Gadis Luwu (foto: Yusran Darmawan) |
Salah satu cendekiawan Sulsel yang saya kagumi adalah Ishak Ngeljaratan. Beliau adalah sosok yang setiap saat bersedia diajak diskusi mengenai apa pun. Saya cukup menikmati semua uraiannya saat bahas filsafat dan kebudayaan. Mendengar dia meninggal, saya sangat berduka.
Saya masih ingat ketika dirinya membahas budaya di Sulawesi Selatan. Saat itu, saya tersentak saat dirinya membahas Luwu. Menurutnya, Luwu serupa Yunani dalam kebudayaan Eropa. Sementara Bone dan Gowa adalah Romawi.
Maksudnya, Luwu adalah awal dari banyak pemerintahan di Tanah Bugis. Luwu adalah mata air dari nilai-nilai filosofis orang Bugis. Di rahim budaya Luwu, lahir naskah I La Galigo yang berisikan semua kearifan, pesan, serta peta jalan hidup manusia Bugis.
Masih kata Ishak, Luwu sebagaimana Yunani tidak membangun peradaban besar. Yang dia maksud peradaban itu adalah kerajaan kuat dan hebat yang punya pengaruh kuat hingga ke mana-mana. Ketika Yunani runtuh, maka landasan filosofisnya lalu menjadi fundasi bagi Gowa dan Bone. Itulah cikal-bakal Romawi, menurut Pak Ishak.
Kata seorang filolog, dalam I La Galigo disebutkan Luwu di masa lalu adalah wilayah pesisir sungai yang sumber ekonominya adalah perdagangan. Pada masa itu, komoditas besi asal Luwu menjadi bahan utama yang dikirim ke pusat kerajaan Majapahit.
Besi Luwu menunjukkan kehebatan teknologi metalurgi di masa itu. Besi Luwu menjadi unsur utama dalam senjata dan keris-keris hebat Majapahit, yang saat itu penguasa Nusantara. Kalau Luwu jadi pemasok komoditas utama, bisa dibayangkan betapa kayanya Luwu di masa itu.
Saya tidak paham persis yang dimaksudkan Ishak. Tapi, penjelajah James Brooke mencatat bahwa pada abad ke-19, Luwu menjadi kerajaan kecil. Katanya, Luwu adalah kerajaan Bugis paling tua, tapi menyedihkan. Palopo hanya terdiri 300 rumah yang tersebar. Dia sulit percaya bahwa Luwu pernah sangat berjaya pada masanya.
Apa pun itu, saya suka dengan kalimat Ishak tentang Luwu sebagai Yunani. Di mata saya, Yunani adalah tempat para filosof yang romantis. Namun, apakah anak-anak muda Luwu di masa kini masih suka syair, puisi, dan filsafat? Saya yakin masih. Dalam diri mereka, mengalir darah kearifan leluhur. Yang perlu dilakukan hanya mengingatkan kembali tentang warisan hebat itu.
Besok adalah pembukaan Festival Keraton Nusantara di Palopo. tadi sore, seorang kawan mengajak saya untuk hadiri pameran keris dan benda pusaka. Saya memilih melihat tarian dari sejumlah kembang2 cantik Luwu. Pada tarian itu, saya melihat ada sisi lembut yang membuat dunia selalu tersenyum.
Selamat malam Palopo.
Palopo, 8 September 2019
0 komentar:
Posting Komentar