TANPA banyak wacana, Zulkifli Hasan
membawa gerbong Partai Amanat Nasional (PAN) ke pemerintah. Publik bertanya,
ada apakah gerangan? Bukankah dahulu kader PAN, Hatta Radjasa, mendampingi
Prabowo Subianto di ajang pilpres lalu bergabung ke dalam Koalisi Merah Putih?
Lantas, siapa yang bakal untung dan rugi atas kebijakan politik itu?
Bersama, kita akan melihat bagaimana
posisi masing-masing aktor di partai besar itu. Siapa untung dan siapa buntung?
***
PINDAHNYA partai yang merupakan anak
kandung reformasi itu ke kubu pemerintah tak terlalu mengejutkan banyak pihak.
Tanda-tanda perpindahan itu sudah mulai tampak saat kemenangan Zulkifli Hasan.
Publik bisa melihat sendiri bagaimana sikap Zulkifli yang mengundang Presiden
Jokowi di arena paling penting di partai itu. Mulai dari sini, sikap Zulkifli
sudah mulai bisa dibaca.
Kongres PAN menjadi awal dari perubahan
haluan politik. Menarik sekali untuk disimak bagaimana sikap Hatta Radjasa yang
kalah di arena itu. Ia dan pendukungnya tak sedikitpun menunjukkan sikap hendak
menggugat hasil kongres. Mereka memang kecewa, tapi tetap tenang menanggapi
hasilnya. Padahal, jika hendak menggugat, pasti akan menarik, sebab Hatta hanya
kalah enam suara.
Pada masa ajang itu, Amien Rais mendampingi
Zulkifli. Hubungan Amien dan Zulkifli adalah hubungan dua orang besan. Anak
mereka diikat oleh tali perkawinan. Makanya, di kalangan peserta, beredar isu
tentang “Pilih besan Amien Rais ataukah besan SBY?” Jargon ini dikeuarkan untuk
menyindir Hatta yang juga besanan dengan SBY. Jargon ini cukup efektif untuk
menggembosi kekuatan Hatta.
Posisi Amien di partai itu memang sangat
kuat. Posisinya sama dengan Megawati dan SBY di partainya masing-masing.
Bedanya, Amien hendak mengesankan dirinya sebagai demokrat tulen dengan cara
meninggalkan gelanggang partai, akan tetapi ia menempatkan orang-orang yang
setia dengannya sebagai ‘boneka.’ Ia memberikan kursi ketua kepada Soetrisno Bachir,
seorang juragan batik dari Pekalongan, dengan harapan bisa mengendalikannya.
Belakangan, Soetrisno memiliki sikap sendiri, sehingga disingkirkan oleh Amien.
Penggantinya, Hatta juga menghadapi dilema
yang sama. Bedanya, Hatta tetap tenang dan mengalir saat mengikuti irama yang
dimainkan Amien. Hatta tak banyak protes dan menunjukkan sikap berbeda
pandangan. Ia membiarkan Amien menyodorkan namanya ke Jokowi agar berpasangan
di pilpres, yang kemudian ditentang oleh Megawati. Ia juga membiarkan Amien
melobi Prabowo untuk menggandeng kader PAN agar berpasangan di pilpres. Amien
ikut berkampanye. Ia hadir di banyak momentum politik. Ia mendampingi Prabowo
dan Hatta berkeliling banyak tempat. Hingga akhirnya, Amien juga ikut bersama
ketika kubu Prabowo mengkaim kemenangan di pihaknya. Ia juga ikut sujud syukur
saat merasa menang.
Tapi, saat kongres PAN, tiba-tiba saja
Amien berbalik arah, dan mendukung Zulkifli Hasan. Hatta tahu persis bahwa
Amien kerap mengkritik pendukungnya. Bahkan, puncaknya, Amien mengeluarkan
banyak sindiran pada Hatta sendiri. Tapi Hatta tak diam. Ia memantau dan
mengamati, hingga datang saat yang tepat untuk mendukung kubu Zulkifli, yang
hendak menyingkirkan Amien Rais.
Inilah politik kita. Hari ini bersekutu,
besok bisa berseteru. Itu terlihat pada hubungan antara Zulkifli dan Amien.
Pada masa kampanye, Zulkifli seolah ‘memanfaatkan’ Amien Rais. Ia mengajak
sosok penghela kereta besar reformasi itu untuk senantiasa mengampanyekan
dirinya. Bahkan, ia juga membiarkan Amien melancarkan peluru untuk menghajar
beberapa orang di kubu Hatta. Tapi, rumor banyak beredar bahwa hubungan
Zulkifli dan Amien justru tak dekat. Ada isu yang menyebutkan kalau pernikahan
anak mereka justru tak bahagia sehingga mempengaruhi kedekatan keduanya. Sekali
lagi, ini hanya rumor.
Pindahnya haluan PAN dari sebelumnya
mendukung Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bisa
diihat berdasarkan lima teori yang barangkali bisa membantu kita untuk
memetakan masalah. Kita akan coba memeakan satu per satu.
Pertama, pandangan yang agak normatif.
