya, orang Indonesia ternyata lebih jujur mengakui adanya praktik politik uang dibandingkan dengan orang di negara-negara lain. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa jual beli suara dalam pemilu di Indonesia memang bukan tabu. 

Buku membahas bagaimana gelombang politik uang semakin menjadi-jadi setelah Orde Baru runtuh pada 1998, terutama setelah sistem proporsional terbuka diterapkan pada 2009. Perubahan sistem kelembagaan dan sistem pemilu membuat caleg harus menghasilkan personal votes melalui ketokohan pribadinya ketimbang lewat kampanye berbasis partai. 


Creative Collaboration (Abdullah Azwar Anas)

Tidak banyak kepala daerah yang mau berbagi tentang pengalamannya memimpin. Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas adalah pengecualian. Dia mencatat pengalamannya selama dua periode memimpin, menguraikan apa saja yang telah dilakukan, serta memberikan catatan tentang masa depan.

Tahun lalu, saya puas sekali saat membaca bukunya yang berjudul Anti Mainstream Marketing. Dia menjelaskan secara rinci bagaimana kiatnya memasarkan Banyuwangi yang dulu identic dengan santet, terbelakang, juga angker. Dia melakukan branding pariwisata yang berbasis pada tradisi dan budaya, lalu membawa Banyuwangi menjadi salah satu daerah yang maju pariwisatanya.


Dia mengemas bukunya dengan sangat menarik. Konsepnya eye catching. Mencolok mata. Banyak foto warna dan juga kutipan penting. Dia sengaja membuat buku yang tidak rumit, tapi bisa dipahami siapa saja.

Dalam Creative Collaboration, dia menjelaskan kerja-kerja di balik kian banyaknya penghargaan untuk Banyuwangi. Dia membahas kolaborasi kreatif yang menjadi kekuatan. Kerja kolaborasi tidak hanya dilakukan dengan pihak luar, misalnya pemerintah pusat maupun para pengusaha dan arsite, tapi juga kolaborasi dengan warganya sendiri.


Menjadi Penulis (Puthut EA)

Saya dua kali mengkhatamkan buku Menjadi Penulis ini. Buku ini hadir dengan konsep yang sederhana dan menarik. Isinya adalah catatan-catatan tentang dunia menulis, yang ditujukan bagi siapa saja yang hendak menjadi penulis.


Saya suka dengan celotehan Puthut EA yang realistis saat membahas dunia menulis. Dia tidak seperti para motivator atau mentor yang bercerita hebat-hebat tentang dunia menulis. Dia bercerita realistis dan apa adanya, kalau dunia menulis memang tidak seindah melihatnya dari luar. Dunia menulis bukanlah dunia yang bergelimang uang.

Namun dia tidak sekadar memaparkan sedu-sedan. Dia juga memberikan peta bagi mereka yang hendak menekuni dunia menulis. Di antaranya adalah memperluas kerja kepenulisan. Bukan sekadar fiksi, tapi masuk ke non fiksi, melakukan riset, jadi ghost writer, serta apa saja yang terkait dunia menulis.


Serial Bumi (Tere Liye)

Sebelumnya saya bukan pembaca novel yang ditulis Tere Liye. Saya tak pernah membaca satu pun bukunya. Namun saya tergoda membacanya saat melihat banyaknya anak-anak me-review serial Bumi di Youtube.  Saya pikir selama ini Tere Liye adalah penulis dengan genre Islami. Ternyata dia merambah ke berbagai genre, termasuk fantasi.

Serial ini mengenai tiga kanak-kanak yang masing-masing punya kemampuan hebat.  Raib bisa menghilang, Seli bisa mengeluarkan petir, dan Ali adalah anak yang jenius. Ketiganya bertualang melintasi dunia paralel. 


Dalam novel ini, bumi adalah semesta yang di dalamnya terdapat empat dunia paralel yang hidup damai dan tak saling berhubungan. Ada klan Bumi, klan Bulan, klan Matahari, dan klan Bintang. Namun ada sejumlah orang yang punya kemampuan untuk melintasi empat dunia itu, lalu memicu peperangan.

Gambaran tentang empat klan itu sangat imajinatif. Jika novel Harry Potter, semesta dibangun melalui sihir, serial ini menampilkan teknologi yang canggih dengan uraian yang menarik.

