Lima Teori Atas Haluan Politik PAN



TANPA banyak wacana, Zulkifli Hasan membawa gerbong Partai Amanat Nasional (PAN) ke pemerintah. Publik bertanya, ada apakah gerangan? Bukankah dahulu kader PAN, Hatta Radjasa, mendampingi Prabowo Subianto di ajang pilpres lalu bergabung ke dalam Koalisi Merah Putih? Lantas, siapa yang bakal untung dan rugi atas kebijakan politik itu?

Bersama, kita akan melihat bagaimana posisi masing-masing aktor di partai besar itu. Siapa untung dan siapa buntung?

***

PINDAHNYA partai yang merupakan anak kandung reformasi itu ke kubu pemerintah tak terlalu mengejutkan banyak pihak. Tanda-tanda perpindahan itu sudah mulai tampak saat kemenangan Zulkifli Hasan. Publik bisa melihat sendiri bagaimana sikap Zulkifli yang mengundang Presiden Jokowi di arena paling penting di partai itu. Mulai dari sini, sikap Zulkifli sudah mulai bisa dibaca.

Kongres PAN menjadi awal dari perubahan haluan politik. Menarik sekali untuk disimak bagaimana sikap Hatta Radjasa yang kalah di arena itu. Ia dan pendukungnya tak sedikitpun menunjukkan sikap hendak menggugat hasil kongres. Mereka memang kecewa, tapi tetap tenang menanggapi hasilnya. Padahal, jika hendak menggugat, pasti akan menarik, sebab Hatta hanya kalah enam suara.

Pada masa ajang itu, Amien Rais mendampingi Zulkifli. Hubungan Amien dan Zulkifli adalah hubungan dua orang besan. Anak mereka diikat oleh tali perkawinan. Makanya, di kalangan peserta, beredar isu tentang “Pilih besan Amien Rais ataukah besan SBY?” Jargon ini dikeuarkan untuk menyindir Hatta yang juga besanan dengan SBY. Jargon ini cukup efektif untuk menggembosi kekuatan Hatta.

Posisi Amien di partai itu memang sangat kuat. Posisinya sama dengan Megawati dan SBY di partainya masing-masing. Bedanya, Amien hendak mengesankan dirinya sebagai demokrat tulen dengan cara meninggalkan gelanggang partai, akan tetapi ia menempatkan orang-orang yang setia dengannya sebagai ‘boneka.’ Ia memberikan kursi ketua kepada Soetrisno Bachir, seorang juragan batik dari Pekalongan, dengan harapan bisa mengendalikannya. Belakangan, Soetrisno memiliki sikap sendiri, sehingga disingkirkan oleh Amien.

Penggantinya, Hatta juga menghadapi dilema yang sama. Bedanya, Hatta tetap tenang dan mengalir saat mengikuti irama yang dimainkan Amien. Hatta tak banyak protes dan menunjukkan sikap berbeda pandangan. Ia membiarkan Amien menyodorkan namanya ke Jokowi agar berpasangan di pilpres, yang kemudian ditentang oleh Megawati. Ia juga membiarkan Amien melobi Prabowo untuk menggandeng kader PAN agar berpasangan di pilpres. Amien ikut berkampanye. Ia hadir di banyak momentum politik. Ia mendampingi Prabowo dan Hatta berkeliling banyak tempat. Hingga akhirnya, Amien juga ikut bersama ketika kubu Prabowo mengkaim kemenangan di pihaknya. Ia juga ikut sujud syukur saat merasa menang.

Tapi, saat kongres PAN, tiba-tiba saja Amien berbalik arah, dan mendukung Zulkifli Hasan. Hatta tahu persis bahwa Amien kerap mengkritik pendukungnya. Bahkan, puncaknya, Amien mengeluarkan banyak sindiran pada Hatta sendiri. Tapi Hatta tak diam. Ia memantau dan mengamati, hingga datang saat yang tepat untuk mendukung kubu Zulkifli, yang hendak menyingkirkan Amien Rais.

Inilah politik kita. Hari ini bersekutu, besok bisa berseteru. Itu terlihat pada hubungan antara Zulkifli dan Amien. Pada masa kampanye, Zulkifli seolah ‘memanfaatkan’ Amien Rais. Ia mengajak sosok penghela kereta besar reformasi itu untuk senantiasa mengampanyekan dirinya. Bahkan, ia juga membiarkan Amien melancarkan peluru untuk menghajar beberapa orang di kubu Hatta. Tapi, rumor banyak beredar bahwa hubungan Zulkifli dan Amien justru tak dekat. Ada isu yang menyebutkan kalau pernikahan anak mereka justru tak bahagia sehingga mempengaruhi kedekatan keduanya. Sekali lagi, ini hanya rumor.

Pindahnya haluan PAN dari sebelumnya mendukung Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bisa diihat berdasarkan lima teori yang barangkali bisa membantu kita untuk memetakan masalah. Kita akan coba memeakan satu per satu.

