Membincang MARWAH DAUD


BERAWAL dari keisengan, saya akhirnya terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, pada jelang akhir tahun 1990-an. Tahun pertama belajar, saya tidak punya alasan kuat mengapa harus memilih jurusan ini. Saya pun tak memiliki satu motivasi mengapa memilih tetap bertahan di jurusan ini. Hingga akhirnya, saya mengenal dua sosok yakni Jalaluddin Rakhmat dan Marwah Daud Ibrahim.

Jalaluddin Rakhmat, sering disapa Kang Jalal, adalah akademisi komunikasi yang paling sempurna di mata saya. Dia menulis buku-buku teks terbaik di bidang komunikasi. Bukunya, Psikologi Komunikasi, menjadi buku paling lengkap yang ditulis dengan gaya bahasa paling apik. Saya tak menemukan satu buku teks komunikasi, dalam bahasa Indonesia, sehebat itu sesudahnya. Dia juga penulis produktif yang menulis dengan ringan, namun penuh makna. Biarpun banyak yang mencelanya karena pilihan ideologi yang dianutnya, saya tetap mengidolakan Kang Jalal. Saya belum pernah membaca literatur ilmu komunikasi, dalam bahasa Indonesia, dengan kualitas sehebat karyanya.

Meskipun Kang Jalal tinggal di Bandung, beliau sering datang ke Makassar. Setiap kali beliau datang, saya selalu berusaha menghadiri diskusi dan ceramahnya. Retorikanya juga keren. Dia bisa menyederhanakan ranah kajian komunikasi menjadi sedemikian memikat. Saya masih terpesona dengan uraiannya saat menjelaskan Joseph Goebbels, sosok hebat di belakang Hitler. Kang Jalal menyalakan lentera terang di saat saya tidak tahu apa sisi paling menarik dari ilmu ini. Tulisannya juga menjadi model yang selalu ingin saya tiru. Dia sosok ilmuwan, akademisi, ulama, dan penulis yang saya idolakan hingga saat ini.

Sosok lain yang menginspirasi di masa itu adalah Marwah Daud Ibrahim. Saya mengenal namanya saat bergabung dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Namanya juga sering dibahas oleh para senior di Jurusan Ilmu Komunikasi sebagai alumni yang berprestasi. Marwah memang sosok yang lengkap. Ia bukan saja alumnus Ilmu Komunikasi. Ia juga mantan aktivis pers kampus, organisatoris, cendekiawan, serta punya kedekatan dengan mantan Presiden BJ Habibie.


Pada masa Orde Baru, Habibie adalah simbol intelektualitas. Bisa dibayangkan, betapa hebatnya Marwah yang menjadi salah satu orang dekat Habibie. Sosok Marwah memang sosok yang komplit. Ia seorang orator yang cerdas. Mungkin itu dipengaruhi oleh pendidikannya. Ia lulus dari Ilmu Komunikasi Unhas, kemudian melanjutkan pendidikan di American University. Bagi yang pernah ke rumahnya, pasti tahu kalau Marwah punya demikian banyak koleksi buku-buku. Ia juga betah berdiskusi hingga beberapa jam.

Di kalangan aktivis HMI dan fungsionaris Partai Golkar, Marwah adalah teladan. Sosoknya selalu bisa menguasai forum-forum yang menjadikannya sebagai pembicara. Ia tak sungkan untuk beradu argumentasi. Di akhir masa kekuasaan Habibie, Marwah tampil di depan untuk membela Habibie. Perseteruan dengan Akbar Tandjung  membuat Habibie terjungkal. Di sini pulalah titik meredupnya aktivitas Marwah di partai berwarna kuning itu.

Sebagai anggota DPR RI, ia tak patah arang. Ia sering datang ke kampus Unhas. Ia sangat populer dan punya banyak fans. Ia sering menggelar pelatihan yang tujuannya untuk meningkatkan skill para mahasiswa. Pelatihannya menjadi awal bagi banyak mahasiswa untuk membayangkan seperti apa gerangan ruang bernama masa depan.

Saya pertama melihatnya saat datang ke kampus Unhas untuk memberi training bertemakan Mengubah Hidup Merencanakan masa Depan (MHMMD). Ia adalah fasilitator tunggal yang membantu semua peserta untuk tumbuh dan berkembang. Di pelatihan ini, ia menuntun mahasiswa untuk berani bermimpi. Ia tak membatasi mimpi seperti apa. Baginya, segila apapun mimpi, tetap harus diapresiasi. “Tanpa mimpi, kakimu tak akan pernah beranjak. Kamu hanya jalan di tempat. Mimpi adalah sayap-sayapmu untuk mengangkasa.”

