Sepenggal Kisah Wali Nusantara



Dari berbagai penjuru, para ulama berdatangan ke Nusantara demi membawa ajaran kebaikan sejak abad ke-13. Mereka menghadapi ganasnya ombak dan keterasingan di wilayah baru. Mereka membawa ajaran dan teladan untuk dikabarkan pada masyarakat yang berbeda keyakinan.

Perlahan, ajaran dan teladan itu memesona masyarakat sehingga menjadikan mereka sebagai legenda. Bahkan setelah bertahun-tahun mereka meninggal, pengaruh mereka masih sangat kuat. Makamnya tetap dikunjungi. Doa-doa selalu mengalir untuk para wali itu.

Saya terkesima saat membaca buku yang diolah dari liputan Tempo mengenai para wali penuh kharisma ini. Mereka datang pada waktu yang hampir bersamaan, kemudian ajarannya menyebar di seluruh penjuru Nusantara. Di masa itu, mereka saling berjejaring dan menyebarkan ajaran ke banyak wilayah.

Saya membayangkan mesti ada penjelasan mengapa kharisma mereka demikian memancar, bahkan hingga lebih seratus tahun kematiannya. Di zaman itu, pasti mereka berhadapan dengan hoaks dan juga bully. Bahkan intrik politik selalu bisa membuat mereka tersingkir dan tenggelam di lipatan sejarah.

Namun mereka tetap eksis dan merawat warisannya untuk generasi mendatang. Mereka tidak sekadar menjadi guru, tetapi juga menjadi embun yang membasahi hati orang banyak. Mereka menjadi pohon rindang yang daun, ranting, dan dahannya menjadi peneduh bagi satu komunitas.

Di buku ini, saya membaca kisah sebelas ulama di seluruh Nusantara, mulai dari Aceh, Banten, Madura, hingga tanah Makassar. Mereka menyebar agama tidak dengan pendekatan mengkafirkan sana sini, tetapi hidup bersama komunitas, memberikan teladan melalui tindak-tanduk dan pancaran intelektualitas. Juga melalui kearifan dan welas asih dalam menghadapi banyak orang yang berbeda-beda pandangan.

Di antara sebelas kisah di sini, saya terkesima membaca ulama Aceh bernama Syekh Abdurrauf Al Singkili. Sejarawan Azyumardi Azra menyebutkan dia lahir tahun 1615. Nenek moyang pria yang lebih populer disapa Syiah Kuala berasal dari Persia. Dia belajar selama 19 tahun di Timur Tengah.

Mulanya dia menetap di Pantai Kuala Krueng, Aceh. Kawasan ini dahulu pusat perdagangan dan tempat enetap bangsa asing. Dia pun mulai menyebarkan ajaran agama.

Dia menyebarkan agama dengan cara yang tidak biasa. Syiah Kuala menyamar menjadi orang biasa, yang mengunjungi lokasi prostitusi di Aceh. Saya membayangkan, di zaman itu pasti banyak orang yang nyinyir. Tapi dia tidak ingin berada di zona nyaman masjid. Dia menjadi orang sakti atau tabib yang bisa menyembuhkan siapa pun di lokasi prostitusi.

Ketenarannya mulai terkerek. Pendekatannya berhasil mengubah lanskap sosial budaya masyarakat Aceh. Tatanan masyarakat yang jauh dari ajaran Islam mulai hilang. Popularitasnya terdengar oleh Sultanah Safiatuddin Syah, perempuan yang menjadi Sultan Aceh. Dia diundang ke istana.

Syiah Kuala diangkat menjadi kadhi atau pemimpin ulama kesultanan. Jabatan ini adalah jabatan tinggi di Aceh yang menganut pemerintahan dua kamar, yakni politik dan agama. Dia produktif melahirkan produk hukum dan berbagai produk karya tulis.

Di zaman sekarang, banyak orang, termasuk ulama, yang sibuk mempertanyakan kepemimpinan perempuan. Di zaman itu pun demikian. Syiah Kuala harus menghadapi penentangan kalangan ulama yang mempertanyakan mengapa harus dipimpin perempuan. Beberapa keputusannya pun disoal.

Dia menjawab semua tudingan dengan melahirkan kitab berjudul Mir’atutullah, sebuah maha karya yang tak hanya beredar di Aceh, tetapi seluruh Nusantara, hingga mancanegara. Dia juga menulis kitab tafsir dalam bahasa Melayu, Tarjuman al-Mustafid, yang terbit di Malaysia, Singapura, India, dan Timur Tengah. Karyanya diterima luas karena menerjemahkan ayat secara sederhana.

Dia tak gamblang membahas kepemimpinan perempuan. Namun menurut Azyumardi Azra, dia sangat berhati-hati memilih diksi. Ketika membahas syarat hakim, dia menghindari penerjemahan “zakar” sebagai laki-laki. Politik bahasa ini dianggap Azyumardi Azra sebagai bentuk toleransi Syiah Kuala pada kepemimpinan perempuan.

Dia mengabdi selama empat periode kepemimpinan sultanah. Pada masanya, Aceh dirundung konflik. Banyak kerajaan hendak memisahkan diri. Puncaknya, terjadi konflik antara sesama umat Islam yakni penganut tarekat Syekh Nuruddin ar-Raniri yang menganut paham Wahdatus Syuhud dan pengikut Syekh Hamzah Fansuri yang membawa paham Wahdatul Wujud.

Pengikut Ar Raniri menuduh pengikut Fansuri sesat dan menyimpang. Karya Hamzah Fansuri dibakar. Pengikutnya banyak dibunuh. Tapi Syiah Kuala malah mendudukkan semua pihak dalam satu perundingan. Dia mendamaikan semua mazhab pemikiran itu. Dia meminta semua orang, khususnya pengikut Ar Ranini, agar tidak mudah melabel orang lain sebagai sesat.

Peneliti Oman Faturrahman menyebut Syiah Kuala menggunakan kata-kata yang umum dan samar dalam mengemas kritik. Sikap itu justru relevan untuk masyarakat Aceh saat itu. Syiah Kuala menunjukkan sopan santun dan toleransi tingkat tinggi dalam menghadapi siapa pun. Itulah warisannya yang menjadikan dirinya legenda di semua aliran yang ada di Aceh serta Nusantara.

Kini, di atas gapura makamnya yang selalu dikunjungi orang-orang di Aceh, terdapat tulisan: “Adat Bak Po Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala.” Aturan adat bersumber dari pemimpin, penerapan hukum ada pada Syiah Kuala.”



1 komentar:

Anonim mengatakan...

Mantap tulisannya Kak Yusran.

Posting Komentar