Bahwa, sebagaimana dikatakan Zulkifli, perpindahan itu untuk memperkuat
perekenomian bangsa. Dalam jumpa pers bersama Presiden Jokowi, Zulkifli
mengatakan, salah satu alasan partainya mengubah arah politik dengan mendukung
pemerintah adalah memperkuat stabilitas perekonomian. Zulkifli yakin, keputusan
PAN untuk bergabung dengan pemerintah bakal meningkatkan jumlah investor di
Indonesia
Namun, analisis ini terlampau ideal. Yang
membuat penasaran adalah apakah ada indikasi dari berbagai janji serta
harapan-harapan untuk mendapatkan rente dari proses politik itu?
Kedua, teori bagi-bagi jabatan. Pandangan
ini dikemukakan sejumlah analisis yang menyebutkan rumor tentang bakal masuknya
tiga kader PAN menjadi menteri kabinet. Benar atau tidaknya teori ini, akan
terlihat apakah presiden akan membuat kebijakan reshuffle jilid kedua ataukah
tidak. Jika kader PAN masuk kabinet, maka rumor itu bisa dibenarkan. Jika
asumsi ini benar, maka sungguh menyedihkan keadaan partai-partai kita. Posisi partai
hanya untuk memaksimalkan upaya merebut sumberdaya di lapangan politik.
Ketiga, teori kerapuhan koalisi.
Nampaknya, perpindahan itu harus dilihat sebagai indikasi rapuhnya koalisi di
KMP. Hampir tak ditemukan satu common
platform yang bisa menyatukan partai-partai itu, selain bertemunya
kepentingan pragmatis. Dalam jangka pendek, kesemua partai itu bisa bersatu
sebab menemukan pertautan kepentingan. Namun dalam jangka panjang, koalisi itu
sulit dipertahankan karena adanya kepentingan politik yang terus-menerus
mengalami pergeseran.
Keempat, teori kepentingan. Perpindahan PAN
ke kubu pemerintah menunjukkan betapa kuatnya tarikan-tarikan kepentingan di
tubuh partai itu. Sudah jamak diketahui publik, kalau di tubuh partai politik,
ada sejumlah pebisnis yang selalu berharap ada berkah dari kedekatan dengan
pemerintah. Kubu ini selalu tak ingin menjadi oposisi sebab membayangkan
kehidupan yang tak mudah. Mereka mencari kemapanan yang didapatkan melalui
kedekatan dengan pemerintah.
Makanya, kerapuhan koalisi di KMP
disebabkan oleh semakin kuatnya arus pragmatisme di tubuh partai politik kita.
Masing-masing pihak berusaha untuk menemukan irama bermain yang lebih
menyejahterakan, ketimbang menjadikan partai politik sebagai ladang untuk
menyemai idealisme. Di masa depan, peta koalisi akan sulit diprediksi sebab
semua pihak akan berusaha menemukan keseimbangan-keseimbangan baru.
Perpindahan PAN bisa pula ditafsir sebagai
kegagalan Prabowo ataupun Aburizal Bakrie dalam menjaga keutuhan KMP. Nampaknya,
figur kedua sosok itu tak bisa menjadi pemersatu dalam koalisi. Keduanya masih
belum bisa keluar dari warna partainya masing-masing sehingga yang terkesan
muncul adalah kuatnya dominasi abatu cengkeraman Gerindra maupun Golkar di
situ. Posisi partai lain hanya sebagai pelengkap yang tak punya banyak peran
signifikan atau setidaknya bisa tersorot oleh publik.
Kelima, teori penyelamatan. Di kalangan
kader PAN sendiri beredar anggapan kalau bergabungnya partai itu ke pemerintah
sudah bisa terbaca ketika ada upaya untuk mengusut beberapa kasus yang
melibatkan ketua umum. Di antaranya adalah korupsi yang terjadi di Pertamina
Foundation. Diduga, korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) itu
muncul saat program penanaman pohon di mana-mana, yang melibatkan Zukifli saat
menjabat sebagai menteri kehutanan. Itu baru satu kasus. Ada sejumlah kasus
lain yang juga menyeret nama Zulkifli.
Beberapa kader PAN mengkhawatirkan jika
ketua umum menjadi tersangka, maka partai itu akan lagsung karam. Sebab publik
akan menghukum partai itu, sebagaimana pernah dialami oleh Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Makanya, langkah bergabung ke pemerintah adalah langkah yang dianggap
strategis untuk menyelematkan partai itu di masa mendatang.
Tentu saja, kita sebagai publik tengah
dihadapkan pada satu dagelan. Ibarat permainan, maka Presiden Jokowi dan Wapres
Jusuf Kalla adalah tipe pemain yang tenang, taat asas, penuh perhitungan, dan
menggiring lawan untuk meninggalkan arena tanpa harus mengeluarkan energi
besar. Ke depannya, banyak hal yang bisa terjadi. Belum tentu presiden akan
mengabulkan begitu saja semua keinginan partai berlambang matahari. Kalaupun
presiden menampik, maka saatnya petinggi partai itu untuk mengucapkan salam
gigit jari!
Bogor, 3 September 2015
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar