Tujuh Tafsir CORONA di Media Sosial Kita




Setiap kali ada peristiwa, maka orang-orang akan menafsirnya dengan cara berbeda. Ada yang melihatnya secara rasional, ada pula yang melihatnya secara irasional. Manusia Indonesia tidak akan pernah satu perspektif. Selalu saja suka bikin mazhab sendiri lalu berkubu-kubu, kemudian tengkar-tengkar.

Sejak era media sosial dimulai, orang Indonesia amat suka berbeda pendapat lalu saling bantah. Di era ini, tak ada lagi otoritas. Seorang profesor doktor bisa didebat oleh seorang lulusan SD. Lucunya, sering kali profesor doktor malah larut dalam bantah-bantahan dengan lulusan SD itu. Jangan-jangan, mereka punya tingkat IQ yang sama.

Kita selalu mencari satu pemantik isu untuk menyuburkan iklim debat kita. Apa pun itu, bisa jadi bahan debat. Bahkan virus Corona, yang notabene adalah domain para ahli medis, bisa juga jadi bahan perdebatan hingga berlarut-larut. Benar kata Tom Nichols, dekade ini adalah dekade matinya kepakaran. Semua bisa menjadi pakar.

BACA: Saat Corona Menyerang Homo Deus

Sejak virus Corona merebak, saya rajin memperhatikan bagaimana orang berdebat di media sosial. Sejak beberapa bulan lalu, energi debat memenuhi media sosial. Bahkan di satu grup WhatsApp, dua orang saling membongkar aib hanya karena berbeda pandangan soal Corona.

Saya mencatat, ada tujuh pandangan terkait merebaknya virus ini. Mari kita lihat satu per satu, kemudian tentukan di mana posisi Anda.

Pertama, kubu mengaku religius. Ketika Corona pertama merebak, mereka langsung menuduh kalau virus ini adalah tentara Allah yang hendak menghukum penduduk Cina. Mereka mengait-ngaitkan wabah ini dengan perlakuan tentara Cina yang dikabarkan membatasi ekspresi keberislaman orang Uyghur di Cina. Ditambah lagi, ada semacam endapan kebencian rasial yang lama tersimpan di hati.

Mereka langsung setuju pernyataan seorang pendakwah mengenai virus ini sebagai tentara Allah. Padahal, pendakwah itu telah memberikan penjelasan kalau dirinya hanya menyebut itu sebagai salah satu tafsir. Artinya, dia terbuka pada banyak tafsir lainnya. Apa pun itu, fans garis kerasnya langsung menyebarkan tafsiran itu.

Saat virus itu mulai menyerang Timur Tengah, perlahan mereka terdiam. Sebab virus itu bisa menyerang siapa saja, tanpa mengenal apa pun kewarganegaraannya. Di satu grup percakapan, seorang dokter tak henti-hentinya menyebut virus ini sebagai hukuman bagi bangsa Cina. Dia lupa kalau semua jenis penyakit tidak pernah menyerang satu bangsa, melainkan spesies manusia.

Kedua, kubu mengaku rasional. Kubu kedua ini adalah anti-tesis dari kubu pertama. Mereka tidak percaya kalau virus ini adalah tentara Allah. Mereka melihat virus ini muncul dari satu proses biologis yang bisa dijelaskan secara ilmiah, serta bisa diatasi dengan memperkuat riset-riset.

Mereka menyebut keberadaan virus ini adalah takdir, tetapi menghindarinya juga takdir. Mereka mendukung semua kerja-kerja ilmiah untuk menemukan solusi secepat mungkin atas merebaknya virus ini. Bahkan mereka membagikan semua capaian, termasuk yang dilakukan para ilmuwan Israel dan negeri-negeri barat.

Mereka menolak mengaitkan virus corona sebagai azab. Saat virus ini mulai masuk ke negara-negara Muslim, kubu ini kian mendapat angin. Mereka mendapat pembelaan kalau virus ini adalah ancaman bagi spesies manusia secara keseluruhan. Bahkan Saudi Arabia, negeri yang 100 persen warganya adalah haji, menutup bandara demi menangkal penyebaran virus.

Mereka percaya bahwa penyakit itu menyerang siapa saja sehingga semua orang perlu waspada dan mencegah secara dini. Tak perlu membawa-bawa ayat dan menyebutnya sebagai hukuman Tuhan.

Ketiga, kubu anti pemerintah. Sejak lama mencari bahan dan amunisi untuk habis-habisan mengkritik pemerintah. Virus Corona pun dilihat sebagai amunisi baru untuk mengkritik kinerja pemerintah yang tidak becus. Mereka panik dan menolak narasi pemerintah untuk tenang.

Kelompok ini juga sangat mudah percaya pada hoaks, khususnya yang bisa mendiskreditkan pemerintahan. Ada yang berpandangan, sebar dulu hoaks, setelah itu baru klarifikasi.



Di Twitter, mereka membagikan cuitan dari anggota DPD yang meyakini ada ratusan orang terkena virus Corona di Indonesia. Padahal informasi itu tidak ada klarifikasinya. Bahkan Kementerian Kesehatan menampiknya. Giliran dicecar netizen, anggota DPD itu mengaku mendapat informasi dari media online. Entah benar atau tidak. Prinsipnya, sebar dulu, setelah itu hapus postingan.

Mereka meragukan pernyataan pemerintah yang mengatakan Indonesia bebas virus. Namun narasi yang dibangun adalah kecurigaan serta keraguan terus-menerus.

