Ode buat Dandhy Laksono




Aktivis dan jurnalis senior Dandhy Dwi Laksono dilaporkan ke polisi oleh organisasi sayap partai berlambang banteng. Postingannya di Facebook dianggap menghina dan menyebar kebencian pada Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo. Postingan itu dianggap tendensius. Ia dianggap memojokkan sehingga pantas untuk dilaporkan ke petugas keamanan.

Dandhy menulis perbandingan Aung San Suu Kyi dengan Megawati Soekarno Putri. Di mata Dandhy, keduanya punya kesamaan yakni tumbuh dari harapan kuat, namun gagal membumikan harapan. Keduanya tumbuh dari jargon dan slogan melindungi segenap manusia, akan tetapi di jantung kekuasaan, keduanya mudah lupa dengan apa yang dijanjikan. Titik keberatan para pelapor ada pada kalimat:

"Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya ''petugas partai'' (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang." (selengkapnya lihat DI SINI)

Anggaplah kalimat itu salah. Bukankah yang harus dilakukan adalah segera paparkan data pembanding yang bisa menjadi counter atas pernyataan itu? Tunjukkan di mana letak usangnya data-data yang ditawarkan.

Telisik catatan. Buka semua arsip. Bandingkan data, lalu diskusikan dengan mendalam. Buat debat. Biarkan publik yang menilai mana yang benar dan mana yang asal bunyi. Selagi tak ada data pembanding yang kuat, maka kebenaran dalam tulisan itu akan kokoh.

Biarpun tak selalu setuju dengan tulisan Dandhy, sejauh ini saya melihat tulisan-tulisannya justru argumentatif dan ditopang oleh data. Biarpun tak selalu sepakat dengan idenya, saya akan menghargai haknya untuk menyampaikan pendapat. Menilik track-record-nya sebagai jurnalis senior, tentu saja ia tak asal menulis dan berbicara. Ia tak memilih jalan seperti Alfian Tanjung yang melempar tudingan, tanpa mengungkap bukti atas tudingannya.

Yang dilakukannya adalah memaparkan argumentasi, menganalisis kepingan fakta demi fakta, setelah itu mengemasnya menjadi artikel super ringkas sebagai pemantik diskusi. Tak sepakat? Ajukan tulisan pembanding. Biarkan publik dicerahkan oleh diskusi dan perdebatan itu.

Di era 72 tahun setelah kemerdekaan, manusia Indonesia tak mewarisi kecendekiaan para pendiri bangsa. Pada periode kebangkitan, jurnalis Tirto Adhi Soerjo dan Mas Marco Kartodikromo menyengat jantung kekuasaan kolonial melalui goresan penanya di media yang mereka buat.

Dahulu, Soewardi Soerjaningrat menulis esai “Seandainya Saya Seorang Belanda” demi menggedor kesadaran rezim kolonial dan manusia zaman itu. Di generasi sesudahnya, Bung Karno, Bung Hatta, dan Tan Malaka mewarisi tradisi menulis esai yang isinya adalah wacana banding atas kuasa kolonial. Mereka semua pernah memantik murka para penjajah hingga akhirnya menerima hukuman, baik itu dipenjara ataupun diasingkan.

Meski demikian, ide-ide kemerdekaan tak pernah bisa dipasung. Ide yang dipantik melalui tulisan ibarat api yang perlahan membakar ilalang ketidaksadaran. Berkat gagasan dan tulisan pembanding itu, publik bisa menyingkap pekatnya kekuasaan kolonial yang selama ini memenjarakan mereka dalam penindasan. Tulisan-tulisan itu menjadi awal dari nasionalisme dan semangat kebangsaan yang serupa air bah menjebol warisan berpikir kaum kolonialis.

Manusia Indonesia akhirnya menemukan “keakuannya”, melihat dari sebagai pusat, lalu berani menuntut haknya atas kemerdekaan. Makanya, kemerdekaan dimulai dari dialektika ide-ide yang dihangatkan baranya dalam diskusi dan tulisan menyengat para tokoh bangsa. Mereka menginspirasi anak bangsa atas hak dasar yang selama ini terjarah.

