Seno Gumira dan Sungai Kata-Kata
DI sebuah toko buku, saya menemukan buku terbaru karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma berjudul Senja dan Cinta yang Berdarah. Buku ini cukup tebal yakni 821 halaman, kira-kira setebal kitab suci. Isinya adalah kumpulan cerita pendek yang ditulis Seno sejak tahun 1978 sampai tahun 2013. Saya terkagum-kagum. Seno ibarat sungai yang tak henti mengalirkan kata-kata. Ia punya vitalitas untuk terus menulis, dan secara produktif menghangatkan batin banyak orang dengan refleksi dan inspirasi, butiran pengalaman yang amat berharga sebagai bekal melayari samudera kehidupan.
Namun, saya tiba-tiba saja memikirkan
sesuatu yang jauh lebih penting, dan hingga kini belum dilakukan Seno. Apakah
gerangan?
Sebagai penulis, ia serba bisa. Ia bisa
menulis berbagai topik dalam berbagai style kepenulisan. Ia bagus dalam menuis
reportase, esai, cerita pendek, hingga novel. Saya mengoleksi banyak
buku-bukunya. Melihat dan mengenang buku-bukunya, saya merasa bahwa dirinya
telah mendaki banyak puncak dalam jagad kepenulisan tanah air. Hampir tak ada
lagi gunung kepenulisan yang harus ditaklukannya. Ia menggapai semua puncak.
Hanya saja, ia belum mewariskan satu
proyek besar yang kemudian jadi pelajaran besar bagi seluruh anak bangsa. Ia
memang penulis, tapi apa yang dihasilkannya masih berupa refleksi atau catatan
kaki dari segaa dinamika sosial, tanpa ada ikhtiar untuk menunjukkan satu arah
yang tegas agar anak bangsa tidak tertatih-tatih. Ini yang membedakannya dengan
sastrawan Pramoedya Ananta Toer yang menuliskan karya-karya seperti tetralogi
Pulau Butu, Arus Balik, Arok Dedes, dan Hoakiau di Indonesia.
Pramoedya telah mewariskan satu karya
besar yang diharapkan bisa meluruskan sejarah tanah air. Ia membidik masa-masa
kebangkitan, sebuah masa ketika negara dan bangsa masih berupa embrio. Dalam
proses yang kritis itu, ada banyak sejarah dan peristiwa yang dibelokkan demi
menopang ideologi yang kemudian ditegakkan masing-masing kekuatan. Pramoedya telah
memberi sentuhan napas, sukma, serta kekuatan, sehingga sejarah kita menjadi
lebih menukik ke bumi, lebih manusiawi sebab dialami dan dirrasakan manusia
biasa, lebih bertenaga.
Saya berharap Seno melahirkan karya-karya
yang lebih serius dan merangkum visi kuat bagi arah gerak bangsa ini. Jika
diibaratkan seorang pendekar tanpa tanding, ia telah melalui semua pertarungan,
dan saatnya mewariskan satu kitab yang kemudian menginspirasi banyak orang
bahwa ada banyak hal menarik dan penting, namun terabaikan oleh deru waktu yang
bergerak tanpa henti.
Saya tak berharap ia menyamai Pramoedya
dengan karya besar tetralogi Pulau Buru. Setiap orang melalui dan menjalani
takdir kepenulisan yang berbeda. Namun tugas besar para penulis adalah
menggelitik kesadaran banyak orang bahwa ada banyak hal substansial yang selama
ini terabaikan atau malah terselewengkan oleh sejarah. Para penulis membawa
suara moral, suara yang bergema di dalam lorong-lorong kesadaran semua orang
tentang nilai-nilai kebajikan, arah pengetahuan, serta gema kebijaksanaan yang
seharusnya menjadi mercu-suar bagi bangsa ini.
Itulah harapan yang hendak saya bisikkan
pada Seno di banyak saat, khususnya saat bangun pagi, di kala mengamati embun
yang bening, serta langit yang sedemikian cerah.
Bogor, 13 Oktober 2014