Lelaki Bugis di Tanah Minang


poster film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk

LELAKI itu mengenakan songkok khas Bugis. Ia memandang lurus ke arah seorang perempuan berkerudung yang melihat ke arahnya dengan malu-malu. Di tanah Minangkabau, cinta lelaki --yang memilih ayah Padang dan ibu Bugis-- bernama Zainuddin itu bersemi laksana kembang anggrek yang merah merona. Perempuan Minang itu, Hayati, disebut memiliki kecantikan ciptaan alam. Perempuan itu pun merasakan sesuatu yang tumbuh di dasar hatinya tatkala melihat sorot mata lelaki yang setajam pedang, dan selembut kain sutera.

Saya baru saja menyaksikan trailer film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk yang diadaptasi dari novel legendaris karya Hamka. Dalam beberapa hari lagi, film itu diputar secara serentak di berbagai kota di tanah air. Saya mendapat informasi kalau film ini juga akan ditayangkan di negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Di negara-negara itu, karya Hamka menjadi karya legendaris yang telah memperkaya khasanah sastra Melayu. Malah, karya Hamka menjadi salah satu karya wajib bagi siswa sekolah menengah di Malaysia. Sementara di tanah air kita, karya ini seakan sepi dari peredaran. Karya-karya Hamka bukanlah buku best seller yang dikenal generasi masa kini, yang lebih mengidolakan coretan-coretan Ariel Noah. Padahal, karya Hamka menyimpan pelajaran berharga tentang kehidupan, serta budi pekerti luhur yang disampaikan dalam bahasa roman.

Apakah gerangan yang dirasakan pembaca novel Hamka ketika menyaksikan versi layar lebar dari novel ini? Saya membayangkan akan muncul banyak kontroversi. Saya bisa merasakan bahwa adegan Zainuddin bertemu Hayati itu tidak sedramatis yang saya baca dalam novelnya. Saya juga membayangkan bahwa kalimat-kalimat dalam surat Zainuddin pada Hayati yang sedemikian bertenaga dan mengaduk-aduk emosi pastilah akan sulit digambarkan dalam film, yang posternya secara sepintas mirip poster film Titanic tersebut.

Saya menyaksikan trailer dari sebuah film yang glamour dan hedonis. Padahal, Hamka menulis novel dengan setting budaya Melayu yang sangat kental. Sungguh aneh melihat gambar Hayati dengan lipstick yang merah merona serta baju tanpa lengan, padahal dalam novelnya, Hayati adalah perempuan yang sangat menjaga penampilannya. Bahkan ketika matanya bertemu Zainuddin, ia akan tertunduk malu dengan pipi merona. Namun dalam versi film, Hayati adalah Pevita Pearce yang serupa Kate Winslet dalam film Titanic.

Meskipun saya sangat mengapresiasi niat baik dari para sineas kita untuk mengangkat beberapa karya sastra, saya tetap beranggapan bahwa keindahan sebuah novel tetap tersimpan di ranah kalbu pembacanya. Bahwa buku jauh lebih kuat dan bermakna daripada film adaptasinya. Kepada pembaca pemula, sering saya titipkan pesan seorang pengarang Amerika yakni “Read the books before Hollywood ruins them.” Dalam konteks karya sastra kita, “Bacalah buku sastra, sebelum dunia film menghancurkan karya itu.”

Perantau Bugis

Meskipun kisah dalam novel ini adalah imajinasi belaka, namun saya merasakan bahwa pengarangnya, Hamka, sedang mengangkat banyak realitas yang terjadi di masa itu. Ia mengkritik tradisi yang seringkali menjadi beban bagi masyarakat, serta bagaimana pertautan kebudayaan. Di satu sisi, tradisi dibuat untuk menata kehidupan sehingga lurus di atas titian nilai-nilai ideal satu masyarakat, namun pada sisi lain, tradisi sering menjadi konflik yang menempatkan kisah dua hati laksana perahu yang terombang-ambing.

Melalui kisah ini, Hamka hendak berkata bahwa Zainuddin bukanlah yang pertama. Sebelumnya, telah banyak orang Bugis yang hijrah atau merantau ke tanah Minang, kemudian membangun keluarga dan dinasti di sana. Bahkan sejarah mencatat bahwa orang Bugis dan Minang pernah pula bentrok di Johor, Malaysia, pada abad ke-18 demi memperebutkan posisi sultan.


Dalam beberapa karya sastra berlatar Minangkabau, saya menemukan beberapa sosok orang Bugis meramaikan kisah. Selain sosok Zainuddin dalam novel karya Hamka, saya juga masih ingat sosok Bugis pada narapidana yang kemudian menjadi guru dari Midun, sosok utama dalam kisah Sengsara Membawa Nikmat karya Toelis Sutan Sati. Bagaimanakah sesungguhnya menempatkan relasi antara Bugis dan Minang?

Jika kita tekun membaca catatan sejarah, ada kesamaan mendasar antara orang Bugis dan Minang. Sejak masa silam, kedua etnik ini terkenal dengan jiwa petualangan dan pengembaraannya sejak dahulu kala. Jika orang Melayu Minang amat terkenal dengan tradisi berniaganya, maka orang Bugis dikenal sebagai bangs apelaut yang piawai membawa phinisi ke negeri-negeri yang jauh dan meninggalkan jejaknya di mana-mana.

Bahkan di negeri seperti Madagaskar dan Afrika Selatan pun telah dirambah orang Bugis. Jika lautan adalah medium untuk melanglang buana, maka sejak masa silam, orang Bugis dan Minangkabau telah bertemu di lautan dan memperkaya kebudayaan masing-masing.