Tapi saya memandang kelompok ini tidak selalu salah. Mereka hadir di tengah buruknya lini informasi pemerintah dalam memberikan pencerahan pada publik tentang apa yang terjadi.

Harus diakui, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, gagal memberikan edukasi kepada publik tentang virus ini. Pejabat publik kita pun ikut-ikutan ngawur dalam memberikan pernyataan pers. Wajar saja jika publik meragukan semua informasi yang muncul.

Keempat, kubu fanboys dan fangirls berat pemerintah. Mereka melihat Corona dari sisi pembelaan habis-habisan pada apa pun pernyataan pejabat negara. Mereka membela habis-habisan Kementerian Kesehatan. Mereka selalu bicara tentang informasi resmi yang terkonfirmasi, dalam hal ini informasi dari pemerintah. Padahal, informasi pemerintah bisa saja tidak akurat. Setiap rezim hanya ingin menghadirkan infromasi yang menyenangkan, sembari menyembunyikan banyak hal.

Kubu fanboys dan fangirls ini selalu gelut dengan kubu sebelumnya. Pasca pilpres, mereka sama-sama belum bisa move on. Satu mengkritik habis apa pun yang dilakukan pemerintah. Satunya habis-habisan membela. Debat mereka selalu ramai di media sosial. Satu menjadi oposisi penuh kritik, satu lagi menjadi humas gratisan lembaga pemerintah.

Kelima, kubu panik. Anggota kubu ini adalah semua masyarakat yang mudah paranoid dan khawatir gara-gara keseringan menyaksikan media. Para jurnalis televisi memberikan reportase dengan mengenakan masker seolah baru saja terjadi bencana radiasi nuklir. Tayangan tentang para pekerja medis yang memakai baju ala astronot terus diulang-ulang hingga publik panik.

Saat dua orang Indonesia dilaporkan terkena virus, kepanikan semakin meluas. Semua supermarket dipenuhi orang-orang yang membeli masker dan bahan makanan. Di Depok, banyak yang memilih untuk mengungsi. Bahkan ada wacana untuk mengisolasi Depok seperti Wuhan di Cina.

Dalam situasi ini, seharusnya pemerintah bisa hadir dan mengatasi kepanikan warga dengan informasi yang benar. Pemerintah mesti memastikan kalau penyebaran virus bisa dihentikan sehingga masyarakat bisa lebih tenang dan waspada. Pemerintah juga mesti menutup sumber hoaks yang membuat warga semakin panik sehingga seakan-akan Indonesia memasuki darurat bencana.

Keenam, kubu ceria. Mereka adalah netizen yang setiap saat menjadikan apa pun sebagai meme untuk lucu-lucuan. Bahkan Corona pun yang menjadi sebab dari penyakit yang membunuh itu pun dilihat sebagai lucu-lucuan. Mereka membuat berbagai meme kreatif. Mulai dari seseorang yang merokok dengan menggunakan masker yang telah dilubangi. Bahkan ada juga yang membuat pesan-pesan lucu terkait virus ini.

Dalam banyak hal, saya menilai kubu ini mengabaikan perasaan mereka yang sedang berjuang mengatasi penyakit. Harusnya mereka lebih empati dan peduli pada orang lain.

Ketujuh, kubu penuh kegembiraan. Harus diakui, merebaknya virus Corona menjadi berita gembira bagi sebagian orang. Para pedagang masker langsung menaikkan harga masker setinggi mungkin. Di Jabodetabek, susah menemukan masker yang harganya normal. Para pedagang tidak belajar pada orang Jepang yang menggratiskan masker sembari memberi pesan kalau tidak mau menari di atas penderitaan orang lain.

Di lini masa, beberapa agen asuransi langsung menjadikannya momentum untuk memasarkan produknya. Bahkan ada penyanyi dangdut yang dengan kreatif telah membuat lagu berjudul Corona demi memanfaatkan momentum virus ini.



Bagi penyanyi dangdut bernama Alvi Ananta ini, Corona adalah singkatan dari Comunitas Rondo Merana. Tak pelak, penyanyi dangdut ini di-bully para netizen yang menganggapnya tidak peka pada penderitaan sebagian umat manusia yang terkena serangan virus.

Saya menduga penyanyi ini rajin memantau Google Trend serta sedikit paham algoritma medsos. Dia membuat lagu dengan keyword yang lagi ngetrend sehingga dengan cepat menjadi perbincangan para netizen.

*** 

Para pengkaji ilmu sosial menyebut selalu ada perdebatan antara relevansi intelektual dan relevansi sosial. Satu informasi bisa benar secara intelektual, tetapi jika tidak tersosialisasi dengan baik, maka bisa dianggap keliru secara sosial.

Tugas pemerintah adalah menyebarkan semua informasi yang benar, serta menyediakan semua kanal-kanal informasi yang akurat sehingga publik tidak terombang-ambing dalam lautan informasi. Buatlah semacam Clearing House atau semacam Panic House yang bertugas untuk menyaring informasi dan meletakkan semuanya secara proporsional.

Jika tidak segera ditangani, ketujuh kubu netizen di atas akan terjebak dalam tengkar-tengkar yang berujung pada kepanikan dan paranoid secara massal. Jika terus terjadi, ekonomi bisa limbung, pelayanan sektor publik akan terganggu, hingga banyak aspek kehidupan akan terganggu.

Padahal keinginan publik sederhana yakni badai akan segera berlalu, dan dunia kembali tenang dan damai. Kita meletakkan harapan pada mereka yang bekerja untuk kemanusiaan serta bekerja dalam sunyi demi menemukan anti virus ini sesegera mungkin.

0 komentar:

Posting Komentar