Beranda
/ Diriku di Tahun 2014
Diriku di Tahun 2014
aku dan keluarga |
DIMATAKU, tahun 2014 adalah tahun paling melelahkan. Kepindahanku sebagai pegawai pemerintah daerah di Buton, Sulawesi Tenggara, ke kampus besar Institut Pertanian Bogor (IPB) harus diikuti dengan banyak adaptasi. Mulai dari suasana dan irama kerja, adaptasi keluarga di kota yang baru, hingga belajar membangun jaringan. Aku belajar untuk mengalir bersama sungai kehidupan di kota yang baru.
Aku juga mencatat tahun 2014 sebagai tahun
paling ajaib. Kepindahan ke Bogor ibarat membuka 'pintu ke mana saja' yang
dimiliki Doraemon. Aku beroleh kesempatan mengunjungi banyak tempat di tanah
air, merasakan pahit manis dan asin pedas Indonesia di titik terjauh, bertemu
dan berguru pada banyak orang di desa-desa dan pulau-pulau kecil.
***
SEBELUMNYA, kami tinggal di pesisir pantai.
Hari-hari kami adalah laut biru, nyiur melambai, hingga hembusan angin pantai
yang di siang hari terasa panas. Ketika memutuskan ke Bogor, kami harus belajar
ulang. Kehidupan seolah distel ke titik awal. Aku sudah terbiasa pindah-pindah
kota. Akan tetapi yang kupikirkan adalah keluarga. Aku membayangkan suasana,
iklim, serta banyak hal yang membutuhkan adaptasi.
Bogor adalah kota yang terunik di tanah
air. Curah hujannya cukup tinggi. Pantas saja jika kota ini disebut kota hujan,
sebab hampir setiap hari hujan akan turun. Adaptasi pertama adalah cuaca yang
berbeda dengan tempat lain. Hal lain yang dipikirkan adalah adaptasi sosial dan
budaya. Kami memasuki setting budaya berbeda, dengan karakter penduduk yang
juga beda.
Di tengah adaptasi itu, selalu saja ada
pelajaran berharga. Kami mulai terbiasa dengan kultur pegunungan yang hijau dan
pemandangan Gunung Salak di kejauhan. Kami mulai menikmati betapa banyaknya
buah-buahan segar yang harganya murah di sini. Perlahan, kami mulai mengerti
sepatah dua kata pembicaraan dalam bahasa Sunda. Di sekitar rumah, istriku
dipanggil Teteh. Aku sendiri dipanggil Akang. Kadang dipanggil A’a. Hmm...
Panggilan itu terdengar nyaman di kuping.
Perlahan aku mulai mengenali banyak orang. Jaringan pertemanan perlahan mulai berbuah. Beberapa tugas mengharuskanku untuk berkunjung ke daerah-daerah. Mulailah lembar petualangan dibuka satu per satu.
Perlahan aku mulai mengenali banyak orang. Jaringan pertemanan perlahan mulai berbuah. Beberapa tugas mengharuskanku untuk berkunjung ke daerah-daerah. Mulailah lembar petualangan dibuka satu per satu.
Di awal tahun 2014, aku berkunjung
ke luar negeri yakni Thailand. Saat itu, aku ikut dalam rangkaian tur bersama
beberapa sahabat penulis dan fotografer. Aku amat terkesima melihat industri
pariwisata di negara itu. Hingga suatu hari aku menerima pesan dari sahabatku
Ussama Kaewpradap asal Thailand yang hendak mendaki Gunung Bromo, lalu
menyeberang ke Bali. Sesuai mendaki gunung dan menusuri banyak tempat, ia
mengirim pesan, “You’re the luckiest man
in this world. Cause you live in a paradise!”
Hah? Saat itu aku ragu. Hingga akhirnya,
tugas sebagai peneliti telah membawaku ke banyak tempat di tanah air. Setelah
mengunjungi banyak pantai dan tempat wisata di tanah air, aku merevisi semua
anggapan tentang ‘rumput tetangga yang selalu lebih hijau.’ Faktanya adalah
kita justru tak mengenali seberapa hijau rumput kita sendiri.
Kita tak banyak tahu seberapa biru langit
di kampung halaman kita sendiri. Kita tak tahu seberapa dalam lautan kita yang
telah menjadi ibu bagi ribuan biota laut yang membentuk taman-taman surga di
dasarnya. Kita tak tahu kemegahan gunung-gunung di negeri kita sendiri yang
selalu menjadi surga bagi para pengelana. Kita tak pernah merasakan betapa
indahnya keceriaan di desa-desa, senyum anak-anak rimba, tetes keringat petani
yang memanen padi, hingga tawa bahagia para nelayan yang perahunya dipenuhi
ikan.
Indonesia begitu banyak menyimpan
kisah-kisah ajaib. Kisah itu tak ditemukan di kota-kota. Kalaupun ada, maka
media kita telah banyak mengulasnya di berbagai sisi. Lagian, wacana tentang
kota-kota itu dengan mudahnya kita temukan di dunia maya, ruang pertemuan
jutaan netizen dari berbagai penjuru. Sementara kisah-kisah tentang desa-desa,
tentang petani kecil, tentang nelayan di satu pulau terpencil, menjadi
berlian-berlian berharga yang harus ditemukan dan dibagikan. Aku merasa sungguh
berunung bisa berkelana ke banyak pulau.
Pengalaman berkeliling ke berbagai
pulau-pulau dan desa-desa telah mengalahkan semua hasrat petualangan ke
negeri-negeri jauh. Perjalanan itu mengatasi rasa lapar dan rasa haus untuk
menyaksikan sisi lain tanah air yang tak selalu dibingkai liputan media.
Setiap perjalanan selalu membuka mata
tentang banyaknya hal yang bisa digapai. Barangkali, inilah seni perjalanan. Yang
terbaik untuk kita lakukan adalah senantiasa menyerap pengetahuan di sekitar
kita, lalu memperkaya batin dan pengalaman. Dengan cara itu, kita bisa melihat
kehidupan dari sisi yang berbeda.
Belum setahun aku di tempat baru. Aku
mulai menemukan ritme kehidupan. Aku mulai mengenali hawa pagi yang sejuk,
embun di dedaunan, serta suara-suara alam ala pegunungan. Meskipun harus
bergegas dan terbiasa berpindah-pindah, aku sangat menikmati keadaan.
Mudah-mudahan saja pada tahun-tahun mendatang ada banyak hal baik yang akan
dilakukan. Untuk soal ini, aku sedang menanam banyak benih.
Tahun 2015 ini aku tak punya banyak
target. Biarlah kehidupan terus bergerak. Diriku hanyalah setetes air dari sungai
kehidupan yang ikut mengalir, berkelit dari bebatuan, lalu menyatu dengan
samudera besar bernama alam semesta. Semoga saja ada banyak kebaikan yang ditemui di sepanjang perjalanan menuju samudera besar itu. Semoga selalu ada kupu-kupu bahagia yang hinggap di sepanjang perjalanan, memberikan lega sesaat ketika jeda, lalu menjadikan semua perjalanan itu menjadi kisah-kisah indah yang menakjubkan.
Selamat tahun baru.
1 komentar untuk "Diriku di Tahun 2014"
semoga di tahun 2015 dan seterusnya menjadi lebih baik dari sebelumnya
AMIN
AMIN