SEBUAH kehormatan saat saya diajak makan malam
oleh Zulficar Mochtar, sosok yang kini menjadi pejabat penting di Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP). Beliau kini mejabat sebagai Kepala Balitbang,
sekaligus pelaksana Dirjen Perikanan Tangkap, dua jabatan paling prestisius di
kementerian itu. Beliau adalah sosok kedua setelah Hilmar Farid (Dirjen Budaya
di Kemendikbud), yang bukan berasal dari birokrat. Beliau aktivis NGO yang
kemudian lolos lelang jabatan, dan menjadi pejabat eselon satu di kementerian.
Saya datang memenuhi undangannya sebagai
sahabat. Saya pikir makan malam ini akan dihadiri banyak orang. Ternyata, ia
hanya datang berdua dengan istrinya. Saya tiba-tiba merasa penting, apalagi
undangan ini telah beberapa kali diajukannya. Selama ini saya sok sibuk dan
suka menunda. Sejak dia menjabat sebagai dirjen, saya belum pernah bertemu
fisik. Kami hanya saling sapa lewat grup whatsapp. Itupun lebih banyak
kompa-kompa, sebutan bagi tindakan saling memuji-muji, sesuatu yang lazim
dilakukan para sahabat di Makassar.
Sejak tiga tahun silam, saya mengenal sosok ini
saat sama-sama berpartisipasi pada kegiatan di Kementerian Kelautan. Di mata
saya, dia adalah sosok yang komplit. Tak hanya cerdas dan menguasai seluk-beluk
dunia kelautan, dia sahabat yang baik. Berbincang dengannya bisa membuat kita
lupa waktu. Ia tak pernah kekurangan bahan cerita, guyonan, ataupun detail-detail amatan lapangan yang bisa
membuat diskusi terus mengalir.
Saya sangat antusias saat bertemu dengannya.
Apalagi, dia belakangan ini menjadi orang kepercayaan Susi Pudjiastuti, ibu
menteri yang belakangan sangat populer. Saya senang karena bisa dapat banyak
kisah-kisah di balik birunya laut, serta kebijakan negara. Ficar demikian ia
disapa, membagikan beberapa keresahan. Satu yang paling penting adalah betapa
banyaknya kekayaan laut kita yang dicaplok negara lain. “Kita kehilangan
sekitar 300 triliun kekayaan yang semestinya dinikmati anak bangsa, semestinya
bisa menyejahterakan nelayan,” katanya.
Saya tertegun saat dirinya bercerita tentang
laut kita yang menjadi medan pertarungan para pebisnis dan kapitalis dari
negeri luar. Saya menemukan banyak pencerahan tentang laut kita yang terus-menerus
dijarah, dan ketidakmampuan kita untuk mengawal semua kekayaan itu. Sungguh
ironis saat mengetahui fakta kalau salah satu akantong kemiskinan di negeri ini
adalah kampung-kampung nelayan yang terletak di pulau-pulau terluar. Jika
lautan bisa dikelola dengan baik, seharusnya nelayan menjadi pihak yang paling
diuntungkan, pihak paling sejahtera.
Dia juga membahas beberapa kebijakan yang akan
dikeluarkannya, Di antaranya adalah pembagian lebih 3.000 kapal buat nelayan.
Ia juga menyiapkan kebijakan asuransi bagi nelayan, yang sakan sangat membantu
nelayan saat tidak melaut. Kalaupun ada risiko yang dihadapi nelayan, semisal
meninggal saat mencari ikan, asuransi itu akan menyediakan dana hingga 200 juta
rupiah. Jika kebijakan itu terrealisasi, maka ini bisa menjadi berita gembira
bagi semua nelayan di tanah air.
Di akhir pertemuan, ia mengajukan pertanyaan, “Apakah
kamu punya teman nelayan yang menurutmu layak untuk kita bantu?”
0 komentar:
Posting Komentar