Di Sini KFC, Di Sana Tuna


restoran KFC di Baubau

PADA mulanya, tak pernah ada restoran cepat saji bernama Kentucky Fried Chicken (KFC) di kampung kami. Namun ketika restoran asal Amerika itu berdiri, sontak bertambah pula kebutuhan anak-anak gaul di kampung kami. Restoran itu bukan lagi menjadi tempat mengganjal perut lapar, akan tetapi menjadi gaya hidup serta simbol kelas atas di kampung kami.

Sewaktu tinggal di Amerika Serikat (AS), saya melihat kenyataan berbeda. Restoran KFC bukanlah simbol kelas atas. Ia bernasib sama dengan restoran lain seperti McDonald, Wendy’s, dan Pizza Hut. Tempat-tempat itu disinggahi warga biasa yang menginginkan sesuatu yang cepat saji. Maklumlah, masyarakatnya sering terburu-buru dan dikejar waktu.

Seorang kawan yang merupakan warga asli Amerika mengatakan bahwa mereka yang mengakses restoran ini adalah mereka yang memiliki ekonomi pas-pasan. Mengapa? Sebab makanannya murah, cepat disajikan, serta bisa ditemukan di banyak tempat. Mereka yang ekonominya mapan akan menghindari restoran ini. Mereka yang kaya akan membeli makanan berupa buah atau sayuran organik yang tak banyak diolah. Makanan itu dianggap jauh lebih sehat ketimbang ayam Kentucky.

Pembicaraan tentang makanan ini sangatlah menarik. Sebab makanan bisa membawa kita untuk memahami budaya serta selera di berbagai tempat. Ketika warga Indonesia menganggap KFC dan McD sebagai tempat makanan yang elite, warga Amerika justru menganggap makanan itu kelas rakyat kebanyakan.

Saya tak sedang bercanda. Pernah sekali, saya iseng makan di KFC, kemudian memotret makanan itu lalu meng-upload di sebuah situs jejaring sosial. Linda, sahabat asal Jerman, langsung memberikan respons. Katanya, hindari makanan itu sebab tidak sehat. Katanya, ayam itu mengandung banyak lemak dan unsur-unsur lain yang berpotesi mendatangkan penyakit.

Pernah, ketika mengambil kuliah Critical and Cultural Studies yang diasuh Prof Jaylyne Hutchinson, semua peserta kuliah ditanya makanan apa yang identik dengan kelas atas di kampung halaman masing-masing. Ketika saya menyebut McDonald dan KFC, semua mahasiswa Amerika tiba-tiba melongo dan menatap saya seolah melihat alien yang turun dari planet lain.

Seorang teman bernama Francis langsung menyelutuk, “Apakah wargamu menganggap KFC sebagai makanan Amerika sehingga mereka ingin meniru Amerika?” Saya tersenyum lalu mengatakan bahwa harga seporsi ayam KFC cukup mahal di kampung saya. Tak cukup dengan penjelasan itu, saya lalu memberikan analogi, “Di kampung saya, harga seporsi hamburger di McDonald atau ayam KFC lebih mahal dari harga seekor ikan tuna jenis sirip kuning yang baru saja ditangkap nelayan.”

What? Beberapa mahasiswa Amerika langsung histeris. Bagi banyak warga Amerika, makanan laut seperti tuna, lobster, dan ikan napoleon adalah makanan kelas atas yang hanya bisa dibayangkan. Makanan itu hanya bisa ditemukan di restoran-restoran mahal yang ongkos masuknya pun sudah tak terjangkau warga biasa. Sementara di kampung saya di Pulau Buton, tuna adalah jenis ikan yang mudah ditemukan di pasar-pasar dengan harga amat murah.

Inilah dinamika kebudayaan. Masing-masing kebudayaan merekonstruksi konsep-konsep seperti selera, rasa, serta makna enak dan tidak enak. Di satu tempat, satu makanan dianggap rendahan atau milik warga kebanyakan. Di tempat lain, makanan itu justru amat bernilai dan menjadi simbol pergaulan kelas atas.

Biasanya, saat mengenang ini, saya selalu bersyukur menjadi warga pulau. Saya bisa melihat persoalan dengan cara berbeda dengan kebanyakan orang yang sering tak memahami betapa berlimpahnya sumberdaya alam di sekitar. Saya bahagia karena sebagai warga pulau, saya bisa mengakses semua makanan laut seperti ikan, lobster, udang, kepiting, dan cumi-cumi dengan harga yang amat terjangkau. Saya bersyukur karena bisa mengakses semua sayuran segar dan buah-buah yang belum lama dipetik dari pohonnya.

Sayang, dibukanya KFC di kampung saya membuat segalanya jadi berbeda. Namun saya tak ingin latah dengan selera kebanyakan orang. Sampai kini dan sampai kapanpun, saya tetap akan menjadi penikmat utama semua jenis makanan laut (sea food) yang segar. Saya tetap jadi fans berat masakan ikan dari seorang ibu di tepi Pasar Wameo, yang kelezatan ikannya telah membuat saya lupa dengan semua masalah yang sedang mendera. Nyam... Nyam....


Baubau, 21 September 2013

5 komentar:

Puspyta Hasrif mengatakan...

Ka' izin share ya, artikelx bgs bgt :)

Yusran Darmawan mengatakan...

@Puspyta: makasih atas komennya. silakan di-share

ukfiber mengatakan...

wah keren nih copas aku share di FB nih :)

Anonim mengatakan...

Bagus nih artikelnya,, saya jadi ingat pic di bbm, yg isinya mkanan awal bulan anak kos itu ayam kfc, pdhl kalo dipikir2 mkn ayam yg disuntik hormon supaya cepat gemuk itu sama sekali tidak sehat, blum lagi cara pengolahannya dan kolestrol di dalamnya. Heran juga kalo di indonesia orang2 menjadikan simbol kalangan elite padahal kalau di amerika sana orang kelas elite malah jijik mkn itu. Teman saya yg ortunya kerja di amerika malah bilang kalau mekdi dan kfc itu makanannya buruh,, malah2 tunawisma rata2 beli begituan.

Unknown mengatakan...

food experience my kfc experience

Posting Komentar