Lelaki MANDAR di Pulau Kodingareng

dermaga di Pulau Kodingareng

DI Pulau Kodingareng, pulau kecil yang jaraknya sepenanakan nasi dari kota Makassar, saya bertemu seorang bapak yang tak pernah mengenyam pendidikan, namun bisa mengelola keuangan dengan cakap. Dengan kertas lusuh, bapak itu mengelola semua pembukuan keuangan dengan ingatan setajam seorang akuntan senior.

Dalam diskusi selama beberapa saat, bapak itu membuat saya menyadari bahwa pengetahuan ibarat jalan yang dibangun dari pengalaman, hasrat ingin tahu, serta keikhlasan untuk belajar. Dengan tuturan sederhana, bapak tua itu mengajarkan saya banyak hal, mulai dari pengelolaan sarana dan prasarana, pembuatan laporan keuangan, serta bagaimana melayani masyarakat banyak.

***

BAPAK itu memperlihatkan sebuah buku yang kertasnya agak kumal. Di situ, terdapat tulisan nama beberapa warga desa, serta tabel-tabel. Katanya, tabel itu berisikan nama-nama mereka yang mengambil air galon. Ia menyusun pembukuan, mencatat semua pengeluaran, lalu menghitung keuntungan bulanan.

Saat singgah di Pulau Kodingareng, bapak tua bernama Haji Musdin atau sering disapa Haji Musu itu menyambut saya di pelabuhan kecil pulau. Ia menunjukkan desalinator air laut yang merupakan bantuan pemerintah dua tahun silam. Saat itu, pemerintah banyak memberikan bantuan desalinator air laut ke pulau-pulau kecil. Tapi di banyak tempat, alat itu malah teronggok rusak dan tidak dimanfaatkan oleh warga secara maksimal.

Haji Musu mengaku asli Suku Mandar. Sejak dulu hingga kini, ia adalah nelayan yang bermodalkan perahu kecil bisa menantang samudera. Garis takdirnya serupa gelombang laut yang bisa membawanya ke manapun. Hingga suatu hari, perahunya tertambat di Pulau Kodingareng yang dihuni kebanyakan warga etnis Makassar. Di situlah ia menambatkan hatinya pada seorang gadis, yang kemudian menjadi teman setianya hingga keriput menjalari tubuhnya yang semakin ringkih.

Kertas kumal yang diperlihatkannya itu berisikan nama-nama serta kebutuhan warga atas air bersih yang dihasilkan alat desalinator air laut. Desalinator adalah alat pengubah air laut yang asin itu menjadi air bersih yang aman dikonsumsi oleh masyarakat. Bapak itu adalah pengelola desalinator, sekaligus mengatur uang yang dibayar warga untuk setiap galonnya. Uang itu akan dipakai untuk membayar honor operator serta pengantar air. Juga untuk pengembangan usaha itu sehingga layanannya dirasakan banyak orang.

Catatan yang dibuat Haji Musu

Beberapa waktu lalu, saya berkunjung ke pulau itu demi menyaksikan langsung bagaimana sejauh mana efektifitas bantuan pemerintah ke pulau kecil. Jika efektif, maka pemerintah akan menambah skala bantuan sehingga layanannya lebih luas. Jika gagal, maka akan ada evaluasi yang lalu menjadi catatan untuk dikembangkan pada tahun-tahun mendatang.

Di beberapa pulau kecil di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, saya menemukan beberapa alat yang tak lagi digunakan. Malah di satu pulau, alat itu menimbulkan masalah. Saat alat desalinator itu datang, masyarakat mulai tergantung pada keberadaan alat. Setiap hari, mereka mengambil kebutuhan air minum dari alat itu. Tapi setelah alat itu tidak berfungsi, masyarakat butuh beradaptasi lagi dengan cara lama. Beberapa yang kesulitan adaptasi lalu memaksa penanggungjawab alat itu untuk menghubungi kontraktor pembuatnya. Saat kontraktor tak mau bertanggungjawab, masyaraat hanya bisa menggerutu. Ketidakpercayaan pada pemerintah semakin menebal.

