Saat ROCKY GERUNG Menampar Akademisi Kita


Rocky Gerung saat membawakan kuliah umum di kampus Universitas Muhammadiyah, Surakarta

DIA tak perlu sibuk mengejar peringkat di Google Scholar, SINTA, serta setengah mati melobi agar artikelnya masuk di jurnal terindeks Scopus. Dia pun tak perlu merogoh kocek demi presentasi di seminar agar karyanya masuk prosiding ilmiah. Dia tidak perlu ikut Sabbatical Program agar karyanya tembus level dunia.

Dia cukup menulis penggalan ide di Twitter, kemudian tampil di layar kaca. Cukup bersuara miring, meskipun secara akademis tidak nyambung, dia sudah bisa menceramahi para akademisi mulia di kampus-kampus yang terbungkuk-bungkuk mengejar gelar profesor doktor. Dia hanya lulusan S1.

Perkenalkan, namanya ROCKY GERUNG.

*** 

Pemilihan Presiden (pilpres) memang telah usai. Ibarat pasar, semua pedagang telah menggulung kembali tikar dagangan. Prabowo telah kembali merapat ke Jokowi. Semua partai dan legislator kembali ke asal. Semuanya kembali ke rutinitas awal, sembari tetap berburu kue proyek dan kuasa.

Namun, ada satu nama yang justru mendapatkan bintang terangnya. Rocky Gerung menjadi sosok yang kian melejit. Dia laris dipanggil sebagai pembicara ke mana-mana. Dia tampil di banyak diskusi. Dia menjadi selebriti yang dikejar hanya untuk dimintai tanda tangannya, lalu foto bareng.

Beberapa bulan terakhir, dia laris diundang ke kampus-kampus di berbagai daerah, khususnya kampus yang berafiliasi ke Muhammadiyah. Saya sering melihat foto-fotonya berseliweran di media sosial. Di banyak kampus, dia diundang untuk membawakan kuliah umum. Gayanya tetap nyentrik. Dia menolak hanya berdiri kaku di podium. Serupa penyanyi konser, dia bergerak ke kiri dan kanan panggung. Kamera hp tak henti mengabadikannya.

Hanya Rocky Gerung yang bisa memorak-porandakan bangunan hierarki di perguruan tinggi.

Semua orang paham bahwa perguruan tinggi kita ibarat menara gading yang memelihara hierarki. Anda tak mungkin jadi guru besar jika hanya bergelar sarjana. Jangan mimpi bisa berceramah di hadapan para doktor jika gelar Anda hanya selevel diploma. Jangan mimpi jadi rektor jika karyamu hanya dipublikasi di media kampung, tanpa pernah dipajang di publikasi internasional, yang terindeks Scopus.

Tapi Anda tak perlu berkecil hati. Untuk menceramahi para profesor dan doktor itu, Anda tak perlu mengejar semua hierarki itu sampai setengah mampus. Belajarlah pada Rocky Gerung yang hanya perlu sering-sering menulis di Twitter. Dia hanya mengeluarkan sepenggal-sepenggal ide yang kemudian viral.

BACA: Fadli Zon dalam Tinjauan Peneliti Jepang

Dari sisi marketing, Rocky Gerung punya positioning yang jelas. Dia tahu siapa penggemarnya. Dia hanya perlu bersuara nyaring sebagaimana diinginkan para penggemarnya. Dia paham kekuatan algoritma media sosial dan bagaimana mengelola informasi sehingga viral, kemudian diperbincangkan di mana-mana. Dia memilih jalur oposisi yang konsisten, bahkan lebih konsisten dari Prabowo Subianto. Dia menjadi idola baru yang disenangi di mana-mana.

Jika dibuatkan tahapan, maka ada dua tahap penting untuk mengenal seorang Rocky Gerung.

Pertama, fase ketika dirinya menjadi intelektual di kampus. Pada dekade 1990-an hingga 2000-an, namanya sudah berkibar. Tapi hanya di lingkup terbatas para akademia kampus. Seorang sahabat saya selalu tak sabar menantikan kuliah-kuliahnya yang bernas. Dia memang sosok yang punya kualitas mumpuni.

Saya membaca beberapa tulisannya sejak tahun 2000-an. Dia tipe intelektual publik yang produktif dan konsisten melahirkan gagasan-gagasan. Dia bisa menjelaskan satu gagasan sederhana sampai tingkatan filosofis. Bersama Gus Dur dan Azyumardi Azra, dia ikut mendirikan Setara Institute yang diniatkan sebagai wadah dialog bagi mereka yang menyenangi tema-tema demokrasi dan keadilan sosial.

Seingat saya, dia sudah lama dekat dengan partai politik. Dia pernah menjadi pengurus Partai Indonesia Baru (PIB) yang dipimpin almarhum Dr Sjahrir pada tahun 2004. Dia kemudian berlabuh ke Partai Serikat Rakyat Independen (SRI) yang mengusung Sri Mulyani Indrawati sebagai presiden pada tahun 2014.

Nama Rocky Gerung hanya sesekali muncul di permukaan. Sebagai akademisi pun, dia hanya disebut dalam kelas-kelas kuliah filsafat. Dia hanya disebut sesekali saat sejumlah nama besar disebut. Dia lebih dikenal sebagai intelektual yang bekerja di kampus.

Kedua, fase ketika kekuatan media bergeser ke media sosial. Di sinilah Rocky Gerung menemukan bintang terangnya. Dia bisa menampilkan suara kritis yang disambut dnegan gegap gempita. Ini adalah era crowd atau kerumunan, ketika sejumlah orang di media sosial membentuk barisan, meramaikan tagar, lalu memobilisasi kekuatan.