Yang saya ingat dari pelatihan ini adalah mahasiswa diberikan selembar kertas berisikan kotak-kotak yang bernomor satu hingga seratus. Angka itu adalah simbol dari umur. Mulanya, Marwah meminta kami mengisi apa-apa yang sudah dicapai, sejak lahir hingga saat itu. Selanjutnya, kami diminta mengisi kotak-kotak tentang perencanaan masa depan serta target-target yang disesuaikan dengan umur. Menariknya, Marwah selalu mengatakan bahwa siapapun berhak untuk bermimpi setinggi langit sebab punya kekuatan untuk menggerakkan. Ia mengucapkan itu, jauh sebelum saya membaca bukunya Paolo Coelho berjudul Alkemis, jauh sebelum Andrea Hirata menulis Laskar Pelangi.

Pelatihan kedua yang saya ikuti, dengan Marwah sebagai fasilitator tunggal, adalah pelatihan membaca cepat. Ia tak menjelaskan teori, tapi langsung mengajari dengan praktek. Berkat pelatihan itu, saya mulai berani membaca buku-buku tebal yang barangkali butuh waktu berbulan-bulan untuk memahaminya. Saya baru tahu kalau ada metode yang bisa ditempuh untuk membaca buku tebal dalam waktu singkat. Berkat Marwah, saya suka membaca banyak buku.

Pelatihan ketiga adalah pengenalan potensi diri untuk belajar ke luar negeri. Pelatihan ini diadakan oleh Yayasan Orbit. Kalau tak salah, kepanjangan Orbit adalah Orangtua Bimbing Terpadu. Yayasan ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa dari latar keluarga biasa-biasa untuk punya mimpi ke luar negeri. Marwah meyakinkan semua mahasiswa bahwa upaya menggapai cita-cita itu sangat penting bagi siapapun. Ia memberi jaminan kalau lembaga Orbit bersedia memberikan garansi saat mahasiswa hendak mengurus Visa demi studi di luar negeri.

Pelatihan inilah yang pertama membakar semangat saya untuk studi di luar negeri. Marwah demikian piawai mengambil contoh tentang mahasiswa yang berangkat keluar negeri dengan modal nekat. Ada mahasiswa yang hanya membawa modal kemampuan mengaji alu mengajari keluarga Indonesia di sana. Di pelatihan ini, Marwah menghadirkan Tanri Abeng, yang saat itu dijuluki manajer satu miliar. Tanri bercerita kalau dirinya sempat keder saat ditantang untuk memimpin perusahaan besar yang karyawannya banyak warga asing. “Karena saya minder, maka saya mencari strategi. Saya lalu memelihara kumis. Saya merasa lebih pede dan lebih berani mengambil sikap. Berkat kumis ini,” katanya. Jujur, sampai kini, saya tak mengerti apa hubungan antara kumis dan rasa percaya diri.

Di mata saya, Marwah adalah tipe intelektual yang membumi. Dalam posisi puncak sebagai anggota DPR RI dan tokoh kunci Partai Golkar, ia bersedia untuk keliling Indonesia lalu menebar inspirasi di mana-mana. Ia sudah punya ribuan pengikut, yang masa kini disebut follower, pada masa ketika orang-orang belum terhubung media sosial. Kontribusinya banyak dan bisa disaksikan pada banyaknya orang yang menemukan jalannya berkat upayanya menyingkirkan gulma dan parasit yang merintangi langkah seseorang. Ia menunjukkan arah ke mana harus bergerak demi membumikan mimpi-mimpi. Dalam satu pelatihan, saya tiba-tiba diminta memperkenalkan diri, serta menyebut apa yang menjadi keahlian.

“Di usia semuda ini, apa keahlianmu?” tanyanya. “Saya sendiri tidak tahu. Sepertinya saya suka menulis diary,” jawab saya.“Kamu harus penuh percaya diri. Katakan, saya seorang penulis, yang kelak akan jadi penulis hebat,” katanya. 
Mungkin saat itu ia sedang menyanjung. Mungkin pula ia bercanda. Tanpa disadarinya, ia sedang menyulut api semangat seorang mahasiswa baru yang tiba-tiba saja merasa bangga karena mendapatkan apresiasi hebat dari orang sehebat dirinya. Jika ia konsisten memotivasi semua mahasiswa, saya bisa membayangkan betapa banyak orang yang telah diberinya cahaya hendak ke mana. Di tengah ketiadaan apresiasi dan motivasi di dunia kampus sebab semuanya tenggelam dalam rutinitas, kehadiran Marwah menjadi mercusuar yang menunjukkan arah.