Haji Musu membuat saya terhenyak. Dia menunjukkan bagaimana seharusnya mengelola bantuan secara efektif. Berkat iuran yang dibayarkan warga, ia bisa membeli sepeda motor yang lalu digunakan sebagai sarana transportasi untuk mengantar air galon. Sejak alat itu dioperasikan, ia mencatat dengan rapi semua transaksi pembelian air. Bahkan, ia juga masih menyimpan catatan ketika alat desalinator pertama kali difungsikan di pulau kecil yang didiaminya.

Mulanya saya tak percaya. Ia lalu masuk rumah, lalu keluar sambil membawa tumpukan kertas kumal. Ia tersenyum saat menunjukkan transaksi yang terjadi, serta ke mana saja sisa uang dibelanjakan. Kertas-kertas kumal itu masih bisa dibaca dengan jelas. Di situ tertera tulisan “air galon ketika dijual di tempat.” Maksudnya, siapa saja bisa membeli air galon di dekat desalinator. Tulisannya adalah tulisan bersambung yang amat mudah dibaca. Ia mencatat siapa saja yang melakukan transaksi pada hari tertentu. Catatan itu menjadi jejak sejarah tentang proses belanja pada satu masa.

Berkat catatan kumal itu, ia bisa mempertanggungjawabkan proses pembelian sebuah sepeda motor yang kemudian berguna untuk mengantarkan galon ke seantero pulau. Wawasan bisnisnya cukup baik. Ia sudah bisa memperkirakan seberapa banyak keuntungan yang didapatkan selama setahun. “Saya sudah bisa perkirakan berapa galon yang habis dalam satu hari. Makanya, saya sudah bisa hitung berapa keuntungan bulanan,” katanya ketika ditanya tentang prediksi keuntungan.

Uniknya, ia tidak pernah mendapatkan pendidikan akutansi atau pengelolaan keuangan. Sekolahnya hanya sampai level sekolah menengah di pulau itu. Akan tetapi ia bisa mengelola alat desalinator, yang anggotanya puluhan orang. Ia belajar keuangan, tanpa belajar ilmu keuangan di sekolah formal. Ia punya kapasitas memimpin, walaupun ia tidak belajar khusus tentang ilmu kepemimpinan.

nelayan di Pulau Kodingareng
Haji Musu di Pulau Kodingareng

Catatan Haji Musu itu tidak serapi akuntan yang menyusun neraca dalam lajur debet dan kredit. Ketika saya melihat catatannya, saya sendiri tidak mengerti apa yang ditulisnya. Saat saya tanyai, ia bisa menjelaskan dengan detail apa makna dari angka dan simbol yang dibuatnya di situ. Catatannya rapi dan membuat saya kagum. Dalam bayangan saya, tak masalah mencatat dengan cara apapun. Anda bisa mencatat angka dalam tabel ataupun tidak. Terserah Anda, apakah perbanyak angka ataukah cuma simbol-simbol tertentu. Yang paling penting adalah anda bisa menjelaskan bagaimana kas masuk, kas keluar, dan simpanan. Itulah hal substansi dari setiap pencatatan.

Selalu saja ada banyak hal mencengangkan ketika di lapangan. Mereka yang dihinggapi bias kota akan menganggap bahwa orang-orang desa ataupun orang-orang pulau tak memahami bagaimana membangun sistem keuangan dan perencanaan. Seringkali ada anggapan bahwa pendidikan adalah satu-satunya tolok ukur untuk menilai kapasitas seseorang.

Seringkali, lembaga pendidikan memapankan apa yang disebut kebenaran dan bukan kebenaran. Seringkali kita menganggap diri kita lebih pandai dan berperadaban ketimbang ornag kampung. Saat bertandang ke kampung, kita lalu menceramahi mereka, mengajari mereka sesuatu yang boleh jadi lebih diketahui mereka, atau malah seringkali hendak sok tahu di hadapan mereka tetang kondisi kampung itu sendiri. Kita dihinggapi pandnagan angkuh yang merasa diri lebih tahu dari mereka.

