Unjuk PRESTASI, Bukan Unjuk Kemarahan


ilustrasi

BANYAK orang Indonesia ribut mempersoalkan bendera yang terbalik di ajang SEA Games di Kuala Lumpur. Bahkan pejabat selevel menteri pun ikut mengeluarkan murka. Respon cepat dilayangkan pihak Malaysia. Mereka mengajukan permintaan maaf secara resmi. Tapi rupanya tak cukup sampai di situ. Persoalan di lapangan pun tiba-tiba saja menjadi dibesar-besarkan hingga menjadi isu nasional. Warga kita amat mudah marah dan terpantik emosinya.

Dalam hati saya memendam banyak pertanyaan. Jika saja prestasi Indonesia tak terkalahkan dan menjadi barometer semua olahraga di ASEAN, apakah kemarahan itu masih akan muncul? Jika saja kualitas sepakbola Indonesia seperti Real Madrid di era Zinedine Zidane, dengan kualitas banyak pemain yang merata di semua lini sebagaimana Timnas Jerman di bawah Joachim Low,  apakah emosinya masih akan tersulut saat satu orang pemain bernama Evan Dimaz dapat kartu kuning?  Andai saja permainan takraw putri kita dua tingkat di atas semua kontestan, apakah mereka masih akan marah hanya karena wasit beberapa kali menyatakan fault? Mudah-mudahan Bapak Menpora bisa menjawabnya.

Saya sepakat bahwa fakta kekhilafan memasang bendera kita yang terbalik memang harus diselesaikan. Jika dipikir-pikir, kekhilafan itu masih mending, Negara kita paling sering melakukan kekhilafan itu kepada warganya. Banyak khilaf yang berujung pada nyawa dihilangkan dan sejarah dilenyapkan. Pada satu masa, banyak darah tumpah hanya karena dianggap khilaf dalam memilih ideologi yang berseberangan dengan pemenang sejarah. Baru-baru ini kita membaca liputan media tentang seorang warga yang dibakar hidup-hidup beramai-ramai. Warga yang membakar mengaku khilaf dan emosi saat mendengar ramai-ramai teriakan maling. Kekhilafan yang kita lakukan sering berakibat lebih fatal. Manusia bisa dibakar hidup-hidup.

Dalam hal bendera, permintaan maaf melalui pejabat selevel menteri cukuplah untuk meredakan persoalan ini. Yang mengherankan saya adalah masih banyak yang belum bisa move on lalu meneriakkan kalimat-kalimat kasar kepada tetangga sebelah, mengait-ngaitkan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan peristiwa itu, lalu membawa-bawa sejarah.

Jika bangsa ini memang besar, jangan tunjukkan itu melalui kemarahan saat melihat kekhilafan orang lain yang memasang bendera itu secara terbalik. Tunjukkanlah kebesaran itu di arena bergengsi berbagai bidang termasuk olahraga. Jika bangsa ini memang besar, buktikanlah kebesaran itu dengan cara menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu paling sering diperdengarkan saat putra-putri bangsa meraih medali emas. Jadilah pemenang yang bisa membungkam semua orang melalui permainan hebat, bukan melalui murka dan sinis di luar lapangan.

Tanya pada diri dengan jujur, seberapa hebat olahragawan kita di panggung internasional. Saatnya kita mengaca dan melihat diri. Lihat saja SEA Games tahun 2015 lalu. Prestasi kita hanya berada di peringkat keenam di bawah negara-negara seperti Thailand, Singapura, Vietnam, dan Malaysia. Bahkan terhadap Singapura yang jumlah penduduknya hanya 5,6 juta orang, kita malah kalah jauh. Tanyalah pada diri, kapan negeri kita yang penduduknya 240 juta orang ini merengkuh keemasan di bidang sepakbola. Singapura yang kecil itu beberapa kali merengkuh emas sepakbola di ranah SEA Games. Apakah kita susah menemukan 11 orang dari 240 juta penduduk yang bisa membawa kita ke tangga kemenangan?

Prestasi Indonesia di SEA Games terakhir

Jika di ranah olahraga, tak banyak yang bisa kita banggakan, lantas apa yang bisa menjadi penanda bahwa bangsa ini besar? Apakah sekadar kemarahan di berbagai media sosial?

Kita seringkali mengidap logika yang keliru. Kita beranggapan bahwa bangsa lain harus takut, keder, dan tiarap saat berhadapan dengan bangsa kita sebagai bangsa yang besar. Tapi pernahkah kita bertanya dalam diri, apa yang membuat orang lain harus takut sama kita? Apakah karena kita selalu mendelik dan menuntut untuk disegani? Apakah sebatas luas wilayah kita yang terbentang jauh dari Sumatra hingga Papua?

Di era ini, luas wilayah bukan lagi tolok ukur kebesaran suatu bangsa. Ukurannya terletak pada sejauh mana kecerdasan dalam mengelola segala hal yang kita miliki menjadi kekuatan besar. Bahkan Taiwan yang hanya sebuah pulau karang bisa demikian disegani karena penetrasinya yang massif di bidang teknologi informasi. Korea Selatan, yang dahulu ekonominya porak-poranda karena perang, kini menjadi kekuatan digdaya di bidang teknologi karena anak bangsanya mempersiapkan diri sebaik mungkin demi mewujudkan visi sebagai bangsa hebat dan unggul. Atau Singapura, yang luasnya hanya seupil wilayah kita menjadi kekuatan ekonomi yang hanya bisa dipandang dengan kagum dari sisi kita, negeri yang mengepungnya.