***

Ini tahun 2016. DI banyak media televisi, di banyak media cetak, dan di banyak kanal media sosial, Marwah tengah dibahas. Ia menjadi bahan olok-olok sebagai intelektual yang percaya pada Kanjeng Dimas Taat Pribadi, yang katanya bisa menggandakan uang. Saya melihat Marwah yang dahulu begitu kharismatis, tiba-tiba “dibantai” dalam satu acara talkshow yang menghadirkan banyak pakar dan ulama.

Banyak yang menyebut Marwah telah salah jalan. Ada yang berkata dalam bahasa Bugis agar dirinya kembali menjadi Marwah yang dulu. Di banyak grup Whatsapp dan media lokal, saya menemukan banyak tulisan yang ditujukan ke Marwah. Kebanyakan menginginkan Marwah yang dahulu, yang rasional, yang cerdas, yang suka membimbing orang lain ke jalan yang benar.

Saya tidak dalam kapasitas untuk menilai dirinya. Saya amat yakin bahwa dirinya mengalami banyak hal yang lalu mengubah kemudi hidupnya ke satu arah. Saya percaya dirinya menyimpan banyak kisah yang tak akan dikisahkan secara lepas ke semua orang. Seperti apapun itu, saya menghargai apapun pilihan dan keyakinannya. Tak hanya terhadap Marwah, saya juga menghargai apapun keyakinan orang lain. Bahkan terhadap penyembah pohon pun, saya akan mengangkat persaudaraan, dan tak berniat mengintervensi keyakinannya.

Sebagai seseorang yang pernah belajar padanya, saya tetap mencatat nama Marwah sebagai salah satu guru yang menunjukkan arah. Sampai kapanpun, Marwah adalah sosok yang pernah mengajari anak-anak muda untuk menata kehidupan lebih baik, berani bermimpi, membaca lebih cepat, dan bisa melanjutkan pendidikan setinggi mungkin. Marwah masih menjadi ibu yang dengan segala pengalamannya telah menemukan satu dunia baru, yang menggerakkan hatinya untuk berbuat baik, pada koridor yang dianggap keliru oleh orang lain. Untuk soal keyakinan, saya tak ingin banyak berkomentar. 

Tapi untuk soal dedikasi, intelektualitas, serta kontribusi, saya akan selalu bersaksi bahwa dirinya menggores hati banyak orang dengan motivasi dan kalimat-kalimat positif. Untuk soal integritas dan tanggungjawab generasi, ia telah menuntun banyak anak muda untuk menemukan dirinya. Untuk soal aktivitas sosial, ia adalah seorang pendidik dan pengajar yang selalu menolak untuk dibayar.

Saya tak ingin ikut menghujat. Malah saya ingin selalu mendoakannya agar selalu mendapat kebaikan di lintasan manapun ia melangkah. Semoga saja ia terus menyalakan api pengetahuan di hati banyak orang, biarpun dirinya terus disorot dan dicaci. Dalam satu pesannya kepada seseorang, ia meminta izin untuk terus melakukan perjalanan. Andaikan saya bisa mengirimkan pesan padanya, saya ingin sekali berkata, “Semoga Kak Marwah selalu bahagia di semua perjalanan. Semoga selalu menggores jejak di hati anak-anak muda yang hendak menemukan potensinya.”






22 komentar:

Wijaya kusumah mengatakan...

Aamiin

Dian Kelana mengatakan...

Setiap orang pernah terpeleset dan jatuh, begitu juga saya. Jadi saya bisa mengerti kalau saat ini dia merasakan apa yang pernah saya rasakan, dan sayapun tidak akan menghujatnya. Karena dalam perjalanan hidup adakalanya memang diperlukan keterpelesetan dan kejatuhan itu, agar kita tahu bagaimana caranya bangkit.

Nur Terbit mengatakan...

Saya mengenal Marwah dari jauh dari aktivitasnya di berbagai bidang. Ya hanya sekedar itu sekalipun kami sesama Bugis-Makassar, sekampung di Sulsel.

Saya baru kenal beliau secara dekat, maksudnya sempat jalan bareng jelang Pilpres lalu karena saya wartawan. Marwah mendukung salah satu capres-cawapres yang tidak terpilih. Marwah memang hebat. Salam

@NurTerbit

Yusran Darmawan mengatakan...

makasih omjay. salam.

Yusran Darmawan mengatakan...

mantap pak dian. super sekali.

yani mengatakan...

Apa yg diceritakan penulis,adalah kopi paste pengenalan saya tentang beliau,saya adalah anak muda saat itu yg banyak keinginan dan banyak mimpi,Kanda MDI,begitu sapaku,adalah orang yg saya kenal selalu menggenggam tangan juniornya utk menuntunnya menggapai mimpi.Jika yg beliau sedang diperjalankan spiritual seperti ini,begitu sulit saya mendebatnya,sebab saya tahu beliau adalah pelaksana syariat Islam dan membumikan Rasulullah Nabi Muhammad sebagai uswatun hasana....kami selalu mencintai dan menghormatimu Kakanda dan mendoakan atas segala pilihan "diperjalankan"

Unknown mengatakan...

