Melihat "Salju" di Kampus IPB




DI depan kantor saya, kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) di Baranangsiang, kapas-kapas putih memenuhi lapangan luas. Kapas-kapas itu menghadirkan pemandangan serupa salju yang turun dari langit. Di situ, ada banyak anak muda yang datang untuk ramai-ramai berfoto. Di tengah temaram matahari sore, ada yang datang sembari memakai jaket tebal dan kupluk.

Di ujung sana, sepasang muda-mudi datang dengan membawa es serut di tangan. Mereka berpose seolah-olah di tengah hamparan salju. Di bahagian lain, saya tertegun. Saya serasa menyaksikan adegan drama Korea, saat seorang pria berpose dengan jaket tebal, sarung tangan, lalu memegang biola dan seolah memainkannya dengan mata terpejam. Kamera membekukan momen yang mengingatkan saya pada serial Winter Sonata. It is so romantic!

Di sekitar lapangan itu terdapat banyak pohon kapuk yang tinggi besar. Pada bulan Agustus ataupun September, buah-buah kapuk akan memecah, sehingga kapasnya berguguran lalu memenuhi lapangan. Pemandangan yang tersaji serupa salju yang turun dari langit.

Selama beberapa hari ini, ada banyak orang yang datang ke lapangan itu sekadar untuk berfoto. Saya mengingat beberapa studi yang membahas tentang simulasi atau duplikasi atas realitas. Saya juga memikirkan satu ujaran tentang ‘rumput tetangga yang selalu lebih hijau.’ Bagi kita orang Indonesia, salju adalah kemewahan. Salju identik dengan luar negeri. Salju identik dengan kelas atas, sebab butuh biaya mahal untuk pergi ke negeri empat musim dan menyaksikannya.

Di kantin Taman Koleksi, di sekitar lapangan itu, saya bertemu dengan Nick, seorang turis asal Inggris. Nick bercerita petualangannya ke banyak tempat di Indonesia. Matanya berbinar-binar saatmembahas Bali, Danau Toba, serta eksotisme Pulau Lombok. Saat saya mintai pendapatnya tentang anak-anak muda yang berpose di dekat kapas yang serupa salju itu, Nick tampak menggeleng. Ia berkata, “Apa menariknya foto di situ? Di negeri saya, datangnya salju hanya disambut ceria pada awalnya. Selanjutnya, salju adalah cuaca buruk. Sekolah dan kantor diliburkan. Aktivitas jadi terbatas.”

Saya tak seberapa terkejut dengan pernyataan Nick. Sewaktu berkunjung ke luar negeri, saya pun pernah merasakan betapa salju seringkali tak ramah. Orang-orang takut dengan badai salju, ataupun frozen rain yang bisa hadir setiap saat. Bagi yang berumah di negeri empat musim, salju menjadi bagian dari kehidupan yang dihadapi setiap tahun. Salju menjadi hal biasa. Bukan lagi sesuatu yang meriangkan hati.

“Negeri ini adalah surga. Di sini matahari bersinar sepanjang tahun. Di mana-mana ada pantai indah, laut biru, pasir putih. Di mana-mana ada keunikan,” kata Nick sembari menatap saya lekat. Dia benar. Bahwa rumput tetangga memang selalu lebih hijau.

Saat belajar di luar negeri, saya sendiri pernah menuliskan pengalaman ketika ditanya tentang makanan mahal dan berkelas di kampung saya. Saat itu saya katakan makanan fastfood seperti KFC, semua mahasiswa bule melihat saya dengan tatapan heran sebab di negaranya itu adalah junk food atau makanan sampah. Saat saya ditanya tentang makanan enak yang murah, kembali semua terheran-heran saat saya menyebut tuna sirip kuning, yang di Amerika dianggap sebagai makanan mewah dan tak terjangkau warga biasa.

Jelas, di semua tempat, selalu ada reproduksi konsep tentang mana yang berkelas dan mana yang tak berkelas. Jika Nick memandang sinis pada anak-anak muda yang berfoto di salju, barangkali anak-anak muda itu juga akan sinis memandang Nick yang terlampau bahagia melihat matahari bersinar setiap hari, ataupun melihat pantai berpasir putih.

Tentu saja, anak-anak muda itu tidak salah. Yang jauh lebih substansial adalah mereka mesti memahami bahwa tanah yang dipijaknya adalah tanah yang juga amat dirindukan warga negara lain. Mereka mesti menyadari bahwa mereka sedang memijak kepingan surga yang justru bisa menimbulkan keirian bangsa-bangsa lain yang amat ingin menyaksikan pulau-pulau tropis yang menawan. Anak-anak muda itu mesti menanamkan rasa bangga dan cinta tanah airnya yang kaya raya, tanpa harus latah berpose di atas hamparan kapuk yang serupa salju.

  
BACA JUGA:




1 komentar:

Alvidha Septianingrum mengatakan...

Wah Kak! Minggu lalu saya ke Bogor dan turut menyaksikan adegan film Korea di atas motor, banyak kapuk beterbangan hehehe.

Posting Komentar