Di Sana Jokowi, di Sini Acara Joged


ilustrasi

DI saat semua orang sibuk membahas Jokowi, baik pro maupun kontra, di kampung halamanku warga tak banyak tahu tentang wacana tersebut. Warga amat menikmati berkah jelang pemilihan umum (pemilu). Ada banyak hajatan dan kumpul bersama serta makan-makan. Ada banyak orang yang tiba-tiba sering tersenyum, berbagi kebaikan, dan setelah itu menitipkan poster kampanye serta ajakan untuk memilih. Seorang warga bertanya, mengapa tak setiap bulan ada Pemilu?

***

DUA malam ini, musik tak henti berdentam-dentam di sekitar rumahku di Pulau Buton. Jika biasanya jalanan lengang dan orang-orang beristirahat pada pukul sembilan malam, kini tak lagi demikian. Selama sepekan terakhir, ada banyak acara berkumpul serta makan bersama yang dihadiri banyak orang.

Dalam banyak kesempatan, aku sering ikut dalam acara kumpul-kumpul itu. Biasanya pengundang hajatan adalah sosok yang dituakan di kampung. Kadang, pengundangnya adalah politisi lokal. Setelah makan-makan dan ngobrol, lalu acara dilanjutkan dengan presentasi seorang politisi atau calon anggota legislatif (caleg). Biasanya tak banyak pertanyaan. Semua orang manggut-manggut, bersepakat, kemudian memberi komitmen untuk memilih.

Aku sering penasaran dengan apa yang mereka kemukakan. Tak ada diskusi tentang politik akal sehat atau mimpi-mimpi untuk membangun daerah. Yang ada hanya sebuah janji atau komitmen bahwa akan ada ‘amunisi’, tapi sering disebut ‘peluru’ yang akan dikirimkan kepada semua orang yang akan memilihnya. Warga kampung sama mahfum bahwa ‘amunisi’ yang dimaksud adalah sejumlah uang.

Kadang-kadang, usai makan akan ada acara joged. Penyelenggara acara mengundang pemusik elekton dan penyanyi seksi untuk menghibur. Orang-orang berjoged, tertawa bersama, lalu pulang dalam keadaan lelah. Tak puas, sejumlah anak muda lalu melanjutkan acara dengan membeli minuman tuak lokal, kemudian lanjut bermain domino. Dalam keadaan mabuk, beberapa anak muda akan berbisik, “Tenang bos. Kami akan memilih.”

Maka selesailah kampanye untuk memilih seseorang yang akan mengemban amanah orang banyak, menyuarakan keinginan dan aspirasi, menitipkan segala idealisme dan visi untuk membangun negeri. Usai kumpul, joged, dan mabuk, politik kemudian diaktualkan dalam bentuk janji untuk memberikan sesuatu. Tak ada panwas. Tak ada polisi. Semua sama larut dalam pertunjukan bersama untuk mendukung seseorang dengan banyak cara. Hanya ada satu teori yakni transaksi politik!


Jika di tempat lain, politik dikelola dengan basis rasional serta upaya-upaya persuasif untuk menggaet pemilih, maka di kampung ini tidaklah demikian. Para politisi berebut basis dukungan keluarga, lalu membangun lobi-lobi dan negosiasi dengan keluarga lain, lalu menjalin kesepakatan untuk dukung-mendukung.

Aku menikmati saat-saat ketika melihat betapa banyaknya teori dan wacana politik yang tak sesuai dengan kenyataan di kampung. Dalam banyak definisi politik, sering disebutkan bahwa politik adalah arena untuk mempraksiskan ideologi dan visi pergerakan partai. Sebuah partai politik jelas memiliki angan-angan tentang Indonesia masa mendatang.

Namun di kampung, tak ada yang disebut ideologi partai. Seorang pemabuk yang kerjanya hanya berjudi bisa menjadi pangurus teras sebuah partai berlabel agama. Apakah dia akan terpilih? Tentu saja. Sang pemabuk itu memiliki basis dukungan keluarga yang ril serta dana yang cukup untuk memenangkan pertarungan menuju parlemen.

Jika saja ilmuwan politik Robert Dahl ada di kampung ini, barangkali ia akan menyadari bahwa ada banyak definisi tentang politik yang perlu diluruskan. Barangkali ia akan paham bahwa politik ibarat sarang lebah yang di dalamnya terdapat banyak sel atau kamar-kamar yang meiliki wacana sendiri-sendiri.

Di satu tempat orang-orang bicara tentang mimpi-mimpi dan gagasan tentang hidup lebih baik, di tempat lain orang-orang hanya bicara mengenai bagaimana memenangkan dukungan, dan di tempat jauh lainnya, orang-orang menjadikan partai politik hanya sebagai jendela biasa untuk memenangkan kursi. Partai hanya pintu masuk saja, setelah itu diabaikan.

Barangkali demikianlah hakekat politik di tanah air kita. Ada kesenjangan yang cukup jauh antara politik di tingkat ideal, dan poltiik di level praktis. Ada jarak yang cukup lebar antara visi dan misi partai erta bagaimana visi itu dijabarkan seorang kader di level kampung. Para pengkaji politik seyogyanya sering-sering turun lapangan, dan memahami bagaimana politik bekerja pada cakupan yang paling kecil, melihat langsung bagaimana politik menjadi kekuatan yang menggerakkan dinamika, serta konflik-konflik yang kemudian muncul.

Namun, jika direnungi lebih jauh, antara kampung dan kota sama-sama memainkan bahasa politik yang seragam. Bahkan di level nasional sekalipun, semua orang berbicara tentang hal yang sama yakni kuasa. Ada seorang calon presiden yang selalu berbicara rakyat, tapi prusahaannya justru meruikan rakyat. Ada juga calon presiden yang selalu bicara kemandirian ekonomi, namun sehari-harinya dia justru tak menampilkan keteladanan. Malah, masa lalunya justru amat mengerikan untuk dibahas. Nah, bukankah politik di level nasional dan kampung tak beda jauh? Bukankah mereka sama berimpitan dan berada di rel kepentingan yang sama?

Di balik layar politik ada sejumlah individu yang sedang mengejar sesuatu. Politik hanya baju yang bisa diganti-ganti setiap saat. Ini adalah dunia tanpa integritas. Segala sesuatu bisa dimaksimalkan demi mendapatkan keuntungan. Politik kita menjelma sebagai panggung simbol yang menipu rakyat banyak. Banyak dari politisi kita yang hanya bermodal materi, tanpa memikirkan bagaimana menjaga amanah dan harapan pada banyak orang.  Yang membedakan hanyalah cara.

Kalau di level pusat, yang dibahas media sosial adalah Jokowi, Ical, atau ARB, maka di kampung ini yang dibahas adalah beberapa caleg di acara joged bersama sejumlah tuak. Substansinya sama. Lantas, masihkan kita membedakan politik di level nasional dan di level kampung kalau semuanya memainkan praktik yang sama?



0 komentar:

Posting Komentar