Mencaci Itu Ibarat Melempar Bumerang

ilustrasi

LELUHUR kita amatlah arif ketika mengatakan bahwa seringkali semut di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata justru tak tampak. Maksudnya, seringkali kita lebih sibuk mengurusi kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan orang lain, tanpa bercermin bahwa ada banyak kesalahan besar yang kita lakukan.

Kali ini aku hendak bercerita tentang orang-orang yang amat suka mencaci orang lain. Di media sosial, selalu saja kutemukan orang-orang yang suka menghina atau mencibir orang lain. Selalu saja ada keburukan yang disebar dengan amat telanjang sehingga diharapkan agar orang lain ikut mencibir. Dalam konteks politik, barangkali amat penting mengetahui plus minus dari seseorang. Namun dalam konteks hubungan-hubungan sosial, mereka yang suka mencaci adalah mereka yang sebaiknya berkonsultasi pada ahli jiwa. Mungkin ada korslet di otaknya sehingga selalu mengurusi orang lain lalu mencibirnya.

Mereka yang hobinya mencaci orang lain adalah mereka yang gagal menemukan sisi positif dari dirinya, sehingga terus-menerus berbagi energi negatif. Tindakan yang sibuk memperhatikan orang lain lalu mencacinya adalah potret dari rasa cemburu atas sesuatu yang dimiliki orang lain, yang tak dimiliki. Cacian adalah jalan pintas untuk menghina, melecehkan, dan hendak menurunkan nama baik seseorang, sehingga kelak ada yang menuai keuntungan dari hinaan tersebut.

Tapi benarkah ia akan mendapat keuntungan? Aku justru pesimis. Mencaci orang lain ibarat melempar bumerang, yang jika gagal akan segera berbalik dan menghantam sang pelempar. Jika sasaran meleset, maka bersiaplah untuk menerima lemparan bumerang, yang nantinya akan melukai dan menghancurkan diri sendiri.

Hari ini aku teringat pada satu kearifan lokal. Bahwa ketika satu jari menunjuk, maka empat jari lain akan menunjuk diri sendiri. Maksudnya, sekali anda melakukan hal yang tak baik, maka bertubi-tubi ketidakbaikan akan menyerang diri anda. Benarkah?




0 komentar:

Posting Komentar