Mereka yang Mengepung Jusuf Kalla



SEPINTAS, panggung politik kita seakan baik-baik saja. Tapi di balik layar, terdapat adu strategi, adu jegal, dan adu kunci antar aktor. Ada yang ingin jadi pemain kunci, dan ada pula yang digencet hingga diciutkan perannya hingga minimalis. Itulah yang terjadi pada sosok Muhammad Jusuf Kalla. Betapa massifnya serangan,  cerca, hingga ‘lemparan tikus’ yang diarahkan padanya. Sebagai sekondan, ia tak leluasa memainkan bidak caturnya. Siapa yang membayang-bayangi langkahnya?

***

SEBUAH pesan berantai beredar melalui jejaring sosial. Isinya adalah seruan demonstrasi untuk mengecam Jusuf Kalla (JK). Pemicunya adalah media online yang memberitakan pernyataan Budi Waseso. Tanpa mengecek benar tidaknya informasi itu, massa dihasut untuk bergerak. Mereka diminta untuk melempar tikus ke rumah JK. Ada apakah gerangan?

Selama sebulan terakhir, posisi JK serba dilematis. Ia tak bisa melenggang dengan tenang. Saya bisa merasakan kalau dirinya seakan tak nyaman. Ia seolah duduk di atas bara panas. Di media sosial, apapun yang dilakukannya akan dianggap salah. Para pemerhati media merasakan adanya sebuah grand scenario yang hendak menimpakan semua kesalahan pada JK.

Sebulan terakhir, Menko Maritim Rizal Ramli langsung menabuh genderang perang. Ia langsung menuding program yang diinisiasi JK sebagai program yang tidak realistis. Bahkan, kasus Pelindo pun dikait-kaitkan dengan posisi JK. Publik hanya melihat Rizal Ramli sebagai menteri yang berani menentang wapres. Tapi persoalannya tak sesederhana itu. Di belakang Rizal, pastilah ada mastermind yang sengaja membiarkan skenario ini terus berjalan.

Posisi JK adalah dikepung oleh dua kekuatan besar yang setahap demi setahap telah menggerus ruang geraknya. Publik lupa, bahwa di belakang Rizal, ada sosok Luhut Binsar Panjaitan yang dikenal cerdik dalam memetakan strategi. Sejak awal pemerintahan, Luhut telah menunjukkan kapasitas lobinya saat bisa menjinakkan Koalisi Merah Putih (KMP). Ia juga semakin menunjukkan kelasnya saat menggiring Prabowo ke istana untuk bertemu Jokowi. Dengan posisi Luhut Binsar Panjaitan yang semakin menguat dan bisa mengendalikan dinamika politik, masih adakah ruang bagi JK?

Di tanah air, posisi sebagai kosong dua selalu dilematis. Anda tak boleh punya gagasan besar. Anda hanya bisa menjadi pengekor dari siapapun yang menjadi kosong satu. Gerak anda terbatasi oleh sejauh mana gerak dari tim kosong satu. Anda juga tak boleh unik, jika itu bisa mengancam si kosong satu, atau minimal mereka yang melingkari kekuasaan.

Jika politik adalah arena pertempuran, maka anda harus punya amunisi yang bagus untuk memenangkannya. Minimal untuk membangun basis pertahanan agar tidak mudah menjadi sasaran tembak. Pada titik inilah kita bisa meneropong posisi Jusuf Kalla yang amunisinya dipreteli perlahan-lahan.

JK memang berada di panggung kuasa. Namun, posisinya tak sekuat saat mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, JK memiliki basis partai yang kuat yakni Partai Golkar. Ia merasa bebas bergerak ke manapun sebab ada barisan besar yang sedang mengikuti langkahnya. Partai Golkar menjadi partai pendukung pemerintah, yang setiap saat bisa menjadi basis pertahanan sekaligus memberikan daya gedor bagi JK.

Kini, JK ibarat ronin yang tak punya rumah untuk kembali. Sebagai pendamping presiden, ia tak punya ‘mainan’ yang bisa membuat orang lain mendongak kepadanya. Di masa-masa awal pemerintahan, ia kerap disebut-sebut sebagai anggota KMP, yakni Kalla Mega Paloh yang dianggap sebagai sosok-sosok yang mengendalikan Jokowi.