Pantas saja jika novel Bumi sudah dicetak hingga 29 kali. Bahkan lanjutannya juga dicetak puluhan kali. Wow. Ini rekor bagi buku fantasi yang dibuat oleh orang Indonesia. Saya juga tidak menyangka ada fantasi sekeren Harty Potter yang malah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sekarang sudah ada Earth, juga Moon, dan Sun. 


Dia Gayatri (Bre Redana)

Setahun ini, saya membaca dua novel yang ditulis Bre Redana yakni Majaphit Milenia dan Dia Gayatri. Dua-duanya semacam reminder tentang Majapahit, sebagai salah satu imperium paling besar yang menguasai Asia Tenggara.

Dia Gayatri menarik. Kisahnya dimulai dari balai lelang di London. Saat itu, ada dua orang yang sangat kaya dan berebut patung Gayatri. Selanjutnya, kisah bergulir ke masa lalu saat Gayatri hadir di masa awal Kerajaan Majapahit berdiri.  Gayatri digambarkan sebagai sosok yang visioner, yang mengawal Majapahit sejak awal berdiri hingga masuk ke era Hayam Wuruk, dengan patihnya Gadjah Mada.


Saya berharap banyak pada novel ini. Sayangnya, penulisnya kurang berani mengembangkan kisah hingga menjadi teka-teki menarik. Isinya datar-datar saja. Terlalu setia dengan teks sejarah. Padahal jika dikemas lebih baik, kisah ini bisa seheboh Da Vinci Code yang ditulis Dan Brown.

Namun, saya tetap menyukainya. Kekuatan Bre Redana adalah bisa menggambarkan peristiwa sejarah dengan detail sehingga pembaca seolah membaca laporan jurnalistik yang memikat.


The Poppy War (R.F. Kuang)

Ini fiksi yang saya baca di akhir tahun. Saya tidak menyangka kalau fiksi yang terbit tahun 2019 ini semenarik ini. Saya membacanya novel sepanjang lebih 500 halaman ini tanpa jeda. Saya menyelesaikannya hanya dalam waktu tiga hari. 

Kisah dalam novel ini adalah versi fiksi dari sejarah Cina. Ada semacam penggabungan antara kisah sejarah dan fiksi juga mitologis. Dari sisi cerita, saya serasa membaca gabungan antara Harry Potter, Hunger Games, How to Train Your Dragon, dan Game of Thorne. Kisahnya mengenai anak perempuan yatim piatu miskin di satu negeri fantasi di Cina yang kemudian masuk akademi militer paling hebat, lalu menjadi petarung hebat.


Rin, demikian nama perempuan itu, mulanya diremehkan oleh para anak-anak panglima yang belajar bela diri sejak kecil. Bahkan dia ditolak oleh guru bela diri karena dianggap rakyat jelata. Seorang guru yang aneh melihat bakatnya, lalu mengajarinya bela diri dengan cara mengambil dari kitab-kitab di perpustakaan.

Anak itu tak cuma belajar bela diri, tapi juga sampai mendalami shamanisme hingga dirinya bisa mengundang Dewa Phoenix. Dalam satu pertempuran dan posisinya terdesak, datang Dewa Phoenix memasuki dirinya sehingga memiliki kemampuan membakar.

Keren abis!

*** 

Tahun 2020 segera berlalu. Besok, semua kalender 2020 akan disingkirkan. Lembaran baru segera dimulai. Jika di tahun 2020 banyak warga bumi yang pergi karena Covid, saya berharap tahun 2021 akan memancarkan harapan baru.

Semoga kita menjadi bagian dari warga bumi yang survive melalui abad pandemi, semoga kita semua tetap memelihara hasrat membaca, hasrat berbagi, serta terus menyirami bumi dengan kebaikan-kebaikan.

Semoga kita terus menyerap kebaikan dari hikmah-hikmah yang terpancar dalam semua literasi. Bahwa di balik setiap bencana selalu ada harapan baru, selalu ada kehidupan baru, dan selalu ada visi yang lebih arif dalam memandang kehidupan.

Semoga.


BACA:

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2019

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2018

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2017

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2016

Buku yang Saya Sukai di Tahun 2015


1 komentar:

Bunda Muslimah Indonesia mengatakan...

Terimakasih resume tentang bukunya, walaupun sudah berlalu. Ada buku2 yang harus saya baca..Telat..than never..

Posting Komentar