Karena Kita Butuh Prabowo




Betapa membosankannya media sosial belakangan ini. Sejak pilpres usai, sidang MK, hingga berpuncak pada ucapan selamat dari Prabowo, media sosial kehilangan greget. Jadi gak asyik.

Tak ada lagi yang rajin bagikan tautan yang entah dibuat siapa. Tak ada lagi yang sibuk mengajak orang lain berdebat sembari menyoal keyakinan. Tak ada lagi yang rajin membagikan semua hoaks. Kok malah sepi?

Sebenarnya iklim media sosial menjadi lebih terang dan jernih. Ini situasi yang benar-benar damai. Semua orang hanya berbagi hal yang lucu dan unik-unik. Media sosial telah melalui badai dan situasi penuh api kemarahan.

Tapi saya justru merasa hampa. Saya tak lagi menemukan serunya melihat orang saling debat kusir, dengan urat kata yang menegang. Saya kehilangan para analis yang amatannya jauh lebih seru dari para pengamat di televisi.

Dalam banyak hal, huru-hara dan keributan itu cukup menyenangkan. Kita jadi tahu watak dan karakter orang-orang yang selama ini kita kenal. Kadang tak percaya, dia yang amat pendiam tiba-tiba menjadi amat beringas di medsos demi membela seseorang.

Di kampung tetangga, ada tante dan ponakan yang saling maki hanya gara2 beda pilihan pilpres. Malah di kampung sebelah, ada yang tak lagi bertegur sapa. Betapa pilpres ini ibarat banjir yang memisahkan kita ke dalam pulau-pulau yang berbeda.

Kita tak sehangat dulu sebab ada sisa-sisa pertempuran, yang sebenarnya hanya memenangkan para elite. Kita kebagian ampas, debu-debu, serta jelaga dari sisa-sisa pertempuran. Menang dan kalah jadi penting sebab ada kita membawa belati kata yang pernah menusuk kita.

Dalam debat kusir dan pertempuran di medsos itu, kita justru menemukan banyak sisi yang selama ini tak terungkap. Kita pun sering tak menduga kalau kita juga ikut berkontribusi pada sikap saling nyinyir pada sesama.

Para elite mulai rekonsiliasi dan sibuk bagi-bagi kursi dan kue. Kita, netizen yang lugu ini, malah tetap tenggelam dalam situasi pasca konflik. Kita amat berat hati untuk mengulurkan tangan dan menyapa sahabat yang dulu berbeda kubu.

Kita tak bisa menawarkan kursi dan kue, tapi setidaknya kita bisa kembali tersenyum dan berbisik, “Semuanya sudah berlalu, rawatlah semua sikap kritis untuk mengawal bangsa ini. Kalau kau tetap pesimis, tak apa juga sepanjang itu membuatmu bahagia.”

Jujur, saya masih merasa kehilangan medsos yang dulu. Kini hampa. Tanpa greget. Pada akhirnya kita semua sadar bahwa berbeda pilihan selalu indah. Harusnya Prabowo tetap merawat tradisi oposisi biar pendukungnya tetap terkonsolidasi.

Kalau dia ikut-ikutan jadi cebong, betapa sesaknya kolam itu nanti. Betapa tak menariknya medsos tanpa ada perdebatan dan saling sindir. Betapa tak asyiknya dunia ketika semua mengarah pada putaran yang sama.

Kita memang butuh Prabowo. Juga butuh pendukungnya. Kita butuh mengembalikan medsos seperti dulu, saat seorang mahasiswa semester satu merasa hebat kala memaki seorang profesor. Dia merasa keren, saat dunia sedang menertawakannya.

Ah, kini semua terasa hampa.


0 komentar:

Posting Komentar