Rocky paham benar bagaimana mengelola gagasan. Di era ini, Anda tak perlu tampil di forum-forum ilmiah dan mengutip dari para pakar. Cukup dengan sentuhan jemari di HP, maka gagasan sudah menyebar ke mana-mana. Namun, gagasan itu harus dikemas dengan baik, disampaikan dalam kalimat sederhana, namun menohok serta diamplifikasi secara massif.

BACA: Lelaki Bugis yang Menikah dengan BADIK

Di era Marketing 4.0, sebagaimana sering dijelaskan Hermawan Kertajaya, seorang netizen tak puas jika hanya membaca dan mengangguk. Dia bergerak untuk sharing ke mana-mana, kemudian mengdavokasi gagasan itu ke khalayak yang lebih luas. Bisa dibayangkan, gagasan yang tadinya hanya cuitan dari Rocky bisa seperti api yang membakar lahan gambut kering, yang dengan cepat viral.

Dalam pandangan saya, hal-hal yang disampaikan Rocky dalam cuitan dan komentar di layar kaca tidak selalu membawa hal baru. Namun dia tahu bagaimana memosisikan gagasan itu hingga cepat diterima satu segmen masyarakat. Dia tahu bahwa di era medsos, masyarakat berbicara dalam satu ruang gema (echo chamber) sehingga mereka selalu ingin melihat apa yang mereka lihat.

Dalam kondisi tanpa beban dan tidak punya banyak kepentingan, Rocky menjadi intelektual publik yang diidolakan. Dia memasuki tahapan menjadi selebriti, saat gagasannya selalu disebar, padahal hanya dituliskan salam sepenggal-sepenggal cuitan.



Dia mengingatkan saya pada uraian Timms dan Heimans dalam buku New Power yang terbit tahun 2018. Kata Timms dan Heimans, kekuatan lama dimonopi oleh segelintir orang yang sukar diakses publik, dikendalikan elite. Sementara kekuatan baru adalah mereka yang terbuka, mudah diakses, tahu bagaimana mengelola emosi publik, serta bisa menggerakkan orang-orang untuk selalu membagikan semua gagasan itu.

Rocky seakan membawa pesan bahwa di era 4.0 sekarang ini, Anda tak perlu sekadar pintar. Anda juga perlu populer untuk bisa menggerakkan publik. Anda harus mengenali big data agar semua kalimat Anda cepat menyebar, sehingga populer, dan semua orang mengajak Anda. Tentunya, kantong akan semakin tebal.

*** 

Di mana salahnya jika Rocky Gerung bicara di kampus-kampus? 

Bagi saya tak ada salahnya. Saya malah berharap dia mengubah kultur di kampus-kampus kita. Tapi saya juga paham jika sejumlah orang bertanya-tanya, “Apa sih karyanya Rocky? Sehebat apa dia jika dibandingkan para akademisi filsafat yang karyanya banyak di toko-toko? Mengapa harus memanggil Rocky?”

Saya berharap Rocky bisa 'menampar' para akademisi kita, minimal menunjukkan bahwa untuk menjadi intelektual, Anda tak harus setia mengikuti kurikukum. Saya ingin dia menunjukkan kalau prosedur kampus tidak selalu melahirkan seorang intelektual publik.

BACA: Dari Big Data, Artificial Intelligence, Hingga Kediktatoran Digital

Satu hal yang menjengkelkan di kampus adalah ketika orang-orang saling memanggil dengan menyebut gelar-gelar.  Di satu diskusi, saya pernah mlihat orang saling menyapa dengan panggilan Pak Doktor. Bahkan banyak profesor yang akan murka ketika tidak disapa Profesor. Beberapa orang di kampus masih saja memelihara feodalisme, bahwa kecerdasan dan kepandaian diukur dari gelar-gelar.

Saya suka kalimat Rocky dalam satu dialog “Gelar itu hanya menunjukkan Anda lulus kuliah. Tapi bukan menunjukkan Anda bisa berpikir apa tidak.”

Tapi di sisi lain, muncul pula anggapan bahwa Rocky tidak sedang mengadakan kuliah umum di hadapan para profesor dan doktor. Dia sedang melakukan jumpa fans. Makanya, di kampus, dia bicara tentang kehebatannya di banyak forum televisi. Dia bicara berbagai topik yang tak selalu sesuai dengan disiplin yang dikuasainya.

Di era yang disebut Tom Nichols sebagai The Death of Expertise, Rocky hanya memuaskan dahaga mereka yang anti pemerintah dan selalu merindukan figur oposisi. Dia tak selalu mencerahkan publik sebab dia melihat satu sisi, sebagaimana diinginkan para pengundang dan fansnya yang tak sabar untuk selfie dengannya.

Dia hadir di saat yang tepat, ketika orang-orang hanya melihat bungkus, tanpa melihat isi. Orang bisa histeris melihat sosoknya, tapi ketika ditanya apa pendapat Rocky yang paling disetujui, tiba-tiba saja bungkam.“Pokoknya dia anti-Jokowi,” kata seseorang.

Ah, saya merindukan Rocky yang dulu.



7 komentar:

darwis kadir mengatakan...

Mantap bor

Anonim mengatakan...

Mantap. Tingkatkan terus tulisan Anda!

Nanisha effendy mengatakan...

Coba tolong dijelaskan RG yg dulu spt apa. Jgn smp saya bilang saya sama kasihannya kepada anda krn saya aja kasihan sama RG yg skrg.

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih om

Yusran Darmawan mengatakan...

kan udah dijelaskan di situ. cek lagi lah.

wijatnikaika mengatakan...

Mantap betul

Sofyan Thamrin mengatakan...

Mantap bro, sukses selalu

Posting Komentar