Kini, bulan madu Kalla Mega Paloh itu akan segera berlalu. Perlahan, Jokowi mulai menemukan self confidence atau rasa percaya diri bahwa dirinya bisa mengendalikan politik. Dengan mengandalkan sumpah setia militer yang mendukung dirinya, Jokowi perlahan-lahan mulai menemukan bentuk permainannya. Ia mulai melepaskan pengaruh dari KMP demi membangun arena politiknya.

Di mata saya, Jokowi bergerak di lintasan yang dahulu dilalui Soeharto, Presiden ke-2. Pada masa Soeharto, politik dikelola dengan amat halus, sehingga pergesekan tak nampak dari luar. Lihat saja, betapa cerdiknya Soeharto membatasi ruang gerak seorang tokoh yang bisa mengancam dirinya. Saat Jenderal M Jusuf menjadi panglima ABRI dan popularitasnya melejit, Soeharto menghadapinya dengan cara mendorong Jenderal LB Moerdani masuk gelanggang untuk mengunci gerak Jenderal Jusuf.

Hingga akhirnya, LB Moerdani menjelma sebagai sosok besar yang secara perlahan mulai memgancam Soeharto. Kembali, Soeharto mendorong beberapa nama yakni Try Sutrisno, Feisal Tanjung, dan R Hartono (kelompok yang dahulu dianggap jenderal hijau) untuk mengganjal Moerdani, yang dahulu dijuluki jenderal merah. Isu kristenisasi dihembuskan demi menghambat Moerdani. Di tengah duel sengit itu, Soeharto duduk manis di singgasananya. Strategi ini juga dilakukan di level masyarakat sipil dan sukses dimainkan Ali Moertopo.

Senada dengan strategi Soeharto, nampaknya Jokowi juga mendorong sosok lain untuk membayangi dan mengunci pergerakan JK. Beredar dugaan kalau sosok itu sejak lama dimainkan secara cerdik oleh Luhut Binsar Panjaitan. Belakangan, Rizal Ramli ikut masuk arena dan perlahan juga menggencet JK. Ia juga dibayang-bayangi Luhut Panjaitan yang posisinya menguat sejak kewenangan Sekretariat Presiden kian diperluas, sehingga mengecilkan peran Wapres.

Sebagai publik, kita sedang dipertontonkan dengan drama yang tak menarik. Betapa menjemukannya melihat bagaimana sosok JK yang kian sepuh harus dibayang-bayangi oleh pergerakan Rizal Ramli dan Luhut Panjaitan. Kita sedang menyaksikan sebuah drama yang sungguh tak menarik saat menyaksikan bagaimana langkah-langkah wapres dikuntit lalu dicari celah-celahnya dan diumumkan secara terbuka ke hadapan publik. Apa yang bisa diharapkan dengan langkah politik semacam ini?

Yah, apa boleh buat. Politik kita diselubungi kelambu yang tertutup dari luar. Yang bisa dilakukan adalah kegaduhan, tanpa mengetahui siapa saja aktor serta apa kepentingan yang bermain di kegaduhan itu. Para pemain politik kita serupa pemain catur yang tenang dalam mengarahkan bidak. Terlihat damai, namun di dalamnya ada gesekan kepentingan, kekuatan, serta pengaruh. Di kegaduhan itu, JK sedang mencari jalan keluar yang paling damai, sebagaimana peran-peran yang pernah dilakukannya.

Yang pasti, sejarah masih mencatat bahwa pada pemilu presiden lalu, publik memilih Jokowi - Jusuf Kalla. Bukannya Jokowi - Luhut. Bukan pula Jokowi - Rizal Ramli. Nah, bersegeralah menemukan kata damai di tengah seliweran isu.


Bogor, 9 September 2015

BACA JUGA:






1 komentar:

Anonim mengatakan...

Itulah sebabx sy tdk memilih pasangan ini di pilpres kemarin walau sy sangat mengagumi JK... JK hanya akan dijadikan alat o/ konstituen presiden yg sekarang. Entah mengapa JK jg tdk konsisten dgn keyakinan awalx ttg inkapabilitas jokowi u/ jd capres...

Posting Komentar