Bu..marwah adalah pahlawan indonesia..

Unknown mengatakan...

Bu..marwah adalah pahlawan indonesia..

Anonim mengatakan...

Positive view...semoga semakin banyak anak muda yg melihat sisi kebaikan secara dominan...siapa bisa memilih ujian yg harus ditempunya...mari berhikmah dr setiap kejadian..

seponadajuga mengatakan...

Aamiin...
Ulasan yang keren, tentang perempuan keren yang juga idola saya. Makasih Om Yusron.

spirit-literasi.id mengatakan...

Tulisan yang keren. Saya belum pernah bertemu dengan Bu Marwah, juga belum pernah ikut pelatihan beliau. Tetapi buku beliau yang kalau tidak salah berjudul "Perempuan, Emansipasi dan Teknologi" yang diterbitkan Mizan Bandung menemani jejak studi saya di pertengahan 1990-an. Semoga Bu Marwah menemukan bahagia dengan jalan yang dipilih.

http://asnawi-manaf.blogspot.com/p/pengabdian-masyarakat.html mengatakan...

Aamiin. Semoga bu Marwah Daud Ibrahim...selalu dalam lindunganNya

Unknown mengatakan...

Mengagumkan.., ini sisi lain bu Marwah yang tentunya paling dominan dalam kehidupannya, tertimbun di bawah pemberitaan media tentang "pedepokannya". Salut dari kacamata seorang jurnalis sastra, Muh.YD

Unknown mengatakan...

Super sekali

Unknown mengatakan...

Seandainya hari ini sy bisa bertemu belio maka sy akan banyak menipa ilmu

Nahri mengatakan...

Dahsyat !!! Tulisan hebat dari penulis hebat tentang orang hebat...

Uruqul Nadhif Dzakiy mengatakan...

saya juga pernah ikut training MHMMD di Jaksel. Setelah usai training dan balik ke Bandung, saya borong buku2 terkait manajemen di Gramedia sampe habis lebih dari 500 ribu. Itu satu cuplikan memori saya dengan Bu Marwah disamping meuliskan rencana hidup harian, bulanan, tahunan, dan seumur hidup

Profesor Ndeso mengatakan...

Sy belum tahu bnyak tentang Bu Marwah Daud,,hnya lintasan nama yg sering terdengar di media masa.tp tiba2 sy seolah diajak berkenalan dg beliau,sehingga seolah sy skrang sdh tau persis apa dan siapa MD?, tak adil memang. tp justru yg sy banyak pelajari malah betapa besar peran dan efek kalau punya murid hebat..

Roman99 mengatakan...

Butuh satu tahun bagi saya untuk menerima kenyataan/fakta ttg Kemampuan seorang Kanjeng Taat Pribadi; itu ucapan Ibu MD pada suatu wawancara. Terkadang mmg hal2 yg tdk rasional sulit kita terima jika itu kita tdk lihat dan alami sendiri, terlepas itu ilusionis atau apapun namax. Wallahu A'lam.

Unknown mengatakan...

Saya bukan seorang yang kenal MDI, tapi jujur saja melihatnya membela Dimas Kanjeng dalam persoalan mengadakan uang yang sulit diterima akal sehat, membuat hati saya tergores, apalagi setelah melihat latar belakang beliau (MD) sebagai salah seorang intelektual Indonesia. seandainya mendiang Tan Malaka masih hidup, apa yang akan dia katakan ya?, melihat bangsa ini masih diselimuti kabut tebal mistisme.

Salam Hangat

Anonim mengatakan...


memang apa yang di yakini bu Marwah Daut Ibrahim bagi kalangan yg tdk tahu akan mengatakan tdk masuk akal atau penipuan tapi bagi saya yg pernag merasakan pelajaran atau pernag belajar spiritual ke marifatan pasti mengatakan kenyakinan MDI itu pasti ada yg tdk bisa di bicarakan di muka umum sbb ada rahasia di atas rahasia . itu yg tahu pasti MDI bersama gurunya. saya percaya 100% itu kebenaran yg dikatakan BU Marwah

Unknown mengatakan...

Iya.. kenapa yah sosok sekelas MDI bisa terjerumus kepada masalah irasional... sepertinya intelektualitas tidak jadi jaminan bisa menuntun pribadi seseorang… gue ambil hikmahnya ajah.. !!! Jangan ketipu MISTISME... !!!

Posting Komentar