Menurut beberapa sumber, orang Bugis telah memasuki Semenanjung Melayu pada abad ke-15. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi raja di Malaysia. Malah, ada pula orang Bugis yang kemudian menjadi sastrawan besar tanah Melayu yakni Raja Ali Haji, yang menulis Tuhfat-al Nafis, sebuah kara yang berisikan sejarah dan silsilah Melayu Bugis. Raja Ali Haji sangat kondang dengan karyanya gurindam dua belas.

Perantau Minang

JIKA Bugis meninggalkan jejak di tanah Minang, dan tanah Melayu lainnya, maka di tanah Bugis, orang-orang Minang juga meninggalkan satu jejak harum yang dicatat dalam semua naskah-naskah sejarah orang Bugis dan Makassar. Jejak harum itu adalah kedatangan orang Minang untuk membawa Islam sebagai agama yang kemudian dianut mayoritas orang Bugis dan Makassar. Mereka adalah Datu Ribandang, Datuk ri Tiro, dan Datuk Patimang yang datang menmbawa Islam pada abad ke-16.

Sebelum islam datang, jejaknya lebih dulu ada. Sejarawan Mukhlis Paeni menyebutkan bahwa pada tahun 1542, seorang Portugis bernama Antonio de Paiva mendarat di Siang, sebuah kerajaan tua di pesisir selatan Makassar. De Paiva adalah orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi. Dalam laporannya, Paiva menyebutkan bahwa ketika ia mendarat di Pulau Celebes (Sulawesi), ia telah bertemu dengan orang-orang Melayu di Siang. Mereka mendiami perkampungan Melayu dengan susuanan masyarakat yang teratur dan sudah berdiri Siang sejak tahun 1490.

 
kapal phinisi, kebanggaan orang Bugis-Makassar

Sejak abad 16, karya-karya sastra Melayu juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Bugis-Makassar. Bahkan ketika Kerajaan Gowa di Makassar berdiri dan di pucak kejayaannya, banyak orang Melayu yang memegang peranan penting di Istana Gowa. Bahkan Juru Tulis pada masa Sultan Hasanuddin adalah seorang Melalyu bernama Tji’Amien, yang kemudian menulis Hikayat Perang Makassar. Orang-orang Melayu memiliki banyak peran dalam dalam menjadikan Gowa sebagai sebagai pusat ilmu pengetahuan pada masa itu. Itu bisa dilihat pada syair: "Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap-hadapan dalam persidangan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tararapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan.” (lihat Ince Manambai Ibrahim, "Sejarah Keturunan Melayu di Sulawesi Selatan")


Patut pula dicatat, sastrawan besar Tanah Bugis, yang menyalin ulang kitab I La Galigo (yang disebut-sebut sebagai karya satra terpanjang di dunia) adalah Tjolliq Pujie atau Arung Pancana Toa. Nama lainnya adalah Ratna Kencana. Ibunya bernama Siti Jauhar Manikan, putri Inche Ali Abdullah Datu Pabean, Syahhandar Makassar di abad ke-19, orang keturunan Melayu-Johor berdarah campuran Bugis-Makassar.

***

HARI ini, film Tenggelamnya Kapal Van der Wijk diputar secara resmi. Saya melihat posternya di satu bioskop M-Tos di kota Makassar. Saya tiba-tiba saja mengingat ulang tentang novel ini yang menggambarkan tentang pertautan orang Bugis dan Minangkabau. Tak jauh dari bioskop itu, terdapat gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah yang bentuknya adalah rumah gadang khas Minangkabau.

rumah gadang di Makassar

Mengapa harus berbentuk rumah gadang? Salah seorang budayawan Sulsel mengatakan bahwa bentuk rumah gadang adalah pertanda jejak sejarah tentang sumbangsih berharga orang Minangkabau di tanah Makassar. Berkat orang Mibangkabau, Islam menjadi sendi dan napas kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar. Orang Minangkabau telah menunjukkan jalan terang yang kemudian menjadi titian orang Bugis dan Makassar untuk mengarungi bahtera kehidupan.

Memang, Zainuddin, sosok dalam novel karya Hamka, bukanlah lelaki Bugis pertama yang merambah tanah Minang. Demikian pula ayah Zainuddin, Pendekar Sutan, bukanlah sosok Minang pertama yang merambah tanah Bugis. Mereka adalah bagian dari indahnya proses belajar, proses mengunjungi, serta proses saling memperkaya dua budaya, yang jejak harumnya masih bisa ditemukan di masa kini.


Makassar, 17 Desember 2013

3 komentar:

Azia Azmi mengatakan...

Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck termasuk favorit saya. Saya senang ketika mengetahui akan diangkat menjadi film tapi khawatir juga jika filmnya mengecewakan. Sekilas melihat trailernya, saya setuju mirip dgn film Titanic. Kalau suasana pestanya mirip film The Great Gatsby. Heran juga kok bisa semegah itu. Semoga hadirnya film ini menarik minat generasi sekarang untuk membaca karya-karya Sastra Indonesia khususnya yg klasik.

Tulisan tentang relasi Bugis dan Minang sangat informatif, Bang. :)

Beck Inspiration mengatakan...

Salam.
keren ulasannya bang. Beloom nonton film dan beloom baca bukunya, jadi g bisa membuat perbandingan keduanya. Tapi aku sering nonton film dari adaptasi dari buku/novel/roman y pernah kubaca. Harus di akui bahwa membaca lebih memuaskan imajinasi dan memperkaya makna sekaligus. sehingga akan terasa hambar jika kita saksikan film dari adaptasi buku yang pernah kita baca, imajimasi dan makna yang kita dapatkan jauh lebih sempurna dari pada yang kita saksikan dari motion film tersebut.
salam.

Unknown mengatakan...

Bagus ulasannya, dapat pengetahuan baru

Posting Komentar