Saya teringat Robert Chambers, seorang maha guru bagi para pelaku perubahan sosial, yang gandrung dengan pendekatan partisipatif. Kata Robert Chambers dalam buku Whose Reality Counts: Putting the Last First (1997), kampung telah menjadi korban penjungkir-balikan (putting the last first) dari pihak luar kampung (outsiders) yang mengaku serba tahu tentang kampung. Mereka, para outsiders ini, sering merasa lebih tahu. Pengetahuan warga kampung lalu diabaikan dan tak pernah mendapat porsi yang semestinya, yakni sebagai mercusuar bagi masyarakat untuk melangkah maju.

Tapi bapak Haji Musu menunjukkan kepada saya bagaimana mengelola laporan keuangan dengan rapih. Sebagai generasi sekolahan yang pernah belajar di magister, malah saya yang terkesan dengan kemampuannya mengingat lalu membuat format laporan keuangan sendiri.

Tak hanya laporan keuangan. Di level komunitas, ia menggerakkan kelompok masyarakat dan senantiasa berhubungan dengan pemerintah. Ia bertanggungjawab atas pengelolaan sarana dan prasarana di pulau kecil yang dimaksudkan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat.

buku yang saya buat setahun silam

Ia bercerita dengan lancar tentang bagaimana pengelolaan sarana dan prasarana yang seharusnya mengakomodir dan mengedepankan kepentingan masyarakat sebagai penerima manfaat program efektifitas sarana dan prasarana di pulau pulau kecil berbasis masyarakat. Proses dan pelibatan masyarakat adalah merupakan kunci dalam setiap tahapan pengelolan sarana dan prasarana mengingat kegiatan pemikiran, ide-ide dan perumusan tindakan-tindakan dapat memberikan manfaat di masa yang akan datang, baik berkaitan dengan kegiatan-kegiatan operasional dalam pengadaan, pengelolaan, penggunaan, pengorganisasian, maupun pengendalian sarana dan prasarana.

***

KISAH Haji Musu yang sukses sebagai pengelola bisa mendatangkan banyak inspirasi. Namun, setiap kali ditanya tentang kisah suksesnya, ia selalu mengelak. Baginya, apa yang didapatnya adalah buah dari kerja keras semua anggotanya. Ia lalu menunjuk rekan kerjanya yang dianggapnya lebih tahu banyak daripada dirinya.

Kembali, saya temukan satu hal menarik dari dalam dirinya. Ternyata ia juga seorang yang humble dan tak hendak menyombongkan dirinya. Baginya, hal paling penting adalah bagaimana melibatkan orang lain dalam kerja-kerja pelayanan, kemudian memberikan manfaat luas kepada orang banyak.

Di pulau kecil itu, saya tertegun saat bertemu lelaki hebat ini.


Bogor, 19 Agustus 2016

Catatan:

Tulisan ini adalah bagian kecil dari buku Membangun Indonesia dari Pinggiran yang saya buat bersama Moh Abdi Suhufan dan Syofyan Hasan. Setelah membaca kembali tulisan ini lalu menelaah ulang data lapangan yang saya kumpulkan, saya lalu melakukan pembenahan seperlunya untuk tayang di blog ini.

2 komentar:

Arif mengatakan...

Semoga bukunya masih ada di Gramedia, pengen sekali mengoleksinya. Apalagi ada juga ulasan tentang kampung halaman, Wakatobi.

Di sisi lain, bukunya belajar cara menulis seperti tulisan di atas yang mengalir dan membawa pembaca, termasuk saya seakan berada di lokasi.

Unknown mengatakan...

Si bapak orang yang benar2 hebat...masyaallah...semoga beliau selalu diberi kesehayan.agr anak cucu sodara bisa belajar banyak dr beliau

Posting Komentar