Yang menyedihkan, tak semua manusia zaman kini mewarisi kepiawaian tokoh bangsa menyusun aksara demi aksara yang menohok jantung kolonial. Generasi hari ini justru mewarisi cara berpikir kaum penjajah yang memosisikan semua tulisan itu sebagai pencemaran nama baik.

Tulisan ditelisik sesuai dengan selera dan kepentingan. Begitu berbeda, maka tak ada lagi tradisi untuk menulis catatan pembanding yang menebas argumentasi sebagaimana pernah dilakukan Bung Karno muda atas wacana para kolonialis di Nusantara.

Tak banyak yang memilih jalan Bung Karno muda yang menyampaikan kritik melalui tulisan yang setajam pedang. Lucunya, organisasi yang mengklaim sebagai pewaris ide-ide Bung Karno lebih memilih langkah penyelesaian musuh Bung Karno yakni melalui pengadilan yang berujung pada vonis hakim. Di era kekinian, manusia Indonesia lebih memilih menyelesaikan perdebatan itu di kantor polisi dan ruang pengadilan.

Manusia hari ini tak memilih untuk mendialogkan gagasan di kampus-kampus atau taman akademos. Kampus telah lama dianggap penuh para politisi yang hendak berebut jabatan. Taman akademos, yang dahulu didirikan Plato sebagai rumah pencarian pegetahuan dan penemuan kebijaksanaan, telah lama ditinggalkan.

Manusia hari ini lebih suka berdialog di kantor polisi dan ruang pengadilan sebagai tempat untuk menyelesaikan perdebatan. Perbedaan sudut pandang tak lagi didiskusikan dengan para profesor, ilmuwan, peneliti, atau sejarawan yang menghabiskan waktu untuk memahami soal itu hingga mendalam. Orang-orang lebih percaya polisi dan hakim ketimbang mereka yang berada di majelis ilmu.

Yang agak mengherankan buat saya adalah para pelapor menyatakan opini tersebut tidak memberikan solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua.  Dandhy dianggap mengabaikan banyak fakta atas kerja pemerintah di Papua. Mulai dari infrastruktur sampai keberhasilan pemerintah dalam negosiasi dengan Freeport.

Padahal, dalam ranah logika, cara berpikir yang selalu hendak menemukan solusi adalah cara berpikir yang hendak “jump to the conlusion.” Kita seakan hendak mengambil jalan pintas menuju solusi, tanpa memahami detail permasalahan dengan baik. Padahal, solusi yang baik hanya lahir dari pemetaan persoalan yang juga baik.

Tanpa proses diskusi mendalam, penelaahan semua dokumen dan menceburkan diri ke realitas lapangan, kita tak akan sampai pada pemahaman yang benar. Pada sosok seperti Dandhy, kita harusnya menaruh banyak harapan agar nalar negeri ini tetap dihangatkan dengan energi kritik. Pada sosok seperti Dandhy, kita meletakkan pujian (ode) agar bangsa ini tak kehilangan dialektika.

Mungkin ini adalah takdir sekaligus kutukan zaman ini. Para politisi diposisikan seperti malaikat yang tak pernah salah. Segala kritik langsung diposisikan sebagai pencemaran nama baik. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah republik ini, segala sesuatu dilihat hanya dalam dua kubu.

Kalau bukan mendukung, maka pasti oposisi. Kalau bukan Si A, pastilah Si B. Media sosial dipenuhi perdebatan dan hiruk-pikuk di antara dua kubu itu. Padahal, kenyataan begitu kompleks, tak bisa disederhanakan hanya dalam dua posisi.

Saya mengkhawatirkan banyak hal. Alarm kematian dialektika sedang berdentang dengan nyaring. Mungkin, kita akan segera kehilangan dialog-dialog yang mencerahkan. Nalar dan akal sehat akan mati sebab perbedaan diselesaikan melalui laporan ke pihak keamanan. Pada titik itu, kita akan selalu merindukan para pendiri bangsa, yang barangkali sedang bersedih menyaksikan anak cucunya telah menjadi penindas baru.

Di suatu sore yang berawan, sayup-sayup saya mendengar lagu, “Kulihat ibu pertiwi. Sedang bersusah hati.”





1 komentar:

Yudi randa mengatakan...

dan gara2 laporan tersebut, akhirnya menyerang balik sang ibu mega :D
pemilu sudah di depan mata, akankah ini menjadi pukulan

Posting Komentar