Pertama, pandangan yang agak normatif. Bahwa, sebagaimana dikatakan Zulkifli, perpindahan itu untuk memperkuat perekenomian bangsa. Dalam jumpa pers bersama Presiden Jokowi, Zulkifli mengatakan, salah satu alasan partainya mengubah arah politik dengan mendukung pemerintah adalah memperkuat stabilitas perekonomian. Zulkifli yakin, keputusan PAN untuk bergabung dengan pemerintah bakal meningkatkan jumlah investor di Indonesia

Namun, analisis ini terlampau ideal. Yang membuat penasaran adalah apakah ada indikasi dari berbagai janji serta harapan-harapan untuk mendapatkan rente dari proses politik itu?

Kedua, teori bagi-bagi jabatan. Pandangan ini dikemukakan sejumlah analisis yang menyebutkan rumor tentang bakal masuknya tiga kader PAN menjadi menteri kabinet. Benar atau tidaknya teori ini, akan terlihat apakah presiden akan membuat kebijakan reshuffle jilid kedua ataukah tidak. Jika kader PAN masuk kabinet, maka rumor itu bisa dibenarkan. Jika asumsi ini benar, maka sungguh menyedihkan keadaan partai-partai kita. Posisi partai hanya untuk memaksimalkan upaya merebut sumberdaya di lapangan politik.

Ketiga, teori kerapuhan koalisi. Nampaknya, perpindahan itu harus dilihat sebagai indikasi rapuhnya koalisi di KMP. Hampir tak ditemukan satu common platform yang bisa menyatukan partai-partai itu, selain bertemunya kepentingan pragmatis. Dalam jangka pendek, kesemua partai itu bisa bersatu sebab menemukan pertautan kepentingan. Namun dalam jangka panjang, koalisi itu sulit dipertahankan karena adanya kepentingan politik yang terus-menerus mengalami pergeseran.

Keempat, teori kepentingan. Perpindahan PAN ke kubu pemerintah menunjukkan betapa kuatnya tarikan-tarikan kepentingan di tubuh partai itu. Sudah jamak diketahui publik, kalau di tubuh partai politik, ada sejumlah pebisnis yang selalu berharap ada berkah dari kedekatan dengan pemerintah. Kubu ini selalu tak ingin menjadi oposisi sebab membayangkan kehidupan yang tak mudah. Mereka mencari kemapanan yang didapatkan melalui kedekatan dengan pemerintah.

Makanya, kerapuhan koalisi di KMP disebabkan oleh semakin kuatnya arus pragmatisme di tubuh partai politik kita. Masing-masing pihak berusaha untuk menemukan irama bermain yang lebih menyejahterakan, ketimbang menjadikan partai politik sebagai ladang untuk menyemai idealisme. Di masa depan, peta koalisi akan sulit diprediksi sebab semua pihak akan berusaha menemukan keseimbangan-keseimbangan baru.

Perpindahan PAN bisa pula ditafsir sebagai kegagalan Prabowo ataupun Aburizal Bakrie dalam menjaga keutuhan KMP. Nampaknya, figur kedua sosok itu tak bisa menjadi pemersatu dalam koalisi. Keduanya masih belum bisa keluar dari warna partainya masing-masing sehingga yang terkesan muncul adalah kuatnya dominasi abatu cengkeraman Gerindra maupun Golkar di situ. Posisi partai lain hanya sebagai pelengkap yang tak punya banyak peran signifikan atau setidaknya bisa tersorot oleh publik.

Kelima, teori penyelamatan. Di kalangan kader PAN sendiri beredar anggapan kalau bergabungnya partai itu ke pemerintah sudah bisa terbaca ketika ada upaya untuk mengusut beberapa kasus yang melibatkan ketua umum. Di antaranya adalah korupsi yang terjadi di Pertamina Foundation. Diduga, korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) itu muncul saat program penanaman pohon di mana-mana, yang melibatkan Zukifli saat menjabat sebagai menteri kehutanan. Itu baru satu kasus. Ada sejumlah kasus lain yang juga menyeret nama Zulkifli.

Beberapa kader PAN mengkhawatirkan jika ketua umum menjadi tersangka, maka partai itu akan lagsung karam. Sebab publik akan menghukum partai itu, sebagaimana pernah dialami oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Makanya, langkah bergabung ke pemerintah adalah langkah yang dianggap strategis untuk menyelematkan partai itu di masa mendatang.

Tentu saja, kita sebagai publik tengah dihadapkan pada satu dagelan. Ibarat permainan, maka Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla adalah tipe pemain yang tenang, taat asas, penuh perhitungan, dan menggiring lawan untuk meninggalkan arena tanpa harus mengeluarkan energi besar. Ke depannya, banyak hal yang bisa terjadi. Belum tentu presiden akan mengabulkan begitu saja semua keinginan partai berlambang matahari. Kalaupun presiden menampik, maka saatnya petinggi partai itu untuk mengucapkan salam gigit jari!


Bogor, 3 September 2015


BACA JUGA:




0 komentar:

Posting Komentar