Bolehkah saya mencurigai bahwa dalam diri kita ada semacam endapan sikap ‘gak rela’ melihat banyak tetangga kita yang dahulunya adalah anak bawang, kini sudah menjadi kekuatan ekonomi yang lebih maju dari kita. Fakta ada jutaan warga kita yang secara ikhlas mengadu nasib di negara sekitar adalah simbol dari ketidakmampuan pemerintah kita memberikan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi anak bangsa sendiri, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang dan telah didengungkan para founding fathers kita.

Boleh jadi, kita mengidap rasa cemburu kepada negeri itu yang dahulunya mengemis ingin bergabung dengan kita, negeri yang dahulunya minta didatangkan guru dari negeri kita, negeri yang dulunya kita ajari bagaimana mengelola pemerintahan, negeri yang dahulu kita pandang sebelah mata, kini sudah menjadi kekuatan yang besar. Negeri-negeri yang dahulu anak bawang, kini sudah jauh lebih makmur dan meninggalkan kita yang warganya masih sibuk menanam kebencian pada pemerintah di berbagai grup media sosial.

Jika memang bangsa ini besar, jadilah bangsa yang benar-benar besar. Bukan karena kemarahan saat harga diri diusik. Logikanya, orang lain tak akan mungkin mengusik anda jika anda memang sangat besar. Tunjukkanlah itu melalui kinerja dan capaian yang akan membuat orang lain berdecak dan kagum. Kembalikan semua supremasi dan kejayaan kita di ranah olahraga sehingga nama bangsa kita sebagai bangsa yang “Sejak dulu kala slalu dipuja-puja bangsa.”

Kebesaran itu bukanlah sekadar klaim, melainkan harus diperjuangan dengan segala daya dan upaya. Untuk itu, perencanaan yang matang adalah jantung dari apa yang disebut sebagai kebesaran itu. Di ranah olahraga, sudah saatnya kita fokus pada kekuatan kita hari ini, kemudian merencanakan banyak hal untuk merebut supremasi kita di masa mendatang.

ilustrasi

Pemerintah harus punya rencana strategis. Tugas pemerintah, khususnya menpora, tak sekadar jalan-jalan ke luar negeri demi mengantar atlit yang hendak bertanding. Prestasinya akan dihitung dari seberapa banyak medali yang dibawa oleh anak bangsa. Ia mesti menyiapkan banyak hal, mulai dari mencukupi kebutuhan atlit, menyiapkan tempat latihan yang representatif, juga memikirkan nasib atlit itu seusai membela negara. Jika seorang atlit dianggap berjibaku membela negara, maka kesejahteraan dan kehidupan mereka menjadi tanggungjawab negara.

Dalam berbagai bidang kehidupan, seorang juara tak selalu dilahirkan. Ia harus disiapkan dengan matang, sehingga siapapun bisa menjadi juara. Negeri kita mesti membangun satu nasionalisme kokoh sehingga semua anak bangsa terpacu untuk menjadi yang terbaik. Nasionalisme kita tidak tercermin pada sikap menghakimi bangsa lain secara membabi-buta kemudian menyatakan perang. Nasionalisme tidak terletak pada kebencian dan kegeraman pada sesama, kemudian berpretensi sebagai nabi yang seolah hendak menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi.

Nasionalisme kita harus diaktualkan melalui keinginan kuat untuk menyejahterakan warga, menegakkan kalimat keadilan di bumi Indonesia, menguatkan sendi negeri di semua pulau-pulau, memelihara politik sebagai arena yang menyempurnakan hidup kita sebagai insan bernegara. Kecintaan pada bangsa diwujudkan dalam curahan perhatian di segala lini kehidupan kita, pada jantung hal-hal yang menyangkut nasib bangsa kita, pada urat nadi mereka yang mencari nafkah di jalan-jalan raya, mengais-ngais rezeki di tepi pasar-pasar negeri ini.

Sebagaimana halnya Bung Karno, kita semua menginginkan garuda yang perkasa dan menjadi mercu suar pembangunan manusia. Kita menginginkan Indonesia yang melanglangbuana dan menjadikan negeri lain sebagai sahabat yang saling mengulurkan tangan demi kedamaian. Kita merindukan Indonesia perkasa yang sanggup menciptakan kedamaian dunia. Kita mendambakan Indonesia yang berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berwibawa dalam hal kebudayaan.

Inilah tanggungjawab bersama yang mesti kita pikul dengan cara banting tulang dan kerja keras. Bukannya bangsa yang hanya bisa menggerutu, tanpa bercermin pada kenyataan hari ini.



Jakarta, 21 Agustus 2017


2 komentar:

Anonim mengatakan...

Bangsa / orang yg pemarah biasanya tanda tak mampu. Kemarahan kolektif bangsa ini jg bs jd merupakan produk dr sikap pemimpin formal (politisi dan pemimpin nonformal (pemuka agama) tertentu yg senang mengobral amarah di ruang2 publik. Pak Yusran, tulisannya mencerahkan !

Anonim mengatakan...

Bangsa / orang yg pemarah biasanya tanda tak mampu. Mengapa warga bangsa ini sangat mudah tersulut emosi secara berlebihan di dalam merespon suatu masalah, bs jd merupakan produk dr sikap pemimpin tertentu (formal dan nonformal / pemuka agama) yg senang mengobral amarah dan ancaman di ruang-ruang publik. Pak Yusran, tulisannya mencerahkan !

Posting Komentar