Catatan di Warung Coto Daeng Tona

 

Dia selalu tersenyum lebar setiap kali saya singgah di kedainya. Wajahnya yang sangar sontak berubah karena seulas senyum itu. Dia dipanggil Daeng Tona. Dia seorang pemilik warung Coto Makassar di kota Bogor.

Warungnya tak seberapa luas. Hanya muat beberapa orang. Itu pun selalu berpindah-pindah. Tapi selalu di seputaran Jalan Ahmad Yani, Bogor. Biarpun sederhana, warungnya punya magnet yang sangat kuat. 

Hampir semua warga Bugis Makassar di Bogor tahu di mana warungnya. Rasa cotonya original. Mereka yang lama di Makassar hanya butuh mencicipi setengah sendok kuah, langsung tahu kalau cotonya memang nikmat.

Saya ingat kata almarhum Bondan Winarno. Katanya, ada beberapa jenis kuliner yang nikmatnya akan terasa kalau dicicipi di warung pinggir jalan, di tengah suasana yang panas dan berangin. 

Dia mencontohkan sate. Katanya, dia sudah mencoba semua restoran mewah di Jakarta. Tak ada satu pun yang menyajikan sate senikmat warung pinggir jalan, di mana penjualnya penuh keringat bercucuran saat mengipas-ngipas sate, lalu asapnya memenuhi warung. Nikmatnya jauh mengalahkan sate di semua hotel berbintang. Saya pun menemukan hal yang sama dengan Coto Makassar, khususnya di warung Daeng Tona.

“Lama mi kita nda datang dii” sapa Daeng Tona. Saya mengangguk. Kami lalu ngobrol banyak hal. Bagi saya, mengobrol dengannya senikmat mencicipi cotonya.

Kisah hidupnya bukanlah perjalanan yang mulus dan landai. Kisahnya penuh lika-liku, duri-duri dan kelokan tajam. Dia berasal dari Takalar, Sulsel. Dia datang ke Jakarta hanya dengan baju melekat di badan. Dia merasa tak punya keahlian apa-apa. Tapi dia punya nyali dan keberanian seorang anak muda Makassar yang lihai memainkan badik dan berkelahi.

Dia lalu menjadi preman. Kariernya menanjak ketika dipercaya seseorang untuk menjadi pengawal pribadi. Kebetulan, orang itu tinggal di Jalan Ahmad Yani, Bogor. Sering Daeng Tona diminta ke Bogor untuk mengawal. Saat itulah dia ingin mencicipi coto, namun tidak menemukan satu pun warung coto di kota hujan.

Dia lantas berpikir kalau dirinya bisa berdagang coto di Bogor. Dia yakin ada banyak orang Bugis Makassar yang hilir mudik di Bogor, dan ingin mencicipi coto. 

Apalagi, dia punya kemampuan memasak coto yang didapatnya secara genetis. Mulai dari kakek hingga bapaknya adalah pemilik warung coto. Bahkan bapaknya dulu pernah membuka warung coto yang terkenal di Makassar yakni Warung Coto Gumer, singkatan dari Jalan Gunung Merapi, lokasi warung itu berdiri. Keluarganya di Takalar, Gowa, hingga Makassar pun banyak yang membuka warung coto.

Berkat pinjaman uang dari bosnya, dia nekat membuka lapak coto di Jalan Ahmad Yani. Dia masih hafal tanggal dia membuka warung yakni 14 September 1992. “Kalau satu bulan nda ada yang singgah makan, saya mau berhenti. Mauka jadi preman lagi,” katanya.

Mulanya, beberapa orang Makassar singgah makan. Mereka lalu merekomendasikan ke rekannya. Warungnya mulai populer di kalangan Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS). Dia mulai sering diminta menyediakan kuliner dalam acara resmi KKSS di Kota Bogor. 

Daeng Tona berhenti jadi preman dan pengawal pribadi. Dia menemukan masa depannya di warung coto. Dia mulai merekrut karyawan. Bahkan ketika dia jadi pemilik warung, dia sendiri yang meracik bumbu, memotong daging, dan melayani pelanggannya. Dia membangun kedekatan melalui obrolan-obrolan khas Makassar.

Pernah, saya ke warungnya dan dilayani anak buahnya yang asli Bogor. Saat coto dihidangkan, kok rasanya aneh? Sejak saat itu saya selalu minta agar Daeng Tona yang mengolah hidangan. Rupanya banyak yang punya pengalaman seperti saya. Makanya, Daeng Tona selalu turun tangan untuk meracik bumbu dan melayani pelanggan.

Saya pernah memperhatikan caranya bekerja. Saya lihat sama saja jika kuliner itu dikelola oleh orang lain. Saya menduga, Daeng Tona memang punya sentuhan yang berbeda. Dalam sentuhan jemarinya, dia bisa mengenali rasa, rahasia, dan kode-kode DNA ternikmat dari setiap kuliner. Makanya, apa pun yang dia sentuh, selalu terasa nikmat. Dia seorang maestro kuliner.

Saking populernya namanya, ada satu warung coto di Jalan Ahmad Yani yang menamai warungnya Daeng Tona. “Pernahka datang pasimbung. Bikin kacau. Kulempar kursinya gara-gara napake namaku,” katanya. Harusnya, dia mematenkan namanya. Minimal orang yang memakai namanya harus membayar royalti.

Namun, kuliner adalah soal rasa. Anda bisa mengklaim satu merek, tapi lidah tak bisa dibohongi. Di mana pun Daeng Tona pindah, orang akan tetap mendatanginya. Orang akan tahu mana asli dan mana palsu.

Hari ini, saya kembali mendatangi warungnya. Lokasinya di Jalan Pandu Raya, tidak seberapa jauh dari lokasi lama. Warungnya lebih luas. Di sebelahnya ada restoran khas Makassar yakni Balla Baraka. Saya melihat ada panggung untuk seni yang backdropnya bergambar Sultan Hasanuddin.

“Sering-sering datang dii” katanya.

“Iye Daeng. Adapi rejeki lagi,” jawabku

“Biar nda ada uangta datangki saja. Kalau untuk kita gratis. Kan mahasiswa ji toh?”

Saya tersenyum. Dia mengira saya seorang mahasiswa. Saya tak ingin meralat anggapannya. Saya lalu menatap wajah di spion. Dia benar. Saya melihat ada wajah muda dan tampan.


2 komentar:

Pak Zacky mengatakan...

Cara buat agar ada twit twitter gmna?

Unknown mengatakan...

🤭👍👍

Posting Komentar